KISAH PERJALANAN SPIRITUAL Wong Edan Bagu. DALAM MENEMUKAN TIGA TITIK PENENTU IMAN. Yaitu CINTA KASIH SAYANG Bagian Satu:
KISAH PERJALANAN SPIRITUAL Wong Edan Bagu. DALAM
MENEMUKAN TIGA TITIK PENENTU IMAN. Yaitu CINTA KASIH SAYANG Bagian Satu:
Oleh: Wong Edan Bagu
Putera Rama Jayadewata Tanah Pasundan
Jawa Dwipa Hari Sabtu Kliwon. Tgl 04 Juni 2016
Para Kadhang dan Para Sedulur Kenasihku
sekalian. Mugio tansyah pinayungan Mring Dzat kang Maha Suci, kanti Basuki
Yuwono Teguh Rahayu Slamet untukmu sekalian. Ada banyak pengalaman yang pernah
saya dapatkan di sepanjang perjalanan spiritual saya dulu, sebelum menjalankan
Laku Hakikat Hidup, dan pada kesempatan kali ini, saya ingin membagikan
pengalaman tersebut, kepadamu sekalian, dengan harapan, semoga bermanfaat bagi
siapapun yang sedang menempuh proses perjalanan spiritual, sebagai wacana
penambahan pengalaman.
Awal mula saya tiba di tanah jawa, tepatnya di
telatah tanah pasundan cirebon, yaitu tanah kelahiran saya sendiri, setelah di
kenalkan dengan ilmu syare’at, hakikat, tarekat, tasyawuf dan makrifat, oleh tiga
orang guru yang membimbing saya kala itu, sehingganya berdasarkan bimbingan
tiga guru inilah, saya semakin haus dengan yang namanya spiritual. Karena itu,
saya merasa tidak cukup memiliki hanya tiga orang guru saja, selain melanglang
buana untuk mencari guru-guru yang lebih hebat dan mumpuni dalam segala hal,
saya juga rajin membaca qitab-qitab agama yang saya selami kedalamannya waktu
itu, saya juga suka membaca buku-buku spiritual peninggalan para ahli spiritual
jaman dulu, selain kisah perjalanan sejarah para Nabi, ada dua tokoh s[iritual yang
cukup menggugah vital saya, diantaranya adalah; Jalaludin Rumi, seorang Ahli
Spiritual dari kalangan Sufi dan Sidharta Gautama, seorang Ahli Spiritual dari kalangan
Pertapa, yang pada akhirnya menjadi titik fokus ajaran Budha.
Dua Tokoh inilah yang
telah berhasil menggugah organ vital keTuhan-nan saya, sehingganya, selalu haus
untuk bisa mencapai puncaknya spiritual yang sebenarnya, apapun risikonya dan
bagaimanapun caranya.
Lalu, seperti apakah
sejarah perjalanan spiritual mereka berdua ini?
Sehingganya sampai
bisa membangkitkan organ vital keTuhan-nan saya?
Mari kita simak
wedarannya, yang tentunya sudah bercampur dengan perjalanan spiritual pribadi
saya. Semoga bermanfa’at untukmu sekalian. Amiin.
Yang Pertama;
Para Kadhang dan Para Sedulur Kenasihku
sekalian...
Tersurat di dalam sebuah buku spiritual kuno,
yang awal terjadinya di sebelah selatan Nepal,
di kaki gunung Himalaya, terdapat sebuah tempat suci bernama Lumbini, yaitu
tempat di mana Sang Buddha lahir. Banyak sekali umat Buddha dari seluruh dunia
berziarah ketempat tersebut, untuk memberikan hormat kepada seorang bijak, yang
kisah hidupnya tidak lekang pudar oleh waktu. Terdapat banyak sekali
cerita tentang Sang Buddha, di setiap tradisi, setiap budaya, setiap periode
waktu, memiliki kisahnya sendiri tentang Sang Buddha. Kurang lebih lima ratus
tahun setelah meninggalnya Sang Buddha, baru mulai ada materi tertulis
mengenai biography Sang Budha. Jadi, selama kurang lebih lima ratus tahun silam,
ajaran tentang Sang Buddha diajarkan secara oral atau lisan.
Tentunya ada
seseorang yang berkorespondensi dengan Sang Buddha sehingga orang tersebut
dapat menuliskan kisah tentang Sang Buddha, tetapi kita tidak tau siapa kah
orang tersebut, apa kah apa yang dia paparkan tersebut benar atau
jangan-jangan hanya dongeng belaka, berapa banyak dari kisah Sang Buddha
yang benar-benar realita. Tetapi di luar dari semua itu, kisah perjalanan
hidup Sang Buddha merupakan salah satu cara yang indah untuk menyampaikan
ajaran Sang Buddha.
“Dia yang melihat
ajaranku melihatku, dan dia yang melihatku melihat ajaranku”, demikian kata
Sang Buddha.
Lahir lebih
kurang lima ratus tahun sebelum kelahiran Nab Isa, yang oleh umat
kristiani di sebut sebagai Yesus. Sang Buddha lahir dan diberi nama Sidharta
Gautama, ayahnya bernama Raja Sudhodana. Selama kurang lebih tiga dekade Sang
Buddha dibesarkan dengan sangat hati-hati oleh ayahnya, tinggal di istana
dengan segala kemewahan layaknya seorang anak Raja, pergi ke mana-mana
terlindung dari panas dan hujan. Ayahnya menginginkan Sidharta
menjadi seorang Raja, menaklukkan dunia dan menjadi Kaisar India yang pada
waktu itu terpecah menjadi tujuh belas kerajaan.
Istri Raja Sudhodana
bernama Ratu Maya. Sebelum melahirkan Sang Buddha, Ratu Maya mendapatkan sebuah
mimpi yang aneh, Ratu bermimpi ada empat orang Dewa Agung membawa Ratu ke
gunung Himalaya, meletakkannya di bawah pohon Sala, kemudian Dewa Agung
memandikan Ratu di danau Anotatta, selanjutnya Ratu di pimpin masuk ke sebuah
istana emas yang indah sekali… dan kemudian Ratu dibaringkan di atas sebuah
dipan, di tempat itu lah seekor gajah putih memegang sekuntum bunga teratai di
belalainya masuk ke kamar, mengelilingi sang Ratu sebanyak tiga kali, kemudian
masuk ke perut Sang Ratu melalui perut sebelah kanan.
Ratu Maya
menceritakan mimpinya tersebut kepada Raja, kemudian Raja memanggil para
Brahmana untuk menanyakan arti mimpi tersebut. Para Brahmana menjelaskan kepada
Raja bahwa Ratu akan mengandung seorang bayi laki-laki yang kelak akan menjadi
Cakkavati (Raja dari semua Raja) atau akan menjadi orang Suci. Kemudian Ratu
Maya mengandung, sepuluh bulan kemudian dalam perjalanan menuju Devadaha, Ratu
beristirahat di taman Lumbini, dan melahirkan Sidharta Gautama di bawah pohon
Sala, waktu itu tepat bulan purnama di bulan Waisak. Tujuh hari kemudian, Ratu
Maya meninggal, dan Raja kemudian menikahi Pajapati yang juga adik dari Ratu
Maya untuk merawat Sidharta.
Raja Sudhodana sangat
menginginkan Sidharta Gautama menjadi seorang Raja daripada menjadi
seorang Suci. Para Brahmana mengingatkan Raja Sudhodana bahwa Sidharta
Gautama tidak boleh melihat empat hal semasa hidupnya, yaitu orang tua, orang
sakit, orang mati, dan pertapa. Karena apabila Sidharta Gautama melihat ke
empat hal tersebut, dia akan menjalani hidup untuk menjadi seorang pertapa.
Oleh karena itu, Raja menciptakan lingkungan artificial di sekeliling
Sidharta Gautama. Ayahnya tidak menginginkan dia melihat bahwa ada yang tidak
beres dengan kehidupan ini, supaya kelak Sidharta tumbuh sebagai seorang
Maha Raja dan bukan sebagai seorang guru spiritual.
Hidup tanpa pernah
melihat dan merasakan segala macam penderitaan, Sidharta menikmati
kehidupan penuh dengan kesenangan dan kemewahan. Setiap keinginannya terpenuhi.
“Saya mengenakan pakaian yang paling mahal, saya makan makanan yang paling
lezat dan bergizi, saya di kelilingi oleh wanita-wanita cantik” Demikian kata
Sang Buddha. Pada suatu musim hujan, Sidharta tinggal di istana dan sedang
di hibur oleh para musisi dan wanita penari, tidak pernah terpikirkan
olehnya untuk meninggalkan istana, kehidupan begitu sempurna. Ayahnya
menikahkan Sidharta dengan Yasodhara yang kelak melahirkan anaknya yang diberi
nama Rahula. Selama dua puluh sembilan tahun Sidharta menikmati kehidupan
kerajaan penuh kemewahan hingga pada akhirnya gelembung kenikmatan dan
kesenangan tersebut meletus.
Raja melakukan apa
pun supaya Sidharta tidak melihat penderitaan hidup. Tetapi suatu hari Sidharta
jalan-jalan keluar dari istana bersama beberapa pengawalnya. Di dalam
perjalanannya yang pertama kali, dia melihat ada orang tua yang bungkuk
di pinggir jalan, rambutnya putih, badannya kurus, kulitnya kasar dan
keriputan. Kemudian dia bertanya kepada pengawalnya.
Siapa ini?
Kenapa dia terlihat
berbeda dan lemah?”
Pelayannya menjawab,
dia adalah orang tua, manusia tidak akan selamanya muda dan kuat, Tuanku.
Kemudian pada
perjalanan berikutnya Sidharta melihat orang sakit terbaring di pinggir jalan,
dan dia tidak mengerti apa yang sedang dia lihat. Kemudian dia bertanya kepada
pengawalnya dan pengawalnya menjawab bahwa itu adalah orang sakit, dan itu
terjadi pada kita semua, semua orang akan sakit, dan jangan berpikir bahwa anda
adalah seorang pangeran maka anda tidak bisa sakit, ayah anda bisa sakit, ibu
anda bisa sakit, semua orang akan sakit.
Sepulang dari
perjalanannya yang ke dua, sesuatu berkecamuk di dalam diri Sidharta setelah
dia melihat horor demi horor. Pada perjalanannya yang ke tiga, Sidharta melihat
mayat dan mulai mengenal bahwa segala sesuatu dalam hidup ini tidak permanen
dan kematian adalah nyata. Dua puluh sembilan tahun tertutup dari segala
penderitaan manusia membuat Sidharta tergoncang hebat, dan dia berpikir…
“Ini semua akan
terjadi juga pada diriku. Saya akan menjadi tua, saya juga akan menjadi sakit,
dan saya juga akan mati”
Bagaimana caranya
saya menghadapi semua ini?”
Itu adalah pertanyaan
yang universal dari setiap manusia.
Kemudian pada
perjalanannya yang ke empat, dia melihat seorang pertapa, seorang spiritual
seeker. Orang yang hidup dengan cara yang berbeda dari orang pada umumnya,
untuk melepaskan diri dari kehidupan yang tidak permanen dan tidak lepas dari
penderitaan.
Usia dua puluh
sembilan tahun, menemukan dirinya sedang berada dalam suatu masalah besar,
Sidharta memutuskan untuk memahami sifat alami dari penderitaan, yang pada
akhirnya membawa Sidharta meninggalkan Istana dan meninggalkan segala hal-hal
keduniawian. Pada saat itu, istrinya Yasodhara melahirkan seorang bayi
laki-laki, dan Sidharta memberi nama Rahula yang artinya adalah belenggu dan
perubahan. Karena bagi Sidharta, bayi lelakinya akan membuat dirinya
terpenjara.
Pada suatu malam di
musim panas, Sidharta mengunjungi ruang tidur istrinya dan mendapatkan bahwa
istrinya sedang tidur sambil merangkul bayinya Rahula. “Apabila saya
mengangkat tangan istriku, menggendong anakku, pasti akan memberatkan
langkah ku untuk meninggalkan mereka” pikir Sang Buddha. Maka, dia membalikkan
badan dan memanjat turun dari Istana, dan pergi meninggalkan Istana bersama
kuda kesayangannya yang bernama Kanthaka.
Pada saat Sidharta
meninggalkan Istana, Mara dewa nafsu menghampiri Sidharta, mengatakan kepada
Sidharta
“Kamu ditakdirkan
untuk memerintah sebuah kerajaan yang BESAR, seluruh India… Kembali lah ke
Istana dan segala kekuasaan di dunia ini akan menjadi milikmu”
Sidharta menolak, di
dalam kegundahan hatinya saat meninggalkan orang tuanya, istrinya, dan anaknya
yang baru saja lahir, Sidharta terus melaju bersama Kanthaka kudanya.
Tidak ada
kebijaksanaan yang di dapatkan tanpa pengorbanan.
Untuk pertama kalinya
Sidharta menjalani hidup sendirian, duduk di pinggir sungai Gangga.
“Meskipun ayah dan ibu ku bersedih dan
bercucuran air mata, saya menutup mata dan telinga, memakai jubah saya,
berangkat dari memiliki rumah menjadi gelandangan tanpa rumah, saya telah di
lukai dengan dalam oleh kenikmatan duniawi, dan sekarang saya keluar untuk mencari
kedamaian hidup”.
Suatu ketika sebagai
seorang Pangeran yang di puja dan memiliki segalanya, sekarang menjadi seorang
pengemis, hidup mengandalkan sumbangan dari orang asing yang tidak di kenal,
tidur tanpa alas di atas tanah dan di tengah hutan belantara, tinggal
bersama binatang buas, dan tempat di mana setan-setan dan roh-roh halus
bergentayangan.
Pada saat itu, Sidharta
adalah seorang “Pencari” (Sama seperti saya pada sa’at membaca buku kisahnya
pada waktu itu). Hanya saja, “Bedanya” Dia belum memiliki doktrin di dalam
dirinya, tidak memiliki pemahaman apa-apa, dan tidak memiliki solusi apa-apa,
tetapi dia mengenali pokok permasalahannya, di dalam hidup, manusia akan
menjadi tua, sakit, dan mati. Sedangkan saya, sudah memiliki doktrin,
sudah memiliki pemahaman dari banyak guru, dan dan sudah memiliki solusi,
tetapi saya tidak mengenali pokok permasalahan saya.
Selama berabad-abad,
bahkan sebelum zaman Sang Buddha, sudah terdapat berbagai macam agama dengan masing-masing
ritual keagamaannya. Pada saat Sidharta memutuskan untuk meninggalkan
keduniawian, bergabung bersama ribuan petapa lainnya, melepaskan segala
apa yang di miliki, melakukan praktik hidup yang keras tapi sederhana
serta bermeditasi dengan tujuan supaya terlepas dari siklus hidup, mati,
dan terlahirkan kembali, atau yang kita kenal dengan istilah
reinkarnasi atau moksa.
Sayapun sama, atas
keberhasilan Sidharta dalam mencapai tingkatan spiritual, sayapun meniru, saya
tinggalkan semuanya dan segalanya tanpa terkecuali, hampir semua guru-guru
pembimbing saya melarang, bahkan ada yang mengatakan kamu telah tersesat. Namun
saya tidak peduli, tekad dan niyat saya. Sudah tidak bisa di ganggu gugat. Sama
seperti Sidharta sa’at dihampiri Mara dewa nafsu, sayapun menolak tanpa peduli,
dan sejak itu, saya berjalan dan bergerak serta berusaha mencari sendiri, tanpa
guru tanpa pembimbing. Keluar masuk agama-agama untuk saya selami telaga
ilmunya.
Sampailah pada
Pemahaman yang memberikan pengertian, bahwa penderitaan itu, tidak
berasal dari kelahiran, dan tidak berakhir pada saat kematian, penderitaan
tidak ada akhirnya, kecuali seseorang menemukan jalan keluar dari siklus
tersebut, yaitu menjadi tercerahkan/utusan.
Pada zaman tersebut
di India, di yakini bahwa kematian bukan lah akhir dari segalanya, tetapi
kematian membawa kepada penderitaan yang lebih menyiksa. Di kisahkan bahwa
Sidharta pernah hidup di berbagai alam, sebelum hidup di alam manusia. Sidharta
pernah hidup sebagai binatang, pernah menjadi manusia, baik pria mau pun
wanita, pernah juga menjadi Dewa. Menjalani kehidupan dalam berbagai bentuk.
Kemudian secara perlahan-lahan dengan latihan yang semakin dalam, dengan
kebijaksanaan, sehingga akhirnya Sidharta menjadi tercerahkan/utusan dan
menjadi Sang Buddha. Saya tertarik dalam kisahnya...
Di dalam
perjalanannya, Sidharta bertemu dengan seorang guru spiritual dan beliau
mengatakan kepada Sidharta “kebenaran tidak akan datang dari latihan dan ritual
keagamaan. Tetapi kita harus hidup di dalam ajaran tersebut, kamu boleh
ikut denganku kalau mau”.
Guru spiritual pada
zaman itu sudah mengajarkan yoga dan meditasi, mengajarkan bagaimana pikiran
dapat di jinakkan, dan pada zaman itu terdapat banyak sekali sekolah yoga dan
meditasi. Yoga bukan hanya badan, tetapi Yoga memberikan benefit terhadap badan
dengan berbagai cara, dan tujuan utama
dari yoga adalah untuk mencapai keadaan meditatif yang mendalam, yang mana tidak
bisa didapatkan dengan mudah dan cepat, tetapi melalui proses latihan yang
disiplin.
Meskipun Yoga
kelihatannya fokus pada kontrol terhadap badan, tetapi sebenarnya Yoga adalah
disiplin spiritual kuno, yang tujuan utamanya adalah untuk
menenangkan pikiran. Namun, praktik meditasi yoga tidak mensolusikan
permasalahan bagi Sidharta, yaitu mengakhiri penderitaan, dan praktik meditasi
hanya memberikan temporary solution, memberikan ketenangan yang bersifat sementara.
Sidharta tidak puas dan kemudian Sidharta pergi meninggalkan gurunya yang
pertama, kemudian ketemu dengan guru yang ke dua, hasilnya tetap sama. Sehingga
Sidharta meninggalkan juga guru tersebut, sayapun sama, setelah masuk
agama ini, tidak puas, lalu saya keluar dan masuk lagi ke agama yang lainnya.
Setelah saya rasakan semua
agama yang saya pelajari dan perguruan yang pernah saya guri, tidak memuaskan
saya, dalam menempuh kebebasan siklus kehidupan, lalu saya melanjutkan
perjalanan sendiri, tanpa guru tanpa agama, mencari jawaban atas pertanyaan
saya sendiri.
Kenapa manusia
dihidupkan di dunia ini?
Yang kemudia di
matikan dan di ganjar sesuai perbatan semasa hidup di dunia.
Apakah ada jalan
keluar?
Apa benar reinkarnasi
atau moksa itu ada dan saya bisa?
Saya mencoba,
mencoba, dan mencoba.. selalu mencari dan mencari.
Saya pernah hidup di
dalam kemewahan yang ekstrim, dan sekarang saya hidup di dalam
“pembinasaan” yang ekstrim. Gunung. Goa. Situs. Punden. Keramat. Makam
saya datangi dan saya huni. Dan di antara para pertapa yang meninggalkan
keduniawian, terdapat sebuah praktik spiritual, yang dengan ketat
melakukan hukuman terhadap badan. Di yakini bahwa menghukum badan
merupakan cara untuk mendapatkan kebijaksanaan dan ketenangan.
Di dalam perjalanan,
dan di tempat yang berbeda, saya bertemu dengan tiga orang teman, yang
menjalankan praktik spiritual tersebut, dan sayapun ikut di dalam
praktik tersebut. Memperlakukan diri dengan disiplin yang sangat tinggi
dan keras, melakukan penyiksaan terhadap badan, menggantungkan diri di
pohon dan bermeditasi dengan kepala menghadap ke bawah, tidak makan selama
berhari-hari dll.
Badan di yakini
merupakan sumber penderitaan, misalnya usia tua, membuat badan menjadi lemah
dan rusak, penyakit menyebabkan sakit dan penderitaan pada badan, dan kematian
merupakan pelepasan jiwa dari badan atau disfungsi dari badan, sehingga
konsepnya adalah bahwa apabila seseorang sanggup untuk keras
terhadap badannya sendiri dengan intensitas yang cukup, maka
orang tersebut akan lepas dari penderitaan yang bisa dibawakan oleh
keterbatasan badan, orang tersebut dapat melampaui keterbatasan badan,
teman-teman saya pada saat itu, menjalankan praktik spiritual tersebut,
dengan menurunkan kebutuhan hidup hingga ke level paling rendah, makan dan
minum secukupnya, asal cukup untuk bertahan hidup, tidak ada proteksi
terhadap badan dari panas dan dingin, duduk di tengah cuaca yang ekstrim dingin
dan hujan, bermeditasi berjam-jam setiap hari, ini diyakini bahwa dengan
menundukkan keinginan daging, maka bisa di dapatkan kekuatan spiritual.
Lambat laun, saya
merasa lelah, saya menjalankan praktik spiritual seperti itu, dengan cara menghukum dirin selama enam bulan, saya
menyiksa diri dan berusaha menghancurkan apa saja yang saya lihat, sebagai hal
yang buruk di dalam diri saya, setiap hal-hal duniawi, setiap pikiran
kemarahan, setiap nafsu, setiap keinginan, apabila seseorang
sanggup menghapus semua itu dengan kekuatan keinginan, maka orang
tersebut akan mengalami suatu proses transformasi yang membawa dirinya
melampaui manusia biasa, yaitu lepas dari semua dan segala penderitaan.
Saya mencoba
semua itu dan pada akhirnya, menjadi seorang pertapa yang paling ekstrim
di bandingkan dengan ke tiga teman saya yang lain, yang sedang melakukan
hal yang sama pula, namun di tempat yang berbeda, makan hanya satu butir nasi
per hari, minum air kencingnya sendiri, berdiri bermeditasi dengan satu kaki
selama berjam-jam di tengah cuaca yang ekstrim, tidur di atas tanah tanpa alas,
tetapi semuanya itu saya lakukan dengan tekad dan keyakinan sepenuh
hati.
Badan saya menjadi
kurus kering, rambut saya kusut dan gimba, tulang-tulang saya menjadi sangat
rapuh, menonjol keluar di lapisi hanya oleh kulit yang kering dan tipis,
rona mata saya gelap seperti sumur, saya gemetar dan menggigil jika terhembusan
angin dingin. Tetapi saya tetap melanjutkannya,
mendorong badan saya sampai pada limit paling ekstrim, yang bisa saya tahan, sampai pada akhirnya, saya sadar dan menyadari,
bahwa saya tidak bisa mendapatkan apa yang saya mau dari praktik spiritual
seperti ini.
Menyiksa badan, badan
menjadi sakit dan lemah, seluruh perhatian menjadi tertuju kepada badan, tidak
ada yang lain. Akhirnya saya menyerah atas latihan yang keras tersebut,
dan saya mengetahui, bahwa itu bukan jalan yang benar, lalu
saya menyaksikan diri saya sendiri hampir mati, dan kemudian terbersit
sebuah ingatan, saya ingat suatu moment saat masih kecil dulu,
sewaktu saya di tuduh mencuri ayam tetangga, lalu karena tidak mau mengakui,
saya di pukui, sampai-sampai bapak kandung saya, ikut memukuli saya, karena
percaya dengan tuduhan itu, setelahnya, saya duduk melamun di pinggir sungai,
sambil memandangi air sungai yang jernih dengan suaranya yang gemericik,
karenanya, penyiksa’an yang baru saja saya alami, seketika sirna, tertebus oleh
kesempurna’an dunia melalui jernih dan gemericiknya air sungai tersebut.
Disini saya
mendapatkan satu jawaban, yaitu; Semua yang ada di dalam kehidupan dunia ini,
adalah saling terkait satu sama lain. Dan untuk memelihara keterkaitan itu,
agar tidak salin menyakitkan, adalah dengan kasih sayang, dengan kasih sayang
yang mendalam terhadap setiap hal yang di temui, baik itu orang, binatang,
tumbuhan, atau planet ini secara keseluruhan, seluruh makhluk hidup di bumi
ini, pepohonan dan sungai, semuanya, segalanya terhubung satu sama lain.
Dan seketika itu,
saya berhenti menjalankan praktik spiritual yang ekstrim itu, lalu saya beralih
mempraktek penemuan baru itu, yaitu kasih sayang, saya turun dari gunung
sumbing, lalau naik mendaki lagi ke gunung slamet, dengan lanjang kaki penuh
kasih sayang, jika sampai ada se’ekor semut saja, yang terinjak dan mati, iar
mata saya bercucuran, berderai menangisi si semut tersebut dll, saya berjalan
melangka dan melangkah dengan kasih sayang, hingga berhasil mencapai puncak
gunung slamet, tanpa buang waktu, pada sa’at itu juga, bertepatan dengan suatu
hari yang indah, dengan cuaca yang cerah, saya duduk dengan cara bersilah
diatas sebuah batu besar pipih di bawah pohon rindang puncak gunung slamet,
memandang perkampungan dan perkota’an yang nampak dari puncak gunung slamet,
terlihat kecil-kecil seperti butiran kacang kedelai, pikiran saya
melayang-layang, kemudian dengan sedikit memaksa, saya memulai meditasi,
menyalurkan kasih sayang keseluruh tubuh saya.
Dan sepertinya, alam
memberikan tempat dan perlindungan kepada saya, seiring dengan berlalunya
waktu, matahari berpindah posisi, bayangan pepohonan dan rerumputan bergeser,
tetapi bayangan dari pohon, di mana saya sedang duduk berteduh bersemedi, tidak
berpindah posisi dan terus menaungi saya dari sengatan matahari. Sa’at itu
saya merasakan sukacita, dan kemudian terucap sebuah kata dalam hati saya “Saya
tidak bisa terus menerus merasakan suka cita ini kalau saya tidak makan tidak
minum, karena kalau saya tidak makan dan tidak minum, berati saya tidak kasih
sayang pada bada saya ini, jadi, kalau saya memang kasih sayang pada badan ini,
sebaiknya saya makan”
Tak berselang lama
kemudia, ada serombongan pendaki gunung melintas di hadapan saya, lemudian
memberi 3 bungkus roti dan sebotol air, kemurah-hatian orang yang memberikan
roti dan iar kepada saya itu, saya lihat seperti cahaya obor yang memberikan
rahmat (pengampunan dengan penuh kasih sayang) kepada saya. Selesai makan
roti dan minum, saya merasakan sukacita,
hati yang penuh syukur, saya merasakannya, dan saya merasa “cukup” pada saat
itu. Dan kemudian saya melekat kepada rasa cukup tersebut.
Kemudian saya mengingat semakin
jauh dan jauh, dan saya ingat bapak dan ibu saya juga akan anak dan istri saya,
serta semua yang saya tinggalkan, Kemudian muncul kembali pertanyaan
awalnya, saya menghela napas panjang, saya merasakan kehilangan dan rindu, dalam hati saya berontak dengan
gebragan kata.
Apakah ini kasih
sayang?
Kalau memang kasih
sayang, bagaimana dengan bapa ibu dan anak istri saya juga yang liannya yang
saya tinggalkan?
Apakah seperti ini
kasih sayang itu?
Kalau memang kasih
sayang, mengapa saya meninggalkan mereka?
Walau saya sudah
merasakan cukup dan merasakan cukup, tapi masalah ini belum selesai, buktinya masih
ada masalah, berati masalah ini belum selesai. Pasti ada yang lain, bukan Cuma
kasih sayang. Saya harus mencarinya lagi, dan saya sudah tau secara sadar, penyiksaan
diri yang ekstrim, bukanlah jalan dan cara yang tepat. Lalau saya mulai
bergerak melangkah turun gunung, namun belum pnya tujuan pasti harus apa dan
bagaimana, karena saya merasa semua jalan dan cara sudah saya tempuh. Nemun
yang saya temukan masih belum sempurna, karena masih terasa ganjil, tidak
genap.
Lalu saya duduk
bersilah semedi di tepi sungai klawing purwokerto jateng. Saya bermeditasi
sepanjang malam, dan seluruh ingatan kehidupan masa lampau datang silih
berganti, saya ingat
seluruh kehidupan masa lalu saya. Kesadaran saya semakin berkembang dan meluas hingga ke masa
lalu, saya melihat proses kelahiran saya dulu dan kematian saya kelak, dan di
lahirkan kembali, dan apa yang di lalui oleh semua makhluk hidup, saya
seolah-olah di beri penglihatan tentang cara kerja alam semesta secara
keseluruhan.
Pada saat matahari
terbit, “Pikiran saya dalam keadaan yang tenang, tidak ada emosi tidak ada
galau” hati saya berkata;
Mungkinkah saya telah
tercerahkan, seperti Sidharta Gautama yang menjadi seorang buddha itu? Buktinya
saya di beritau tentang proses kelahiran
saya dulu dan kematian saya kelak, yang kemudian di lahirkan kembali, seperti yang
di lalui oleh semua makhluk hidup, saya juga di beri penglihatan tentang cara
kerja alam semesta secara keseluruhan.
Sungguh ini sesuatu
yang baru saya alami selama berspiritual, saya merasakan bahwa saya nyata-nyata
berada di dalam nirwana/surga, apa yang saya alami itu, saya rasa bukanlah
suatu keadaan, yang baru dan yang lari dari realita yang ada, hanya saja, saya
menyadari bahwa saya, merasa selalu ada di nirwana/surga, dan menurut saya, realita
itu sendiri adalah nirwana/surga. Adalah ketidak-realita’an kita, dan
ketidaktahuan kita, yang membuat kita terpisah dari alam semesta, dan
sesungguhnya, kita sendiri inilah alam semesta.
Benar apa yang di
katakan oleh Syekh Siti Jenar. Bahwa Surga dan Neraka itu. Ya didunia ini.
disini ini. Nirwana/Surga adalah saat ini, di tempat ini, dan gerbangnya adalah
sekarang ini, dan jalannya adalah badan dan pikiran kita ini, tidak ada yang
perlu di tuju, tidak ada yang perlu di capai, nirwana/surga bukan lah sesuatu
yang di targetkan untuk di capai sesudah kematian, tetapi sederhananya adalah
kualitas kehidupan kita pada detik sekarang ini. Karenanya, kasih sayang itu, semakin
tumbuh bersemi rindang di dalam jiwa saya.
Rasanya seperti ketika
kita merasakan apa yang di rasakan oleh orang lain, kita tidak akan mau orang
lain tersebut merasakan hal-hal yang buruk, seperti halnya ketika kita
merasakan tangan kita, kita tidak akan meletakkan tangan kita di atas tungku
api, kita mungkin tidak memiliki kasih sayang terhadap tangan, tetapi kita
merasakan sakit sehingga kita tidak mau meletakkan tangan di atas tungku api.
Sehingga ketika orang lain merasakan penderitaan, kita akan melakukan yang
terbaik untuk membantu mereka.
Itulah Kasih Sayang
yang saya maksud disini, dan yang pernah saya wedarkan di artikel yang pernah
saya postingkan di internet. Namun kasih sayang itu, belum cukup tanpa adanya
Cinta, masih terasa ganjil, seperti wedang yang kurang gula, atau masakan sayur
yang kurang garam. Itulah Kasih Sayang Spiritual jika tanpa Cinta. Diatas itulah
bukti riyil tentang Kasih Sayang yang pernah saya Ungkapkan di beberapa artikel
saya. Dan sekarang, mari kita berlanjut
ke Proses Penemuan Cinta, di dalam sejarah perjalanan spiritual Hakikat Hidup
saya berikutnya. Bersambung ke Artikel KISAH PERJALANAN
SPIRITUAL Wong Edan Bagu. DALAM MENEMUKAN TIGA TITIK PENENTU IMAN. Yaitu CINTA
KASIH SAYANG Bagian Dua:
Duh...
Gusti Ingkang Moho Suci. Pencipta dan Penguwasa alam semesta seisinya. Bapak
Ibu dari segala Ilmu Pengetahuan, sungguh saya telah menyampaikan Firman-Mu,
kepada orang-orang yang saya Cintai. Kasihi dan Sayangi. maafkan lah saya, jika
apa yang telah saya sampaikan, kepada orang-orang yang saya Cintai. Kasihi dan
Sayangi, tidak membuat orang-orang yang saya Cintai. Kasihi dan Sayangi. segera
Sadar dan menyadari akan kebenaran-Mu. Ampunilah orang-orang yang saya Cintai.
Kasihi dan Sayangi., dan bukakanlah pintu hati mereka, dan terangilah dengan Rahmat-Mu,
agar tidak ada lagi kegelapan dan kesesatan di hati orang-orang yang saya
Cintai. Kasihi dan Sayangi. Damai dihati, damai didunia, damai Di Akherat.
Damai...
Damai... Damai Selalu Tenteram. Sembah
nuwun,,, Ngaturaken Sugeng Rahayu, lir Ing Sambikolo.
Amanggih Yuwono.. Mugi pinayungan Mring Ingkang Maha Agung. Mugi kerso Paring
Basuki Yuwono Teguh Rahayu Slamet..
BERKAH SELALU. Untuk semuanya tanpa terkecuali, terutama Para Sedulur,
khususnya Para Kadhang Konto dan Kanti Anom Didikan saya. yang senantiasa di
Restui Hyang Maha Suci Hidup....._/\_..... Aaamiin... Terima Kasih. Terima
Kasih. Terima Kasih *
Ttd: Wong Edan Bagu
Putera Rama Jayadewata Tanah Pasundan
Handphon:
0858 - 6179 - 9966
http://putraramasejati.wordpress.com
http://webdjakatolos.blogspot.com
Post a Comment