Renungan Tentang Berguru. (Dari Kisah Nyata Suami Istri):
Renungan Tentang Berguru.
(Dari Kisah Nyata Suami Istri):
Oleh: Wong Edan Bagu.
Putera Rama Jayadewata Tanah Pasundan. Di...
Gubug Jenggolo Manuk. Pukul: 14:30. Hari Rabu. Tanggal 4 Juli 2018.
Sepasang suami istri sedang membuka catatan-catatan tentang “berguru” mereka berdiskusi tentang “berguru” sebagai bahan introspeksi.
Mereka paham bahwa pengetahuan itu, tidak akan berharga bila tidak dilakoni/dijalani.
Buku “Kunci The Power” karya Rm. Kh. Toso Wijaya D. Ms, dan artikel-artikel yang tersebar di media online internet, mereka jadikan sebagai referensi.
Mereka mengutip pandangan dalam berbagai referensi tersebut, agar tidak kehilangan esensi.
Sang Istri berkata;
Suamiku... Aku ingat sebuah wejangan tentang Sadguru, bahwa jalan spiritual, dan penunjuk jalan yang kita peroleh dalam hidup ini, sebenarnya adalah “hasil” dari pencarian kita sendiri.
Sedangkan Guru itu, hanya sekedar menunjukan jalan dan memberikan caranya.
Selama entah berapa abad, berapa lama, berapa masa kehidupan, jiwa mencari terus.
Akhirnya ia memperoleh apa yang dicarinya, dan, jiwa sadar sesadar-sadarnya, bila apa yang diperolehnya itu, adalah hasil dari pencariannya.
Ketika kita berhadapan dengan seorang pembimbing, kita tidak pernah ragu, kita langsung jatuh “jatuh hati”.
Keraguan muncul ketika ia mulai memandu, karena panduannya tidak sejalan dengan pola pikir kita yang lama, kesalahan seperti ini telah kita lakukan dari zaman ke zaman.
Apakah kita tidak diberi tanda-tanda yang tegas tentang sang pemberi peringatan...?!
Apakah kita tidak merasakan kehangatan persahabatan kita dengannya...?!
Kita diberi tanda-tanda yang jelas, kita melihat, kita merasakan, tapi, pikiran tidak menerima, “itu tanda-tanda yang salah, keliru, itu bukanlah perasaanmu yang sebenarnya, kejarlah perasaanmu yang sebenarnya.”
Pikiran justru menciptakan rasa palsu, yang lebih di kenal dengan sebutan perasaan, emosi buatannya sendiri, untuk menjauhkan kita, dari rasa segala rasa.
Kita lupa akan rasa itu, dan terbawa oleh napsu, emosi rendahan untuk kembali mengejar bayang-bayang.
Sang Suami menjawab;
Istriku... Aku baru saja membuka file wejangan-wejangan lama, tentang bagaimana cara mendekati seorang Sadguru dan tidak berlari menjauhi.
Dalam file artikel wejangan itu, guru kita Rm. Kh. Toso Wijaya D. Ms yang lebih di kenal secara umum sebagai Wong Edan Bagu, memberikan gambaran seperti ini.
Ada seorang yang datang dengan niyat berguru, tujuannya berguru untuk menjadi guru semedhi.
Dia tidak sadar bahwa tujuannya itu, keinginannya untuk menjadi sesuatu itu, justru menjadi penghalang utamanya.
Latihan-latihan yang diberikan oleh Sang Master kita itu “mainan” untuk membuat kita betah duduk bersamanya.
Artinya, yang terpenting itu, bukanlah latihan-latihannya itu, tetapi kebersamaan seorang murid dengan murshidnya, seorang shishya dengan gurunya.
Duduk bersama seorang master/murshid/guru, kita akan ketularan
“virus kesadaran murni-nya"
Karena saat kita duduk bersama seorang master/murshid/guru, sang master/murshid/guru, beliau tengah berbagi kesadaran murni, bukan yang lain.
Sang Istri menyambung perkataan;
Aku juga barusan membaca file artikel wejangan beliau, tentang tingkatan Wahyu Panca Laku atau iman tertinggi, yaitu Cinta Kasih Sayang yang ada di urutan kelima.
Yang intinya adalah Cinta Kasih Sayang tak Bersyarat dan Tak Terbatas.
Dicontohkan sebagai;
Seorang Guru yang duduk di tengah, sedangkan para siswa duduk melingkar, menghadapinya.
Apa arti pola duduk seperti itu...?! Sang murshid harus menjadi centerpoint hidup kita.
Titik tengah kehidupan kita. Dan jangan lupa, yang menjadi centerpoint bukanlah wujud dianya, tetapi apa yang diwakilinya.
Dan setiap guru, setiap murshid, itu mewakili hanya satu lembaga-lembaga Non-Lembaga Cinta Kasih Sayang.
Dengan semangat cinta kasih sayang, berupayalah untuk mencapai titik tengah di dalam diri sendiri, untuk menemukan cinta kasih sayang di dalam diri sendiri, guru di luar diri hanya mewakili Murshid di dalam diri setiap murid.
Sang Suami;
Dulu, aku pernah baca buku “Mawar Mistik, Ulasan Injil Maria Magdalena” buku itu menyampaikan;
Kehadiran seorang Guru dalam hidup kita, semata-mata untuk membantu kita, agar tidak menjadi egois.
Guru bagaikan katalisator, “perantara yang ada dan tidak ada” Dia bagaikan awan yang menyebabkan keteduhan untuk sejenak dan berlalu.
Awan tidak memberi keteduhan, ia tidak membuat teduh, ia hanya menjadi penyebab terjadinya teduh. Itulah Guru.
Bagi Maria, kesadaran identik dengan Guru, bagi dia, pencerahan identik dengan Yesus yang dicintainya, dikasihinya, disayanginya.
Di balik kejadian itu, ia tidak melihat andil dirinya sama sekali.
Ia tidak merasa melakukan sesuatu yang luar biasa untuk memperoleh pencerahan itu.
Apa yang terjadi atas dirinya semata-mata karena berkah, karena rahmat, karena anugerah Sang Guru!
Kelak, Nanak pun mengatakan hal yang sama, bertahun-tahun setelah kejadian, Sadguru Prasaad-Hyang Tunggal Itu kutemui berkat rahmat Guruku!
Sang Istri;
Oh iya, aku jadi ingat, dulupun aku pernah membaca buku Wedhatama bagi orang modern, dalam buku itu disampaikan……..
Seorang guru tidak lagi menggunakan pikirannya, ia hanya menyampaikan apa yang terdengar lewat nuraninya, yang selalu dalam keadaan mawas diri, yang dianugerahi dengan wahyu yang Hidup, hanya merekalah yang pantas disebut Guru, disebut Master, disebut Murshid, Mustafa.
Dan, Guru hanya akan bekerja untuk kita, apabila kita membuka diri sepenuhnya.
Dalam buku “Bhaja Govindam Nyanyian Kebijaksanaan Sang Mahaguru Shankara ” juga disampaikan, seorang Guru hanya akan work on us, “bekerja terhadap kita” bila kita membuka diri sepenuhnya.
Lapisan pengetahuan “semi” pengetahuan yang belum menjadi pengalaman, justru menutup diri kita.
Seorang Guru tidak pernah memaksakan diri, ia tidak akan memasuki diri kita secara paksa, ia akan menunggu di luar pintu hati kita, sebelum kita sendiri membukanya dan mengundang dia masuk.
Sang Suami;
Benar, kebanyakan dari kita merasa dekat dengan Guru, akan tetapi dekat dengan Guru berarti fokus sepenuhnya.
Badan bahkan tidak perlu parkir dekat Guru, tapi pikiran terpusatkan pada Guru, sehingga indra tidak liar, pikiran tidak gelisah pergi kesana-kemari.
Sementara ini kita hanya merasakan ketenangan sementara pikiran dan perasaan, karena badan berada dekat dengan Guru, ketenangan pikiran dan perasaan itu temporer.
Dalam buku “Bhaja Govindam Nyanyian Kebijaksanaan Sang Mahaguru Shankara” menyampaikan; Memenggal kepala-ego dan meletakkannya di bawah kaki sang guru, itu berarti menyerahkan segala beban kepadanya.
Wahyu Panca Laku atau Iman kita, mungkin belum cukup kuat, kita masih ragu-ragu, bimbang, bahkan takut, maka, sesungguhnya kita belum pantas menyebut diri sebagai murid.
Kita baru pelajar biasa. Sang murshid, sang guru, sang master siap sedia mengambil-alih seluruh bebanmu, asal kau siap menyerahkannya kepada dia.
Karena itu tugas dia…
Dia bagaikan perahu yang dapat mengantarmu ke seberang sana, bila kita sudah berada di dalam perahu, untuk apa lagi menyiksa diri dengan buntalan berat di atas kepala...?!
Turunkan buntalan itu dari kepala kita, letakkan di bawah, perahu kita, guru kita, murshid kita siap menerima tambahan beban itu, bahkan, ia sudah menerimanya, walau berada di atas kepala kita, sesungguhnya beban itu sudah membebani guru kita.
Sang Istri;
Dalam buku “ Atma Bodha Menggapai Kebenaran Sejati atau Kesadaran Murni dan Kebahagiaan Kekal” disampaikan, bahwa;
Para sufi menggunakan “wujud” murshid sebagai gerbang untuk memasuki Tuhan.
Ketika Yesus menyatakan diri sebagai pintu untuk memasuki Kerajaan Allah, maksudnya ya itu.
Para lama di Tibet melakukan Guru Pooja, penghormatan khusus terhadap para guru, begitu pula dengan para “pencari” di dataran India.
Lewat Guru Bhakti atau cinta kasih sayang tak bersyarat dan tak terbatas terhadap seorang guru, mereka menemukan cinta kasih sayang yang sama di dalam diri mereka masing-masing.
Sesumgguhnya seorang guru tidak membutuhkan puja dan bakti, dia justru memberikan kesempatan bagi perkembangan puja dan bhakti di dalam diri kita masing-masing.
Puja dan bakti terhadap seorang guru tidak berarti mencium kaki atau tangannya, puja dan bakti semata-mata untuk mendekatkan diri kita dengan Ia yang bersemayam di dalam setiap makhluk.
Sang Suami;
Ya, wujud adalah sarana Gusti untuk menyampaikan kesatuan dan persatuan, maka wujud Sadguru dapat digunakan sebagai sarana Patrap Semedhi Mbekso oleh para panembah.
Dengan mengarahkan kesadaran pada wujud Sadguru, kita merasakan kesatuan dan persatuan dengan beliau yang sudah terlebih dahulu bersatu dengan semesta, ya, Demikianlah.
Dengan cara itu, sesungguhnya kita pun bersatu dengan alam semesta, namun untuk itu, dibutuhkan Wahyu Panca Laku secara total.
Meyakini dan mempercayai Sadguru, berarti meyakini pesan beliau, berWahyu Panca Laku kepada beliau, berarti ber Wahyu Panca Laku kepada apa yang beliau sampaikan dan menjalani hidup sesuai dengan pesan beliau.
Pesan beliau adalah pesan kebajikan, menjalani hidup sesuai dengan beliau, berarti menghidupi pesannya "maksudnya" menjalani kebijakan setiap saat.
Sang istri;
Setuju suamiku, cara itu memang khas yang pernah di wejangkan kepada kita, dan sangat penting, sangat bermanfaat bagiku khususnya, yang sedang belajar mengenal diri, supaya bisa menemukan jati diri.
Didalam patrap...
Kita pusatkan kesadaran kita hanya kepada Tuhan, tanpa mengharapkan sesuatu apa pun jua.
Didalam semedhi...
Kita lihat Dia dalam diri setiap makhluk.
Ketika itu terjadi...
Pikiran kita akan terpust dengan-Nya, maka disaat itu tercapailah tujuan hidup.
Didalam mbekso...
Kita rasakan/nikmati kesadaran kepada Dzat-Ku yang tak berwujud.
Ketika itu terjadi...
Kita akan sadar tentang-Nya, sehingganya kita bisa menyadari, bahwa Pengetahuan Sejati, Kesadaran Murni, Kebahagiaan Kekal Abadi, itulah kebenaran diri-Ku.
Namun, jika sulit merasakan/menikmati kesadaran kepada Dzat yang tak berwujud.
Maka pusatkanlah pada wujud-Ku yang satu ini, dan jari kaki hingga kepala-Ku sebagaimana kau melihat-Ku saat ini.
Biarlah wujud ini saja yang kaukenang sepanjang pagi, siang, dan malam.
Dengan cara ini pun kau dapat menenangkan pikiranmu dan mencapai tujuan yang sama.
Saat itu, sirnalah perpisahan antara patrap dan pelaku Patrap, antara semedi dan pelaku semedi, antara mbekso dan pelaku mbekso dan antara, Patrap, Semedi, Mbekso, Pelaku dan upaya Patrap, Semedi, Mbekso dari si pelakunya itu sendiri.
Itulah saat kau menyatu dengan Kesadaran Murni atau dengan Hidup atau Guru Sejati, atau dengan Romo.
Sang Suami;
Sepertinya kita telah lupa tradisi kuno ini, di mana seorang murid melakukan sungkem dan mencium tangan seorang Guru.
Kedua gerakan itu sarat dengan makna, jika harus diungkapkan, maknanya...
Sungkem bermakna;
Wahai Guru...
Sekarang kutundukkan kepalaku, egoku, pengetahuan yang telah kuperoleh selama ini, kutuangkan semuanya, karena semua itu tidak membantuku.
Wahai Guru...
Sekarang aku datang ke Pesanggrahanmu di Gubug Jenggolo Manik;
Ajarilah aku yang masih bodoh ini.
Cium tangan;
Saat mencium tangan seorang murshid, berarti kita sedang menyatakan kepercayaan kita terhadap segala karyanya, tanpa kepercayaan, kita tidak bisa berguru, "begitulah kurang lebih maknanya"
WEB-Wong Edan Bagu menyambut Keduanya;
Wahai Suami dan Istri...
Apa yang kalian berdua renungkan, itu sudah benar, namun kurang tepat.
Ketahuilah secara sadar, agar supaya kalian bisa mampu menyadarinya;
Patrap Semedhi tidak bisa di ajarkan. Patrap Semedhi bukanlah suatu pelajaran. Apa lagi Mbekso. Tidak Bisa!
Patrap Semedhi harus dialami/dijalani lalu dibagikan, dengan begitu, bisa memperoleh Mbekso.
Siapapun mastermu, gurumu, murshidmu, tidak akan bisa mengajarkan Patrap Semedhi dan Mbekso, karena Patrap Semedhi dan Mbekso, itu bukan pelajaran untuk diajarkan, melainkan kedadaran murni pengetahuan universal yang dialami untuk di bagikan.
Jadi, siapapun mastermu, gurumu, murshidmu “dekati” dia, tanpa kedekatan seperti itu, kalian tidak akan memperoleh hasil apapun.
Sesungguhnya, siapapun kita, bisa mendekati sang guru, walau fisik kita berada di ribuan kilometer jauh dari dia, sebaliknya, kita bisa juga tetap jauh, walau secara fisik sangat dekat, itulah "Kesadaran"
Hal-hal lain dalam kehidupan kita, masih bisa ditunda, tapi "kesadaran" tidak dapat ditunda lagi, tanpa kesadaran, apapun yang kita peroleh dari hidup dalam kehidupan ini, tidak memiliki makna dan arti apapun.
Benda-benda dalam kehidupan ini, ibarat peralatan elektronik, tidak berguna jika tanpa aliran listrik (kesadaran).
Semoga Bermanfaat. Saya Wong Edan Bagu.... Mengucapkan Salam Rahayu selalu serta Salam Damai... Damai... Damai Selalu Tenteram. Sembah nuwun,,, Ngaturaken Sugeng Rahayu, lir Ing Sambikolo. Amanggih Yuwono.. Mugi pinayungan Mring Ingkang Maha Agung. Mugi kerso Paring Basuki Yuwono Teguh Rahayu Slamet.. BERKAH SELALU. Untuk semuanya tanpa terkecuali, terutama Para Sedulur, khususnya Para Kadhang Konto dan Kanti Anom Didikan saya. yang senantiasa di Restui Hyang Maha Suci Hidup....._/\_..... Aaamiin... Terima Kasih. Terima Kasih. Terima Kasih*
Ttd: Toso Wijaya. D
Lahir: Cirebon Hari Rabu Pon Tanggal 13-08-1959
Alamat: Gubug Jenggolo Manik.
Oro-oro Ombo. Jl. Raya Pilangrejo. Gang. Jenggolo. Dusun. Ledok Kulon. Rt/Rw 004/001. Desa Pilangrejo. Kecamatan. Juwangi. Kabupaten. Boyolali. Jawa Tengah. Indonesia 57391.
Email: webdjakatolos@gmail.com
Telephon/SMS/WhatsApp/Line; 0858-6179-9966.
BBM: DACB5DC3”
Twitter: @EdanBagu
Blogg: www.wongedanbagu.com
Wordpress: http:// putraramasejati.wordpress.com
Facebook: http://facebook.com/tosowidjaya
Post a Comment