Filosofi Legenda Bhima Suci Vs Dewa Ruci Adalah Kronologi Riyil Manunggaling Kawula Gusti (Laku Murni Menuju Suci) Bagian Dua:

Filosofi Legenda Bhima Suci Vs Dewa Ruci Adalah Kronologi Riyil Manunggaling Kawula Gusti (Laku Murni Menuju Suci) Bagian Dua:
Oleh: Wong Edan Bagu.
Putera Rama Jayadewata Tanah Pasundan. Di...
Gubug Jenggolo Manik. Pukul.00:15. Hari Jumat. Tanggal 7 September  2018.

Seperti apa kronologi riyil ceritanya...?!

Berikut ini Serat Dewa Ruci yang sesungguhnya atau yang sebenarnya, dalam bentuk kakawin (kidung/tembang);

Di Kisahkan, menjelang bharatayudha, Prabu Dhuryudhana memanggil seluruh anggota kurawa, untuk melakukan sidang ustimewa.

Dari perhitungan kertas, kurawa lebih kuat dari pandawa, kecuali karena satu hal saja, pendawa memiliki Bhima yang sangat sakti.

Di samping sangat perkasa, Bhima juga ksatria yang jujur, lugu, dan kuat kemauan, bima tidak bisa dibeli dengan cara apapun, bima berpegang teguh pada keyakinannya.

Bhima berkata, “Sing sapa becik, dhen beciki, sapa ala dhen alani, nadhyan bahu kanan-kering jen ala binuwang.”

Nah...
Supaya Kurawa menang, sidang memutuskan, harus membinasakan Bhima sebelum waktu perang bharatayudha tiba.

Tapi, masalahnya, Bhima terlalu kuat untuk dikalahkan.

Lalu, dibuatlah sebuah skenario,  Bhima harus dibuang, caranya bagaimana...?!

Bhima sangat hormat dan patuh kepada gurunya, yaitu Resi Dhurna.

Resi Dhurna memerintahkan Bhima untuk mencari air kehidupan "Tirta Perwita" atau "Tirta Prawita"  yang artinya; "Tirta" itu Tuya atau Air, "Perwita atau Prawita" itu  sucining ngaurip atau Sucinya kehidupan, Tirta Perwita/Prawita, yang berarti; "Air Hidup" yang juga disebut sebagai "Tirta Kamandalu" dalam bahasa Kawi nya dan juga disebut sebagai  "Amrtanjiwangi"  atau "Tirta Amrta" dalam bahasa sansekerta nya.

Menurut Sang Begawan Druna, siapa saja yang dapat memperoleh air kehidupan ini, ia akan mencapai tingkatan hidup yang sempurna, langgeng tan kenaning pati, maksudnya; akan hidup abadi.

Karena dia akan memiliki pranawa “ilmu kebebasan jiwa” Ia akan memahami rahasia kejadian alam semesta dengan segala isinya. Ia juga akan “ saestu sumerep purwa-wekasaning jagadh royo” atau ilmu tentang sangkan paraning dhumadhi.

Bhima tidak boleh ragu-ragu dalam mencari "Tirta Perwita" atau "Tirta Prawita" ini, karena “jen rering rangu bade mboten sumerep sarto dhumugi telenging kawruh kasunyataan" maksudnya; "Tirta Perwita" atau "Tirta Prawita" ini tidak mudah diperoleh, dia berada di Gunung Candramuka, di Rimba Palasara.

Tanpa ragu, Bhima berangkat, walaupun saudara-saudaranya menghalanginya, tekadnya sudah bulat, dia harus setiatuhu kepada gurunya.

Lalu Bhima memasuki gua di Gunung Candramuka, di situ Bhima bertemu dengan dua raksasa, tersebut; Rukmuka dan Rukmakala, melalui pertempuran yang dahsyat, Bhima berhasil mengalahkan keduanya, yang ternyata, setelah mati, mereka berdua, berubah menjadi Bhatara Indra dan Bhatara Bayu.

Dan melalui suara batin, Bhima mendengar dari kedua dewa itu, bahwa Dhurna sebenarnya berdusta, "Tirta Perwita" atau "Tirta Prawita" itu tidak berada di Candramuka.

Lalu Bhima bergegas kembali ke  Ngastina, untuk memastikan hal tersebut, dan Dhurna berkata kepadanya; “O,,, anakku, hal ini tidak mengherankan, dan memang saya sengaja, telah kurencanakan sedari  awal, yang sebenarnya, saya hanya ingin mengetahui, seberapa jauh kesanggupanmu untuk hal ini.

Tempat air hidup itu, sebenarnya terletak di tengah-tengah rimba Palasari, di dalam sebuah gua yang berbentuk sumur gumuling.

Silakanlah berangkat lagi untuk mengambilnya dari dalam gua tersebut, lalu Bhima berangkat lagi.

Tetapi sebelum berangkat, Bhima  menyempatkan waktu untuk  menghadap saudara-saudaranya, mohon doa restu.

Bersamaan dengan itu, di Astina, keluarga Bhima yang mengetahui tipudaya pihak Kurawa, mengirim surat kepada prabu Harimurti atau Sri Kresna di Dwarawati, yang kemudian, dengan tergesa-gesa bersama bala pasukanya, datang ke amarta.

Setelah menerima penjelasan dari Darmaputra, Kresna mengatakan bahwa janganlah Pandawa bersedih, sebab tipu daya para Kurawa akan mendapat balasan dengan jatuhnya bencana dari dewata yang agung.

Ketika sedang asyik berbincang-bincang, datanglah Bhima, yang membuat para Pandawa termasuk Pancawala, Sumbadra, Retna Drupadi dan Srikandi, dan lain-lainnya, merasa dan bahagia serta  akan mengadakan pesta.

Namun tidak disangka, karena Bhima ternyata melaporkan bahwa ia akan meneruskan pencarian Tirta Perwita/Prawita, yang berarti; "Air Hidup atau Air Suci" itu, ke tengah samudera.

Cegahan dan Nasehat serta  tangisan semua sentana laki-laki dan perempuan, yang meminta Arya Werkudara atau Bhima, untuk tidak berangkat, tapi Bhima tidak menghiraukannya.

Bhima tetap masuk ke dalam Gua Sigrangga, di tengah rimba Palasara, di sela pencarian Tirta Perwita/Prawita, yang berarti; "Air Hidup atau Air Suci" Bhima bertemu dengan se'ekor ular besar, ular itu membelit tubuh Bhima, dengan belitan yang sangat ketat.

Namun dengan kuku Pancanaka,  Bhima berhasil mengalahkannya, ular itu menghilang dan menjelma menjadi bidadari, tersebut; Dewi Maheswari.

Kali ini, Sang Dewi memberitahu putra kedua Pendawa itu, bahwa Tirta Perwita/Prawita, yang berarti; "Air Hidup atau Air Suci" sebenarnya tidak terletak di Gua Sigrangga.

Lalu Bhima kembali lagi kepada gurunya, dan seperti biasanya, Pendeta Dhurna mengatakan bahwa ia hanya ingin menguji muridnya.

Pada kali pertama, ia ingin menguji kesungguhannya, kedua, kesetiaannya, dan ketiga, ketetapan akan kesempurna'an hidupnya.

Air kehidupan itu sebenarnya ada di dalam laut selatan, yang penuh gelombang besar, dan Bhima pun berangkat lagi, tanpa perasaan ragu dan takut.

Setelah keluar masuk hutan, naik turun gunung dalam perjalanannya menuju Laut Selatan, Bhima sampai di sebuah rimba belantara, yang penuh bahaya, Wana Sunyapringga namanya, Bhima tiba-tiba dicegat oleh empat saudaranya.

Mereka menghalang-halangi maksud Bhima untuk menceburkan dirinya ke dalam samudra.

Ke'empat saudara itu, adalah Anoman, kera yang berwarna putih,  "Jajagwreko" raksasa yang berwarna merah "Setubandha"   gajah berwarna hijau, dan "Begawan Maenaka" pendeta berwarna kuning, Bhima sendiri berwarna hitam.

Bhima menolak nasihat ke"empat bersaudara itu, dengan mengatakan tekadnya untuk “nggebyur ing telenging samudro, sanadhyan tumekeng antaka anetepi ugo janji kautaman”

Bhima mengusir mereka dalam pertempuran yang tidak kurang dahsyatnya, Bhima mengembalikan mereka ke tempatnya masing-masing, dan pada akhirnya, tiba di tepi laut.

Sang ombak bergulung-gulung menggempur batu karang,  bagaikan menyambut dan tampak kasihan kepada yang baru datang, bahwa ia di tipu agar masuk ke dalam samudera, topan datang riuh menggelegar, seakan mengatakan bahwa Druna memberi petunjuk sesat dan palsu serta tidak benar, namun bagi Bhima, lebih baik mati dari pada pulang menentang sang Maharesi/Guru.

Dengan suka cita ia lama memandang laut dan keindahan isi laut, kesedihan sudah terkikis, menerawang tanpa batas, lalu Bhima pasrah, berserah diri, tidak merasa takut akan sakit dan mati, jika memang sudah menjadi  kehendak dewata yang agung.

Karena sudah menyatakan kesanggupan kepada Druna dan prabu Kurupati, dalam mencari Tirta Perwita/Prawita, yang berarti; "Air Hidup atau Air Suci" masuk ke dalam samudera, akhirnya dengan semangat yang menyala-nyala,  Bhima meloncat,  menceburkan diri ke laut, nampak kegembiraannya, dan tak lupa digunakannya ilmu Jalasengara, agar air laut menyibak.

Bersamaan dengan itu, munculah seekor naga sebesar segara anakan, pemangsa ikan di laut, wajah liar dan ganas, berbisa serta sangat mematikan, mulutnya bagai gua, taring tajam bercahaya, melilit Bhima sampai hanya tertinggal lehernya, menyemburkan bisa bagai air hujan.

Bhima bingung dan mengira akan  mati, tapi saat lelah tak kuasa meronta, Bhima teringat segera menikamkan kukunya, kuku Pancanaka, menancap di badan naga, darah memancar deras, air samudra berubah menjadi lautan merah, naga besar itupun mati, dan  seisi laut bergembira.

Sementara itu, Pandawa bersedih hati dan menangis memohon penuh iba, kepada Prabu Kresna.

Lalu dikatakan oleh Sri Kresna, bahwa Bhima tidak akan meninggal dunia, bahkan mendapatkan pahala dari dewata, yang nanti akan datang dengan kesucian, memperoleh cinta kemuliaan dari Hyang Suksma Kawekas, diijinkan berganti diri menjadi batara yang berhasil menatap dengan hening, jadi, para saudaranya tidak perlu sedih dan cemas.

Sementara Bhima yang berada di tengah samudra, mengambil air laut yang merah itu, dan mempersembahkannya kepada gurunya sebagai Tirta Perwita/Prawita, yang berarti; "Air Hidup atau Air Suci", namun Sang Resi Druna menolaknya.

Druna mengatakan bahwa yang diberikan Bhima itu bukan Tirta Perwita/Prawita, yang berarti; "Air Hidup atau Air Suci" sejati, tetapi air yang sudah tercemari, Bhima diperintahkan untuk terjun kembali.

Sekarang Bhima yang perkasa sudah hampir kehabisan tenaga, Bhima diombang-ambingkan oleh gelombang samudra yang besar,  berulangkali Bhima dibenturkan ke batu karang yang keras dan tajam.

Bhima merasa terpuruk dan hampir mendekati ajalnya, pada saat itulah, Dewa Ruci muncul.

Dewa Ruci menaruh kasihan kepada Bhima yang sengsara, Dewa Ruci mula-mula muncul sebagai cahaya yang terang benderang (mencorong manter sak sodho lanang).

Setelah itu, lalu muncul sebagai anak kecil yang rupanya sama persis seperti Bhima.

Dalam pertemuan itu, terjadilah dialog yang sangat mistikal antara mereka berdua.

Mohon Naafkan, saya tidak bermaksud mengutip semua dialog ini, tetapi ingin menutup kisah singkat ini dengan mengutip sebagian kecil saja, dari dialog antara Bhima Suci dan Dewa Ruci, seperti yang terdapat pada Buku Legenda "Tjeritera Serat Dewa Rutji"

Dewa Ruci berkata;
Adaku pada tempat ini, ialah hanya untuk “mengejobungah” (rindu akan kegirangan, kesukaan, suka cita).

Bhima bertanya heran;
Mungkinkah keinginan tuan itu, tercapai pada tempat yang sunyi senyap seperti ini...?!

Dewa Ruci menjawab;
"Kaki, ijo sedjatine bungah iku, kang wus anggedekhake panarimo lan santoso, margo ono ing paramean aku ora seneng, kekurangan aku ora nggrantes, tjatjad wus ndhak anggep pantes, dhene kang ndhak pangan jen ono godong kumlejang kang tibeng ngarsaku, lamun sepen sepi"

Artinya;
Ketahuilah, wahai anakku pada hakikatnya, sukacita itu, dapat memperbesar rasa “menerima” atau terima kasih (matur nuwun)  dan keteguhanku, pada suatu pesta, aku tidak merasa lebih senang lagi, kekurangan dan kemiskinan, kemelaratan, bagiku tidak berarti penderitaan atau kesedihan, saya anggap tidak merugikan diriku, makananku ialah amat sederhana, maksudnya; sederhana saja.

Itu sebagian kecil dialog Antara Bhima Suci dan Dewa Ruci, yang bisa saya bagikan secara umum, dan dari dialog inilah, kemudian di bukukan, yang penulisannya, sekitar pada masa peralihan agama, atau pada awal tersebarnya Islam di Tanah Jawa.

Sang Dewa Ruci Adalah Sang Suksma Sejati atau Sejati nya Suksma. Yaitu Hidup yang merupakan Pancer dari sedulur paparnya atau empat Anasir

Pembicaraan antara dua mahluk inilah, yang menjadi inti sari pati cerita ini.

Hingga pada Akhirnya Sang Bhima masuk ke dalam wadag Sang Dewa Ruci melalui kuping kirinya, dan mendapat penjelasan tentang kesejatian hidup atau hidup yang sejati. Yaitu Langgeng Abadi.

Sungguh sayang sekali, saya tidak punya ijin untuk  menguraikannya secara keseluruhan, sebab karena, ini adalah hak Romo/Hidup yang menjadi Guru Sejati nya setiap Manusia yang ingin mengenal-Nya.

Sehingganya;
Khusus tentang Dialog atau Pembicara'an antara Bhima Suci vs Dewa Ruci, yang menjadi inti sari pati cerita sejarah hidup ini, di Artikel Bagian KeTiga nanti, saya akan berusaha untuk membagikannya secara umum, dengan menggunakan bahasa Indonesia yang paling sederhana, agar supaya bisa lebih mudah untuk di pahami dan di cerna oleh orang awam sekali.

Namun sekali lagi mohon di maafkan, yang saya bagikan bagian yang layak di umumkan saja, sedangkan bagian yang tidak layak untuk di umumkan, alias bersifat khusus, saya tidak akan lakukan, kecuali jika salin berhadapan secara langsung.

Bersambung Ke Filosofi Legenda Bhima Suci Vs Dewa Ruci Adalah Kronologi Riyil Manunggaling Kawula Gusti (Laku Murni Menuju Suci) Bagian Tiga, yang menjadi inti sari pati Serat Dewa Ruci.

Semuga Romo/Hidup Merestui.
Saya 💓Wong Edan Bagu💓 Mengucapkan Salam Rahayu selalu serta Salam Damai🙏Damai🙏 Damai🙏Selalu Tenteram🙏 Sembah nuwun🙏Ngaturaken Sugeng Rahayu, lir Ing Sambikolo. Amanggih Yuwono🙏inayungan Mring Ingkang Maha Agung.Basuki Yuwono Teguh Rahayu Slamet🙏 BERKAH SELALU Untuk semuanya tanpa terkecuali, terutama Para Sedulur, khususnya Para Kadhang Konto dan Kanti Anom Didikan saya yang senantiasa di Restui Hyang Maha Suci Hidup🙏 Aaamiin🙏Terima Kasih❤️Terima Kasih❤️Terima Kasih❤️
Ttd: Toso Wijaya. D
Lahir: Cirebon Hari Rabu Pon Tanggal 13-08-1959
Alamat: Gubug Jenggolo Manik.
Oro-oro Ombo. Jl. Raya Pilangrejo. Gang. Jenggolo. Dusun. Ledok Kulon. Rt/Rw 004/001. Desa Pilangrejo. Kecamatan. Juwangi. Kabupaten. Boyolali. Jawa Tengah. Indonesia 57391.
Email: webdjakatolos@gmail.com
Telephon/SMS/WhatsApp/Line; 0858-6179-9966.
BBM: DACB5DC3”
Twitter: @EdanBagu
Blogg: www.wongedanbagu.com
Wordpress: http:// putraramasejati.wordpress.com
Facebook: http://facebook.com/tosowidjaya