Man ‘Arafa Nafsahu. Faqad ‘Arafa Rabbahu:

Man ‘Arafa Nafsahu. Faqad ‘Arafa Rabbahu:
Oleh: Wong Edan Bagu.
Putera Rama Jayadewata Tanah Pasundan.
Lubuklinggau. Hari Rabu. Tanggal 18 Oktober 2017.

MAN ‘Arafa Nafsahu, Faqad Arafa Rabbahu. “Siapa yang mengenal dirinya, akan mengenal Rabb -nya”. Begitulah kurang lebih makna dari sabda Rasulullah SAW tersebut.

Kalimat itu....
Sangat masyhur bin sangat terkenal di kalangan para penempuh jalan penyucian jiwa. Termasuk saya di beberapa puluh tahun yang lalu hingga tahun 2004.

Meski begitu, tidak semua orang meyakini kata-kata tersebut adalah sabda Rasulullah SAW. Sebagian bersikeras bahwa itu bukan hadits. Sebagian lagi mengatakan hadits itu dha’if, bahkan palsu. Sayapun sempat ikut goyah untuk menggalinya.

Namun bagi saya WEB, tidak mudah untuk menyerah, apa lagi berhenti jika belum mentog. Dengan kepenasaran tingkat tinggi, sayapun tetap terus menggali tentang apa maksud presisi kalimat tersebut...?!

Seperti apa mengenal diri itu...?! Dan, bagaimana bisa dengan hanya mengenal diri sendiri, lalu menjadi mengenal Rabb...?! Apakah diri ini adalah Rabb...?! Apakah ini terkait dengan pantheisme-menyatunya wujud Tuhan dan wujud manusia...?!
Seperti manunggaling kawula Gusti yang di ajarkan oleh Syekh Siti Jenar...?!

Mari kita perhatikan sabda Beliau SAW tersebut dengan Iman, jangan dengan EGO ya...

“Man ‘arafa nafsahu” Siapa yang Arif akan nafs-nya/jiwanya.

Arif akan jiwanya. "Arif" kurang lebih maknanya, sangat memahami, paham dengan sebenar-benarnya paham/mengerti/tahu. Sedangkan makna dari...

"Faqad arafa rabbahu" Faqad,  berarti. Pasti-lah atau sudah tentu.
Ada kadar kepastian yang tercakup di sana, jauh lebih pasti derajatnya dari hanya sekadar saja.

Jadi, maksud dari “Faqad ‘arafa rabbahu" Adalah; Pastilah akan
Arif tentang Rabb-nya.

Makna atau Kesimpulan dari kalimat...
(Man ‘arafa nafsahu. Faqad arafa rabbahu)

Adalah...
Siapa yang ‘arif akan jiwanya, maka pastilah akan Arif tentang Rabb-nya. Begitu maknanya atau Apa maksudnya "Man ‘arafa nafsahu. Faqad arafa rabbahu" yang berhasil saya gali dan kaji di TKP waktu itu.

Diri Kita yang Sejati;
Diri kita yang sejati atau sesungguhnya, bukan tubuh kita yang bisa dibedah dengan pisau bedah oleh dokter atau dengan berbagai teori psikologi kepribadian oleh para psikolog.

Kalau diri kita yang ini, yang jasadnya kita gunakan dalam interaksi, dalam bekerja, dalam berhubungan sosial dengan orang lain, sesungguhnya merupakan bentukan dari lingkungan dan  orang tua, pemikiran, norma, tren, atau paradigma yang ada di zaman kita masing-masing.

Dengan kata lain, diri kita yang ini,  adalah hasil bentukan, dari dinamika lingkungan luar yang berinteraksi dengan aspek jasadi dan aspek psikis kita.

Paduan komposisi dari semua itulah yang membentuk diri kita yang lebih di kenal dengan sebutan tubuh atau jasad. Diri kita yang ini, meski tampan/cantik atau jelek dan unik ini, adalah diri yang semu/palsu. Artinya; Ini bukan diri kita yang sejatinya atau sesungguhnya atau  sebenarnya.

Sementara, yang dimaksud dan dipanggil Dzat Maha Suci sebagai “diri” pada manusia, sejatinya/sebenarnya adalah yang Dia sebut sebagai “nafs ” dalam Al-Qur’an. Nafs , dalam bahasa kita, adalah “HIDUP”.

Nafs -lah (jamak: anfus , jiwa-jiwa) yang dipanggil dan disumpah Allah untuk mempersaksikan bahwa Allah adalah Rabb -nya.

Dan ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi, mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa-jiwa mereka; "Bukankah Aku ini Rabb-mu?" Mereka menjawab: "Betul, sungguh kami bersaksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang tidak ingat terhadap ini." – Q.S. Al-A’raaf [7]: 172

Nafs/Hidup kita sudah ada bahkan sebelum alam semesta ada. Ia juga yang terus akan melanjutkan hidup di alam barzakh dan alam-alam berikutnya, setelah kelak jasad kita dengan pikiran, hafalan, ilmu, dan semua gagasan yang menyertainya, serta semua dinamika psikis yang terkait dengannya, akan mati, lenyap, hancur, terurai menjadi tanah.

Itulah sebabnya, akan sangat berbahaya jika kita memahami agama hanya berupa hafalan dalil dan konsep di kepala, namun tidak terpahami secara mengakar hingga ke hidup.

Seiring dengan hancurnya otak kita, maka semua konsep di dalamnya pun akan lenyap, sementara Hidup kita, melanjutkan perjalanannya dengan tidak membawa apa-apa.

Nafs/hidup sendiri, berbeda dengan hawwa nafs, atau yang biasa kita sebut sebagai hawa nafsu. Sebagaimana namanya, hawa nafsu adalah hawa dari nafs, ingat.... Hanya sekadar hawa keinginan dari nafs/hidup.

Hawa nafsu yang sesungguhnya,  adalah nafs yang palsu/tidak ada, karena keinginan-keinginannya sama-sama berasal dari dalam diri kita, sehingga kehendak hawa nafsu, tidak mudah dibedakan dari kehendak nafs/hidup. (Perasaan dan Rasa, itu bagaikan pinang di belah dua-sama namun tak serupa).

Yang dimaksud dan dipanggil Allah  sebagai Diri pada manusia, sejatinya/sebenarnya adalah yang Dia sebut sebagai “nafs” dalam Al-Qur’an, yang dalam bahasa kita lebih di kenal dengan sebutan Hidup atau Roh Suci. Diri kita yang sejati adalah nafs (hidup) yang ada dalam diri kita masing-masing selagi belum di kubur.

Jadi, diri kita yang sejati bukanlah jasad dengan segala dinamika psikis maupun psikologisnya. Diri kita yang sejati adalah nafs (hidup) yang ada dalam diri kita masing-masing.

Hidup... namun bukan sembarang Hidup. Hidup yang dimaksud sebagai diri manusia yang sejati,  adalah Hidup yang sudah terbebas dari dominasi hawa nafsunya, dari ikatan atau kemelekatan  keduniawian, mulai dari daya-daya syahwati jasadnya.

Nafs/Hidup yang telah terbebas dari perbudakan syahwat dan hawa nafsunya inilah yang disebut “ nafs/hidup yang tenang” yang dalam bahasa kitabnya; Wahai jiwa-jiwa yang tenang.

Nafs/Hidup yang tenang ini, dalam Al-Qur’an disebut sebagai “Nafs Al-Muthma’innah” Sebagaimana permukaan air yang telah tenang, pada kondisi nafs/hidup yang telah tenang inilah, kita bisa melihat kembali pengetahuan tentang siapa dirinya, untuk apa dia diciptakan dan apa tugasnya.

Semua pengetahuan yang pernah Dzat Maha Suci tanamkan kepadanya-pun akan terbuka kembali dan tampak dengan jelas baginya.

Arafa Nafsahu....
Nafs/Hidup-lah yang dahulu mempersaksikan diri kepada Dzat Maha Suci, berbicara dengan-Nya dan menerima seluruh pengetahuan untuk menunjang tugas-tugas penciptaan yang harus kita laksanakan di dunia ini.

Sedangkan diri kita yang jasad, termasuk dengan segala dinamika fisik, psikis, dan psikologisnya, sesungguhnya hanya kendaraan/ kereta kencana bagi sang hidup untuk melaksanakan perannya di alam fisik ini.

Diri kita yang ini usianya terbatas. Kelak, ia akan hancur menjadi tanah.

Secerdas-cerdasnya dan seindah-indahnya jasad seseorang, pada hakikatnya, itu hanya seperti kecerdasan dan keindahan seekor kuda, jika dibandingkan dengan  kecerdasan dan keindahan Hidup sebagai Sang Pengendara-nya.

Kecerdasan dan keindahan Hidup,  sesungguhnya jutaan kali lipat dibanding jasadnya, jika saja Hidup  berhasil membebaskan diri dari perbudakan hawa nafsu dan syahwatnya, serta berhasil membuka kembali ilmu-ilmu ilahiah yang Dzat Maha Suci  tanamkan dalam dadanya sejak awal di ciptakan.

Saya Ulangi Sekali Lagi....
Secerdas-cerdasnya dan seindah-indahnya jasad/tubuh/raga/fisik/wujudnya  seseorang, pada hakikatnya itu hanya seperti kecerdasan dan keindahan se'ekor kuda yang sedang menarik kereta. Jika dibanding kan dengan kecerdasan dan keindahan Hidup  Sang Pengendara-nya.

Nafs/Hidup yang di sebut Sebagai "Diri" inilah yang harus kita kenali dengan se- ’arif - ’arif -nya, karena di tataran nafs -lah Dzat Maha Suci  menanam bibit pengetahuan agung tentang siapa kita sebenarnya, untuk fungsi apa kita diciptakan-Nya, dan bagaimana memperoleh segala prasarana untuk menjalankan tugas penciptaan itu. Bukan di jasad, bukan pula di otak, tapi di tataran nafs/hidup.

Tentu, langkah awal untuk mengenal hidup, adalah dengan membebaskannya dulu dari waham, dari timbunan dosa, dari kungkungan sifat-sifat jasadi maupun dominasi syahwat dan hawa nafsu atas hidup kita.

Dalam bahasa agama, langkah ini disebut sebagai memulai perjalanan taubat-perjalanan kembali kepada Allah Ta’ala.
Inna lillaahi wa Inna ilaihi rajiun.

Taubat berasal dari kata
“taaba” , yang artinya kembali.
Sebab itu, di sebagian besar artikel dan Vidio saya, intinya mengajak berTaubat dan Mengabdikan diri hanya kepada Dzat Maha Suci, bukan yang lain.

Dengan Cara Wahyu Panca Ghaib untuk membersihkan Hati dan Syahwat Dan Wahyu Panca Laku untuk menjaga Hati dan Syahwat agar tidak terkotori lagi.

Karena hanya dengan berTaubat dan Mengabdikan diri/hidup kepada Dzat Maha Suci. Kita bisa. Sehebat dan sekuat apapun puasa/tirakat/bertapanya atau secerdas apapun otaknya, jika tidak mau berTaubat dan Mengabdikan diri/hidupnya kepada Dzat Maha Suci. Saya berani memastikan. Tidak akan Pernah Bisa.

Namun dalam kenyataannya secara umum. Jangankan Arif akan Hidup-nya sendiri, sebagian besar manusia pada umumnya, bukan saja belum mengenal hidupnya. Mereka bahkan belum bisa membedakan hawa nafsu dengan hidupnya sendiri, karena hidupnya sangat jauh terkubur dalam dosa dan sifat-sifat kejasadiahannya sendiri.

Jiwanya sudah terlalu lemah,  karena tertimbun dosa-dosa membuatnya lumpuh, buta dan tuli, sehingga tak kuasa lagi untuk mengambil alih kendali atas kendaraannya sendiri.

Pada umumnya, manusia sudah tidak lagi mampu membedakan mana suara hati nurani, mana kehendak hawa nafsu, mana keinginan syahwat, mana bisikan setan maupun mana kehendak jiwa. Semua terdengar sama saja di hatinya.

Terkait dengan tujuan penciptaan manusia, kebanyakan bin pada umumnya, biasanya selalu merujuk pada ayat berikut ini.

"....Dan tidaklah Aku telah menciptakan jin dan manusia, kecuali untuk mengabdi kepada-Ku. – Q.S. Adz-Dzariyat [51]: 56

Hanya saja, sayangnya, kata “mengabdi” di sana, hanya diterjemahkan sebagai “untuk beribadah”, dalam pengertian untuk melakukan shalat, puasa, zakat, haji dan semacamnya.

Tujuan penciptaan kita seakan-akan hanya untuk melakukan ibadah ritual formal. Jika hanya dengan memahami makna kata “mengabdi” hanya seperti itu, maka pada akhirnya tujuan hidup manusia dipahami hanya sebatas untuk mengumpulkan pahala sebanyak-banyaknya, dalam rangka seleksi untuk memasuki surga atau neraka saja.

Padahal, kata “ ya’bud ”mengabdi" di sana berasal dari kata ‘abid , kata benda yang bermakna hamba, budak, atau seorang abdi.

Ya’bud-mengabdi, adalah kata kerja yang bermakna “menjadikan diri sebagai hamba”, atau tepatnya adalah “mengabdi”.

Itulah tujuan penciptaan kita, untuk melaksanakan sebuah pengabdian, bukan sekadar untuk beribadah.

Mengabdi, dalam tataran pengertian yang paling luar dan paling sederhana, bagi umat Rasulullah SAW adalah melakukan apa saja yang diperintahkan dalam koridor syariat yang dibawa oleh Beliau.

Kita melakukan shalat, puasa, zakat dan semacamnya—kita “beribadah”. Namun, dalam tataran yang lebih dalam, yang dimaksud
“ya’bud” (mengabdi) di sini bukan semata-mata sekadar ritual ibadah formal.

Mengabdi, sebagaimana apa yang dilakukan seorang abid, adalah melaksanakan perintah tuannya. Dan kebaktian yang tertinggi seorang abid pada tuannya, adalah menjalankan perannya untuk tuannya, sesuai dengan hal terbaik yang mampu dilakukannya.

Seorang hamba akan mempersembahkan kemampuan dan karyanya yang terbaik untuk tuannya, atau tepatnya, melakukan hal terbaik yang bisa dilakukannya atas nama tuannya. Inilah inti dari menjadi seorang hamba, melaksanakan sebuah pengabdian untuk tuannya.

Arif akan nafs/hidup.  Arif akan Tujuan Penciptaan Dirinya sebagai manusia yang mempunyai sebuah fungsi spesifik, sebuah peran yang harus dilakukannya atas nama Dzat Maha Suci, yang menjadi alasan penciptaannya. Dengan kata lain, untuk tugas itulah seorang manusia diciptakan.

Dan, jika ia berhasil menemukan tugasnya itu, yang pengetahuan tentang ini, ada dalam jiwanya, maka ia akan menjadi yang terbaik dalam bidang tugasnya tersebut.

Tugas tersebut, atau amal tersebut, atau tepatnya. Pelaksanaan pengabdian tersebut akan Dzat Maha Suci mudahkan baginya.

Tak kala kita berTaubat, pada saat itu juga, kita akan mengetahui fungsi spesifik kita sebagai manusia hidup di dunia ini, dan kita akan memulai melaksanakan ibadah (pengabdian) yang paling hakiki, yang sesungguhnya, yang sesuai dengan fungsi kita diciptakan.

Sebagai contoh, shalat/patrapnya seekor burung, ada di dalam bentuk membuka sayapnya, ketika ia terbang, dan shalat/patrapnya seekor ikan, ada di dalam kondisi saat ia berenang di dalam air, begitupun dengan setiap manusia, masing-masing kita pun memiliki cara pengabdian yang spesifik, jika kita mau berTaubat, maka kita akan  berhasil menemukan fungsi untuk apa kita diciptakan-Nya.

Itulah pengabdian hakiki seorang hamba pada Rabb-nya. Yaitu;  Melaksanakan Pengabdian dengan cara menjalankan fungsi spesifik dirinya, sesuai dengan untuk apa kita diciptakan-Nya sejak awal. Fungsi diri yang spesifik inilah yang disebut dengan tujuan hidup  atau tugas kelahiran.

Kebaktian tertinggi seorang abid/hamba adalah dengan menggunakan kemampuan terbaik yang dimilikinya, untuk melaksanakan tujuan penciptaannya dengan segala perangkat yang telah diletakkan Dzat Maha Suci di dalam jiwanya, untuk menjalankan peran khususnya atas nama Dzat Maha Suci. Dia menyampaikan khazanah Rabb -nya bagi alam semestanya.

Inilah fungsi hakikinya sebagai manusia, menjadi Perpanjangan tangan Dzat Maha Suci, untuk memakmurkan alam semestanya sendiri.

Inilah makna sesungguhnya dari kata khalifah. Pemakmur, bukan semata-mata penguasa "Arif akan nafs/hidup. Sesungguhnya sama artinya dengan memahami alasan penciptaan kita dan amal tertinggi kita, untuk tugas dan peran apa kita diciptakan. ‘Arif terhadap nafs/hidup, sama dengan memahami sepenuhnya tujuan hidupnya dan melaksanakannya.

Inilah makna kalimat Rasulullah SAW yang berbunyi "Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu” Yang berhasil saya Selami waktu itu, yang artinya; Barangsiapa yang berhasil memahami tujuan penciptaannya (yang pengetahuan itu tersimpan dalam nafs/hidup-nya), maka ia akan Dzat Maha Suci  tetapkan di dalam-Nya, sehingga ia bisa mengenal Rabb -nya sejak di dunia ini.

Saya Wong Edan Bagu. Mengucapkan Salam Rahayu selalu serta Salam Damai... Damai... Damai Selalu Tenteram. Sembah nuwun,,, Ngaturaken Sugeng Rahayu, lir Ing Sambikolo. Amanggih Yuwono.. Mugi pinayungan Mring Ingkang Maha Agung. Mugi kerso Paring Basuki Yuwono Teguh Rahayu Slamet.. BERKAH SELALU. Untuk semuanya tanpa terkecuali, terutama Para Sedulur, khususnya Para Kadhang Konto dan Kanti Anom Didikan saya. yang senantiasa di Restui Hyang Maha Suci Hidup....._/\_..... Aaamiin... Terima Kasih. Terima Kasih. Terima Kasih *
Ttd: Wong Edan Bagu
Putera Rama Jayadewata Tanah Pasundan
Telephon; 0819-4610-8666.
SMS/WhatsApp/Line; 0858-6179-9966.
BBM; DACB5DC3”
@EdanBagu
www.wongedanbagu.com
http://putraramasejati.wordpress.com
http://facebook.com/tosowidjaya