Filosofi Legenda Bhima Suci Vs Dewa Ruci Adalah Kronologi Riyil Manunggaling Kawula Gusti (Laku Murni Menuju Suci) "Bagian Tiga" Bonus Wejangan Tanpa Tedeng Aling-Aling:

Filosofi Legenda Bhima Suci Vs Dewa Ruci Adalah Kronologi Riyil Manunggaling Kawula Gusti (Laku Murni Menuju Suci) "Bagian Tiga" Bonus Wejangan Tanpa Tedeng Aling-Aling:
Oleh: Wong Edan Bagu.
Putera Rama Jayadewata Tanah Pasundan. Di...
Gubug Jenggolo Manik. Pukul.22:40. Hari Sabtu sampai Pukul. 12:08. Hari Minggu. Tanggal 8-9 September  2018.

1. Arti dan Makna di Balik Peng-gambaran Bhima Suci Vs Dewa Ruci;

Arya Wrekudara atau Bhima Suci, adalah sebagai Peng-gambaran wujud diri manusia hidup. Dewa Ruci adalah sebagai Peng-gambaran Guru Sejati atau Hidup/Dzat nya Maha Suci Hidup. Guru Druna adalah sebagai Peng-gambaran Sang Pramana/Dalang.

Tirta Perwita atau Tirta Prawita atau Tirta Perwira/Prawita Sari, adalah sebagai Peng-gambaran KeAbadian/Kesempurnaan.

Gunung Candramuka artinya; memelihara atau mengurus.

Rimba Palasara artinya; Peng-gambaran

Jadi, maksud dari;
Gunung Candramuka di Rimba Palasara, adalah; memelihara keprihatinan.

Raksasa Rukmuka dan Rukmakala;
Rukmuka adalah sebagai Peng-gambaran dari Kamukten/Kemewahan tentang (harta, tahta, wanita).

Rukmakala adalah sebagai Peng-gambaran dari Kamulyan/Kemuliaan tentang (harta, tahta, wanita).

Empat saudara. Anoman, kera yang berwarna putih. Jajagwreko,  raksasa yang berwarna merah. Setubandha, gajah berwarna hijau, dan Begawan Maenaka, pendeta berwarna kuning, Bhima sendiri berwarna hitam, adalah sebagai Peng-gambaran Sedulur Papat Kalima Pancer atau Kawula dan Gusti nya atau Empat Anasir dan Hidup.

Samudra dan Ular;
Ingat kah pada kata saloka yang berbunyi "Samudra Pangaksama"  yang artinya; orang yang bijak,  memiliki hati seperti luasnya samudera, akan bisa dengan mudah memaafkan kesalahan orang lain, terutama kesalahan dirinya sendiri, itulah Peng-gambaran dari "Samudera"

Sedangkan Ular;
Ular adalah simbol dari kejahatan,
Wujudnya yang besar, panjang dan mulutnya lebar, sebagai Peng-gambaran dari keburukan yang terus menerus di lakukan, sehingga menjadi perkara yang besar dan panjang lebar.

2. Bhima Suci atau Arya Wrekudara Berjumpa Dengan Sang Marbudyengrat Dewa Ruci;

Bhima mengambil air laut yang merah itu, dan mempersembahkannya kepada gurunya Druna sebagai Tirta Perwita/Prawita, yang berarti; "Air Hidup atau Air Suci", namun Sang Resi Druna menolaknya.

Druna mengatakan bahwa yang diberikan Bhima itu bukan Tirta Perwita/Prawita, yang berarti; "Air Hidup atau Air Suci" sejati, tetapi air yang sudah tercemari, Bhima diperintahkan untuk terjun kembali ke samudera.

Sekarang Bhima yang perkasa itu, sudah hampir kehabisan tenaga, Bhima diombang-ambingkan oleh gelombang samudra yang besar,  berulang kali Bhima dibenturkan ke batu karang yang keras dan tajam.

Bhima merasa terpuruk dan hampir mendekati ajalnya, pada saat itulah, Dewa Ruci muncul.

Dewa Ruci menaruh kasihan kepada Bhima yang sengsara, Dewa Ruci mula-mula muncul sebagai cahaya yang terang benderang (mencorong manter sak sodho lanang).

Lalu berubah menjadi anak kecil berambut panjang, rupanya sama persis seperti Bhima, berjalan-jalan, berlari-lari kecil sambil bermain-main diatas air laut, tepat di hadapan Bhima.

Lalu menoleh ke arah Bhima dan menatapnya dengan iba, melihat Bhima yang tak berdaya di ombang ambingkan ombak kiyan kemari, Dewa Ruci kasihan, lalu menyapa Sang Bhima;

Dialog Bhima Suci dan Dewa Ruci;
Apa yang kau kerjakan...?!!
Dan apa  tujuanmu...?!
Sehingga kamu berada di tengah laut ini...?!

Disini semua serba tidak ada, tidak ada yang dimakan, karena tidak ada makanan, dan tidak ada pakaian.

Hanya ada daun kering, itupun jika ada yang tertiup angin, lalu jatuh di depanku, itu yang saya makan, jika tidak ada, tentu saya tidak makan.

Ketika mendengar hal itu Sang Bhima sangat keheranan, melihat dan mendengar kata-kata anak kecil, yang sangat dewasa dan penuh makna, lalu Bhima bertanya;

Dewa berambut panjang di tengah laut dan tanpa kawan, tubuhnya sangat kecil sekali, siapakah dirimu...?!

Dan tubuhmu hanya sebesar bayi, akan tetapi kau dapat berjalan di atas air, berkata-kata layaknya orang tua, sungguh sombong sekali, tanpa kawan dan hanya sendirian lagi.

Mendengar jawaban Bhima yang ketus, lalu Dewa Ruci melanjutkan berkataanya;

Wahai Bhima, kau mendatangi tempat ini, banyak sekali rintangannya bukan? jika tidak memakai modal siap utnuk mati,  tidak akan sampai di tempat ini,  karena di tempat ini, segalanya serba tidak ada dan sepi.

Di sini tidak yang terang, tapi pikiranmu memaksa diri, dirimu tidak takut mati, ajaran tingkat tinggi, di sini tidak mungkin ditemukan.

Bhima bingung pikirannya, sedih  hatinya dan diam tak berkata apapun, karena tidak tahu apa yang harus dikatakan, namun Bhima berusaha untuk berkata jujur apa adanya;

Saya hanya patuh atas petunjuk guru.

Dewa Ruci berkata;
Kau adalah keturunan Sang Hyang Pramesthi. Hyang Girinata, kau keturunan dari Sang Hyang Brama sumber asal para raja, ayahmu pun, keturunan dari Brama, yang menurunkan para raja, Ibumu Dewi Kunti, adalah keturunan dari Sang Hyang Wisnu Murti.

Hanya berputra tiga dengan ayahmu, Yudistira sebagai anak sulung, yang kedua dirimu, sebagai yang ditengah adalah Dananjaya, dan yang dua anak dari keturunan Dewi Madrim, genaplah disebut Pandawa.

Kedatanganmu kesini pun, adalah atas petunjuk Dhang Hyang Druna kepadamu, untuk mencari Tirta Perwita/Prawita, yang tak lain adalah Air Kehidupan Abadi, karena gurumu yang memberi petunjuk, itulah yang kau laksanakan dengan patuh.

Oh... Memang orang yang sedang bertapa, sulit menikmati hidupnya,

Janganlah pergi bila belum jelas maksud dan tempat yang didatangi, jangan makan pula, bila belum tahu rasa yang dimakan dan gunanya, janganlah berpakaian,  bila belum tahu, apa gunanya berpakaian.
(Dewa Ruci melanjutkan kata-kata).

Kau bisa tahu dari bertanya, dan juga dengan meniru, atau dengan mengerjakannya sendiri, demikian yang harus dilakukan dalam hidup, ada orang bodoh dari gunung akan membeli emas, oleh tukang emas diberi.

Tiba-tuba Air menyibak menjadi tempat duduk untuk Bhima, kemudian Bhima berkata sambil meminta belas kasihan;

Mohon untuk diberi tau, siapakah tuanku yang sebenarnya...?!
Dan mengapa berada di sini sendirian...?!

"Aku adalah Sang Marbudyengrat" kata Sang Dewa Ruci

Mengetahuinya, segera Bhima berkata; Wahai Tuan, jika demikian, saya mohon atas kasih sayangmu, karena saya tidak tau untuk mensucikan badan, sehingga pengabdian diri ini sama seperti hewan hutan, bahkan lebih rendah lagi, karena belum bisa mensucikan badan.

Lebih bodoh tolol dan penuh kekurangan, sehingga dicela, di tertawakan di mana-mana,  bagaikan tubuh keris, yang tanpa kerangkanya, perkataannya tanpa dasar.

Mendengar pengakuan Bhima yang begitu tulus, jujur, lalu berkatalah dengan manis Sang Dewa Ruci;

Arya Wrekudara...
Segeralah kemari Wrekudara,  masuklah ke dalam tubuhku.

Terkejutlah Bhima mendengar kata-katanya, Bhima tertawa, tertawa terbahak-bahak ketika mendangar perkataannya, sehingga membuat Dewa Ruci bertanya; Mengapa tertawa Arya Wrekudara...?!

Karena tuan ini bertubuh kecil,  sedangkan saya bertubuh besar, lebih besar dari Birawa, dari mana jalanku untuk masuk, jari kelingking pun tidak mungkin bisa masuk.

Dewa Ruci terseyum dan berkata lirih; Bhima,,, besar mana dirimu dengan dunia ini, semua isi dunia, hutan beserta gunungnya,  samudera dengan semua isinya, tidak mungkin penuh, jika masuk ke dalam tubuhku.

Arya Wrekudara atau Bhima, setelah mendengar perkataannya, dengan setengah ragu,  menyatakan mau, maka berpalinglah Sang Dewa Ruci sambil berkata;

Inilah jalan masuk dari telingaku yang kiri, Bhima segera masuk telinga, sudah sampai di dalam tubuhnya, Bhima melihat laut luas  tanpa tepi,  jauh, sejauh mata memandang, tanpa batas penglihatan.

Dewa Ruci berteriak;
Hai,,, apa yang kau lihat...?!

Bhima menjawab; Bahwa sejauh mata memandang, tak ada yang tampak.

Langit luas kosong yang kutempuh, langit yang sangat luas tanpa batas, kemanapun aku pergi, aku tak tahu mana arah utara dan selatan, tidak tahu arah timur dan barat, bawah atas dan depan, serta di belakang, aku tidak tahu, aku bingung sekali.

Kemudian Sang Dewa Ruci berkata pelan; Janganlah kau takut, tenangkan dirimu.

Tiba-tiba terang dan tampaklah Dewa Ruci, oleh Bhima, Sang Wiku terlihat, memancarkan sinar,  kemudian dia tahu arah utara selatan, timur barat sudah terlihat, dan atas serta dibawah, juga sudah diketahui, kemudian terlihat matahari, nyaman rasa hati Bhima melihat Sang Wiku, di balik dunia ini.

Lalu Dewa Ruci berkata lirih; Jangan berjalan tetapi lihat-lihatlah, apa yang tampak olehmu.

Bhima menjawab; Ada empat macam warna, yang tampak olehku, sedang yang lainnya, sudah tidak tampak, hanya empat warna yang dapat kulihat, hitam, merah, kuning dan putih.

Sang Dewa Ruci berkata lagi; Cahaya yang pertama kau melihat bersinar, tapi tidak tahu namanya, itulah Pancamaya-Lima cahaya, (bersatunya/menyatunya sedulur papat kalima pancer), dan itu  sesungguhnya ada di dalam hatimu, yang menguasi rasa di dirimu, tersebut batin atau kalbu, yang bisa menuntunmu kepada sifat tertinggi, merupakan sifat dari sifat itu sendiri.

Senanglah hati Sang Bhima  mendengarkan penjelasan itu,  karena hatinya yang gelap tercerahkanlah sudah.

Jangan kau tolak dia dan jangan kau tinggal pergi, perhatikan rupa itu jangan ragu, itu adalah sang penguasa hati, pemahaman mata hati itulah, yang bisa memahami yang sejati adanya Dzat Maha Suci.

Sedangkan yang empat warna, hitam, merah, kuning dan putih, itu adalah tirai hati dan hati itu sendiri (penghalang/penutup hati).

Itulah isi semua dari yang ada di jagat raya ini, itulah warna dari  wujud empat jenis hati, yang mendorong segala langkah, jika bisa berpisah dengannya, tentu dapat menyatu dengan Yang Maha Ghaib, itu adalah musuh yang nyata ketika bertapa (bersamadi).

Dari ke'empat jenis hati ini, yang berwarna putih, itulah hati yang sebenarnya, yang aslinya hati, sedangkan yang tiga warna lainnya, itu pembukus hati,  kerjanya adalah curang, yang berwarna hitam, merah, kuning, semuanya menghalangi kehendak pikiran yang mengarah kepada kebenaran yang sejati, yaitu cahaya Dzat dari Maha Suci.

Jika pikiran tidak terbelenggu oleh yang ketiga jenis hati itu, tentu akan mudah menyatukan rasa hati (Dzat) dengan Maha Suci, abadi dalam persatuan rasa sejati-sejati nya rasa.

Perhatikan dan ingatlah atas kesadaran diri, musuhmu yang berada dalam hatimu sendiri,  ketahuilah cara kerjanya dan semua jenis-jenisnya, yang hitam lebih perkasa, kerjanya marah terhadap segala hal, ketika murka, akan membabi buta.

Itulah tiga warna hati yang menghalangi, yang menutupi atas segala tindakan yang baik, itulah tugas kerja dari hati yang hitam warnanya.

Sedangkan hati yang merah, adalah jalan masuk nafsu yang mengajak kepada segala keinginan, adalah keluar dari situ,  panas hati, mudah terpancing emosi, tugas pokoknya adalah menutup hati tentang rasa sadar,  kepada kewaspadaan.

Sedangkang hati yang berwarna kuning, tugas kerjanya menutup segala hal, atas pikiran yang baik,  yang seharunya mengajak pada perbuatan agar rila/Legawa (rela)  hati, kuninglah yang menghalangi, hanya suka merusak, sampai benar-benar rusak berantakan.

Sampai tinggal hanya hati yang putih, itulah yang nyata senyata-nyatanya hati, hati yang asli, hati yang sebenarnya hati, bersih dan  tenang, tanpa berpikiran ini dan itu, tenang, damai, aman, nyaman.

Hanya hati yang warna putih itu yang dapat menerima, akan firasat hakikat kebaikan, yang bisa menerima anugrah Maha Suci, berupa Ma’rifat, itulah tempatnya, yang bisa patuh, pada sifat dan sikap Manunggaling Kawula Gusti, yang bisa Ma’rifat kepada Dzat Maha Suci.

Sedangkan musuh para pertapa ahli Tafakur, ahli Samadi, para Abid,
adalah ketiga hati, yaitu hitam, merah dan kuning itulah, yang sebagai jendralnya, beserta ribuan pasukannya, berupa hadirnya ribuan perasaan yang selalu menuntut untuk dipenuhi segala keinginanya disetiap waktu,  sedangkan yang berwarna putih,  hanya seorang diri tanpa kawan,  sehingga ia sering terkalahkan.

Memang bila si putih dapat mengendalikan, atas tiga jendral yang kerjanya curang dan merusak, di situlah baru si Putih bisa paham tanpa ada yang memberi pemaham, baik berupa Guru atau pun buku, tentang bersatunya kawula dan gusti-nya, antara Dzat dan Maha Suci.

Setelah Bhima mengerti dan paham, maka semakin giatlah ia berusaha, dengan penuh tekad,  untuk mencapai pedoman hidup,  demi kesempurnaan hidup.

Setelah hilang empat warna itu,  muncullah satu pancaran sinar delapan warnanya, Bhima pelan bertanya lagi, apakah itu namanya, satu pancaran sinar dengan delapan warnanya, warna manakah yang sebenarnya, dan yang mana yang sesungguhnya, ada yang seperti permata bersinar, ada yang membias dan bergerak cepat, ada yang bagaikan bara yang berkilat-kilat, (tanya Bhima kepada Dewa Ruci).

Dzat dari Sang Penguasa Jagad berkata; Itulah sesungguhnya yang disebut tunggal, semua warna itu artinya, sudah ada pada dirimu, itu semua adalah gambaran isi dunia ini, yang tergambar atas dirimu, sedangkan dunia di luar dirimu yang agung, dan jagad kecil ujud dirimu itu tidak ada bedanya, sehingga ada timur ada utara,  barat dan selatan, ada atas dan ada bawah.

Dan warna hitam merah kuning putih, ialah warna kehidupan di dunia, alam kecil dan alam besar, sebenarnya isinya sama, bandingkanlah atas dirimu, bila hilang warna isi dunia, maka semua alam akan kosong, semua usaha tidak akan ada, akan berkumpul atas satu rupa saja,  tidak lelaki tidak perempuan.

Yang bagaikan rumah lebah muda itu, yang tampak bagaikan putih gading.

Coba kau lihatlah...
Dewa Ruci menyarankan, kemudian Bhima melihatnya, sesuatu yang bagaikan lampu putih gading, cahayanya memancar memencar berkilat, berpelangi melengkung indah,  apakah gerangan itu...?!

Tanya Bhima Suci kepada Dewa Ruci...

Apakah itu cahaya Dzat yang harus ku cari, yang merupakan hakikat Rupa-Nya Maha Suci...?!

Bhima Suci melanjutkan pertanyaannya kepada Dewa Ruci. Kemudian Dewa Ruci menjawab pelan penuh cinta kasih sayang;

Itu bukan yang kau cari, yang menguasai segala hal, itu tidak bisa kamu lihat, karena tanpa bentuk dan tanpa warna, tidak berwujud dan tidak tampak, juga tanpa tempat tinggal, hanya terdapat pada orang-orang yang awas, hanya berupa firasat, akan tetapi Dia itu memenuhi seluruh alam, Disentuh pun tidak akan bisa...

(Nah,,, dibagian inilah yang saya tidak bisa mengabarkannya secara umum). Maafkan ya...

Sedang yang kau lihat itu, yang tampak seperti lampu mutiara,  yang berkilat cahayanya, memancar menyala-nyala, itulah yang berNama Sang Pramana, Wujud dan Hidupnya, Wadah dan Isinya, menyatunya atau bersatunya atau manunggalnya atau kembalinya Dzat kepada Maha Suci, (wujudnya kesempurnaan - asal usul sangkan paraning dumadi-inna lillaahi wa inna ilaihi raji'un).

Akan tetapi tidak ikut merasakan gembira dan prihatin, yang dirasakan oleh raga mu, tidak ikut makan, tidur dan juga, tidak ikut merasakan sakit dan menderita.

Akan tetapi, jika berpisah dengan-Nya, maka raga tidak akan berdaya, sungguh badanmu tanpa daya, yang bisa merasakan keberadaanya, hanyalah yang disebut Dzat atau Hidup, ya Aku ini (Dewa Ruci).

Itulah dia yang menyaksikan datang dan perginya rasa dalam hidup, yang bisa memahami tentang rahasia Maha Suci, itu yang bisa merasakan adalah dirimu sendiri.

Akan tetapi, bagaikan bulu dada pada hewan, bertempat pada raga, daya Dzat/Hidup Pramana/Maha Suci, dihidupi oleh yang menguasai segalanya, yaitu Pramana/Maha Suci itu sendiri, bila raga mati, ikut hilang, jika Pramana/Maha Suci yang hilang/sirna, Dzat/Hidup masih tetap ada, dan yang...

Sirna/hilang itulah yang ditemui.

Kehidupan Dzat/Hidup yang sesungguhnya, tidak ada di tubuhmu yang tidak dilewatinya,  bahkan sampai rasa di ujung rambut hingga ujung kuku,  Pramana/Maha Suci anresandani, (sebenarnya satu asal), pahamilah akan hal itu.

Berkatalah Sang Bhima Suci; benarlah hal itu, lalu bertanya; Lantas yang manakah wujud yang nyata adanya Maha Suci...?! (Tuhan...?!)

(Nah,,, di bagian ini juga, saya tidak bisa mengabarkannya secara umum). Mohon maafkan ya...

Dewa Ruci menjawab;
Hal itu tidak akan bisa kau pelajari, jika masih ada di alam nyata dunia ini, teramat mudah akan tetapi teramat sulit saratnya.

Bhima Suci berkata memohon;
Setidaknya aku mohon tambahkan pejelasanmu, saya harus benar-benar mengenal-Nya, dengan sejelas-jelasnya, aku serahkan hidupku dan lebih baik aku mati,  jika harus terbebani hanya sebatas angan-angan saja tentang Maha Suci (Tuhan), sia-sialah usahaku yang penuh dengan kesulitan rintangan ini.

Jika demikian adanya, saya tidak mau keluar dari sini, lebih baik tinggal di sini saja, karena disini tidak ada kesengsaraan, tidak ada rasa ingin makan dan tidur, tidak mengantuk juga tidak lapar, tidak mengalami kesulitan, tidak merasakan sakit di badan,  hanyalah ada rasa enak, plong, aman, nyaman, tenang dan tenteram.

Dengan penuh cinta kasih sayang Sang Dewa Ruci berkata lirih kepada Sang Bhima Suci; Itu tidak boleh Bhima, jika kau belum mengalami mati raga.

Semakin banyak ajaran Dewa Ruci yang diberikan, kepada Sang Kaswasih, yaitu Arya Wrekudara alias Bhima yang selalu minta di tambah ilmunya.

Dan mohon Maafkan lah saya, yang tidak kuasa untuk mengabarkan secara keseluruhan tentang Wejangan Dewa Ruci di bagian ini, namun yang jelas dan pasti, semua manusia Hidup akan mengalami nya sendiri dan mendapatkan sendiri, ketika ia berhasil bertemu dengan Sang Guru Sejati nya sendiri atau Sang Dewa Ruci nya sendiri, yang tak lain dan tak bukan adalah Hidupnya sendiri.

"Pesan Suport dari saya WEB"
Yang perlu kita lakukan, adalah; Waspada  terhadap semua yang bisa menggagalkan Laku Murni Menuju Suci nya kita, bersungguh-sungguh dan waspadalah, dalam segala tingkah laku murni menuju suci kita, dan yang paling penting "janganlah sampau punya kegemaran atau kesukaan, karena hal itu akan menjadi kemelekatan yang mengikat hati dari kemerdekaannya.

Setelah Dewa Ruci selesai  menyampaikan wejangannya kepada Bhima Suci, Bhima Suci sudah tidak bingung lagi, semua sudah di mengerti dan di pahami serta merasuk ke dalam diri.

Bagaikan sekumtum bunga, kuntumnya masih kuncup, sekarang mekar, mengembang semakin indah dan menyatu antara warna bunga dan bau harumnya,  sang Pancaretna sudah diperbolehkan keluar, keluar dari tubuh Sang Dewa Ruci, sudah berganti alamnya, yaitu sudah Keluar Dari Tubuh Dewa Ruci, kembali ke alam kemanusiaannya, Sang Dewa Ruci pun sudah sirna, di lihatpun sudah tidak tampak lagi. Selesai/Tamat.

Ini Wejangan Tanpa Tedeng Aling-aling Jado khusys dari saya WEB untuk panjenengan semuanya tanpa terkecuali, sebagai ganti dari Dialog Antara Bhima Suci dan Dewa Ruci yang tidak bisa saya kabarkan secara Umum.

"Wejangan Tanpa Tedeng Aling-aling dari Wong Edan Bagu"

Inti sari pati dari Serat Dewa Ruci, yang di klaim dengan beraneka ragam macamnya, sesuai sudut pandang alirannya masing-masing, yang tak lain dan tak bukan adalah "Kesempurna'an Pati lan Urip atau  Kesempurna'an Hidup dan Mati" (Wahyu Panca Laku yang Ke-5).

Yang di kisah nya di peragakan/perankan atau di gambarkan oleh Bhima Suci. Adalah;

Ilmu tentang Hidup, pelajarilah Ilmu Hidup, hingga berhasil di kuasai, kalau sudah menguasai, pegang erat ilmu itu dengan sadar, agar supaya kesadaran hidup itu, bisa menyadari apapun yang di firman oleh Maha Suci kepada Dzat/Hidup.

Itulah ilmu yang sebenar-benarnya ilmu, ilmu rahasasia dunia dan akherat, puncaknya semua ajaran, intinya segala tuntunan, tidak ada wujudnya, namun menghidupi, dan waktunyapun tidak lama.

Keberadaannya, melekat pada diri kita, sungguh menyatu padu dengan diri kita, sudah menjadi kawan akrab kita, sahabat karib kita, Kadhang kita (itulah Hidup).

Tidak dapat dipisahkan, tidak berbeda dengan kedatangannya waktu dahulu, menyatu dengan kesejahteraan dunia, penglihatan dan pendengaran, serta gerak tubuh dan gerik hati kita, juga sudah ada pada diri kita sejak awal hingga sampai di kehendak-Nya.

Akan tetapi Dia tanpa telinga dan mata, mata dan telinga diciptakan, untuk dirimu, lahirlah wujud pada dirimu, batinmu ada dalam dirimu,  bagitulah kenyataannya.

Itu bagaikan kayu dibakar, asapnya muncul dari api yang berasal dari pohon itu, bagaikan air ombak dan  lautan, bagaikan keju di dalam susu, bagaikan gula dan manisnya, bagaikan madu dan rasanya.

Karena-Nya tubuhmu dapat  bergerak leluasa serta mendapatkan anugerah, jika tahu penyatuan ini, persatuan kawula dan gusti-nya, apapun yang menjadi gerik hati kita, akan terjadi ketika raga kita meng-gerak-Nya.

Sedangkan bentuk kejadiannya itu, sudah ada semua pada dirmu, tinggal menggenapinya saja, meriyilkannya saja, diri kita  bagaikan wayang, segala gerak tubuh dan gerik hati kita, dari sang dalang yang memainkan, dunia merupakan panggungnya atau layar yang digunakan untuk memainkan wayang.

Gerakan wayang-wayang adalah,  dari ki dalang yang memainkan, baik gerak dan gerik ucapan, dalanglah yang berkuasa, antara perpaduan kehendak dan hal itu tidak berbentuk.

Warna dan bentuk sudah ada pada kuta, seumpama hiasan yang sejati, yang bercermin itu adalah Hyang Dzat-Nya Maha Suci, bayangannya adalah yang berada didalam cermin, itulah yang wujud makhluk ini.

Di dalam kaca itulah wujudnya yang sebenarnya (hanya sebatas bayangan saja), akan tetapi,  sesungguhnya lebih besar dari yang saya umpamakan ini, jika dibandingkan dengan besarnta jagad raya, seumpama selembut air, masih lebih lebut tentang hal ini, seumpama seukuran kutu, itu lebih kecil lagi dibanding hal ini.

Sesungguhnya sangatlah berkuasa atas segala sesuatu, besar kecilnya diri kita, itu dapat menjelma menjadi besar dan kecil pula, (tidak selembar daunpun yang jatuh ke bumi ini tanpa kehendak-Nya, dan hanya kehendak-Nya lah yang benar-benar terjadi).

Semua itu kita tidak tahu karena tertutup, yang merangkak di tanah,serta yang melata, tak berbeda, semua memiliki kelebihan nyata, yang merasa lebih banyak menerima, tidak seharusnya menyombangkan diri.

Terhadap apapun dan dimanapun, pelajarilah, hayatilah dan pahamilah dengan sungguh-sungguh, karena tidak selembar daunpun yang jatuh ke bumi ini tanpa kehendak-Nya, bebaskan hati dari semua praduga dan bersihkanlah hati dari segala prasangka.

Semua daun yang jatuh itu, adalah sumber ilmu pengetahuan yang wajib dibaca, kalau tidak sanggup membaca, kembalikanlah kepada yang punya daun, sumber semua dan segala daun yang sesungguhnya.

Sedangkan diri kita ini, sesungguhnya hanya dijadikan pengganti saja, atau hanya sebatas dipinjami saja, sehingganya,  janganlah kau punya anggapan bahwa itu adalah milikmu sendiri.

Semuanya dan Segalanya  kembalikan kepada Hyang Maha Memiliki, maka diri kita akan menjadi Manusia Hidup yang  Jernih, yang arti dan maksudnya; semua sifat dan sikap, segala tingkah dan laku, semua gerak dan segala gerik, akan menjadi satu, karena dua diri telah kita dirasakan sudah menjadi satu diri.

Sesungguhnya jika masih merasakan dua diri, itu berarti masih ada ragu dalam hati kita, kalau masih ada ragu dalam hati kita, berarti kita jarang Semedi, buktinya medi/wedi/takut nya belum semeleh, dan jalau begitu, sama saja kita masih tertipu.

Jika sudah menyatu, setiap  gerak tubuh kita dan gerik hati kita,  teguhkan lah, rahayukan lah, selamatkan lah, dengan cara menjaga hati dan syahwat, agar supaya tidak sampai berkurang apa lagi berubah

Kalau diri kita benar-benar sudah mengerti Laku Murni Menuju Suci ini (Wahyu Panca Ghaib-Wahyu Panca Laku dan sungguh-sungguh sudah paham, atas cara-caranya menjaga Hati dan Syahwat, yang di setiap artikel saya uraikan dengan Tanpa Tedeng Aling-aling.

"rahasiakan dan tutupilah maknanya, jangan kau pamerkan penerapannya, tetaplah kau jaga dalam batin saja, kecuali jika di mintai untuk membimbing banyak orang"

Dalam setiap detik pun diri kita harus selalu sadar dan menyadari akan hal itu, jangan sampai kita lupa tentang Dzat/Hidup dalam alam nyata diri kita, tutupilah ilmu rahasia lima macam ini, simpanlah dengan sungguh-sungguh dan benar-benar, untuk di sini dan di sana juga, bagaikan mati di dalam hidup dan bagaikan hidup dalam mati.

Untuk Hidup abadi selamanya, yang harus kita matikan adalah;
Yang mengajak kepada hawa nafsu, ego dan pamrih, badan hanyalah sekedar, melaksanakan dalam tata lahir, yang dikerjakan oleh badanmu ini, adalah perpaduan sewujud tunggal, 

Mengapa merasa mati...?!
Bercerminlah kepada Bhima alias Arya Werkudara, yang menjadi lambang kisah KeAbadian Kesempurnaan Hidup, Bhima setelah mendengarkan perkataan Sang Guru Sejati, yaitu Dewa Ruci sebagai gambaranya Dzat/Hidup dalam diri kita.

Hatinya terang-benderang, karena  menerima ilmu dengan suka hati, ciptanya terlah tercerahkan,  mendapatkan anugerah wahyu yang sesungguhnya.

Bagaikan rembulan yang terhalang oleh rintik hujan, memikirkan wahyu nugraha, seumpama mendung suci, semuanya telah menyingkir dan segala kotoran hatipun telah hilang.

Semua dan segalanya sudah di  kuasai, sudah tak ada lagi yang perlu kita dicari, semua kesaktian, kepandaian, kekuatan dan keperkasaan sudah berlalu.

Semuga Bermanfaat.
Saya 💓Wong Edan Bagu💓 Mengucapkan Salam Rahayu selalu serta Salam Damai🙏Damai🙏 Damai🙏Selalu Tenteram🙏 Sembah nuwun🙏Ngaturaken Sugeng Rahayu, lir Ing Sambikolo. Amanggih Yuwono🙏inayungan Mring Ingkang Maha Agung.Basuki Yuwono Teguh Rahayu Slamet🙏 BERKAH SELALU Untuk semuanya tanpa terkecuali, terutama Para Sedulur, khususnya Para Kadhang Konto dan Kanti Anom Didikan saya yang senantiasa di Restui Hyang Maha Suci Hidup🙏 Aaamiin🙏Terima Kasih❤️Terima Kasih❤️Terima Kasih❤️
Ttd: Toso Wijaya. D
Lahir: Cirebon Hari Rabu Pon Tanggal 13-08-1959
Alamat: Gubug Jenggolo Manik.
Oro-oro Ombo. Jl. Raya Pilangrejo. Gang. Jenggolo. Dusun. Ledok Kulon. Rt/Rw 004/001. Desa Pilangrejo. Kecamatan. Juwangi. Kabupaten. Boyolali. Jawa Tengah. Indonesia 57391.
Email: webdjakatolos@gmail.com
Telephon/SMS/WhatsApp/Line; 0858-6179-9966.
BBM: DACB5DC3”
Twitter: @EdanBagu
Blogg: www.wongedanbagu.com
Wordpress: http:// putraramasejati.wordpress.com
Facebook: http://facebook.com/tosowidjaya