Curigo manjing warongko -Wahyu Panca Gha’ib; Warongko manjing curigo - Wahyu Panca Laku;
Curigo manjing warongko -Wahyu Panca Gha’ib;
Warongko manjing curigo - Wahyu Panca Laku;
Oleh: Wong Edan Bagu
Putera Rama Jayadewata Tanah Pasundan
Djawa dwipa. Hari Kamis Legi. Tgl 17 Maret
2016
Seluruh manusia, dalam benaknya memiliki rasa
keingintahuan tentang wujud Tuhan. Maka lazim lah manusia membayangkan
bagaimana gambaran keadaan Tuhan itu sebenarnya. Dalam beberapa agama samawi,
menggambarkan keadaan Tuhan adalah “ranah terlarang” atau ruang lingkup yang
musti dihindari, tidak menjadi pembahasan dengan obyek dzat secara datail dan
gamblang. Dengan alasan bahwa Tuhan sebagai dzat yang amat sangat sakral. Maka
menggambarkan keadaan dzat Tuhan pun manusia dianggap tidak akan mampu dan akan
menemui kesalahan persepsi, yang dianggap beresiko dapat membelokkan pemahaman.
Hal itu wajar karena menggambarkan Tuhan secara vulgar
dapat mengakibatkan konsekuensi buruk. Tidak menutup kemungkinan akan terjadi pembenda’an.
Tuhan sebagai upaya manusia mengkonstruksi imajinasinya secara konkrit.
Maka atas alasan tersebut terdapat asumsi bahwa upaya
manusia menggambarkan keada’an Tuhan denga cara apapun pasti salah. Namun
demikian, lain halnya dengan agama-agama bumi dan ajaran atau kearifan-kearifan
lokal yang berusaha menggambarkan keada’an Tuhan dengan cara arif dan
hati-hati. Di setiap Patrap Wahyu Panca Gha’ib, tak kala saya memperoleh
kesaksian nyata tentang Tuhan, atas dasar Cinta Kasih Sayang saya berusaha
mengabarkan kepada sesama hidup, dengan penjelasan secara logic dalam asas
hierarchis, sesuai dengan kemampuan nalar awam, akal budi pakarti pada umumnya,
dan hati nurani yang dimiliki manusia keseluruhan.
Walau begitu, tentu saja tidak bisa lepas dari
tempuhan Laku Spiritual Hakikat Hidup Pribadinya sendiri. Karena tanpa Laku
Spiritual Hakikat Hidupnya sendiri, tidak akan bisa kalau hanya sebatas katanya
saya, sebab, benar itu tau sendiri, mengerti sendiri, memahami sendiri
(mengalami sendiri) bukan katanya apapun dan siapapun.
Pijakana Sasmita;
Dzat adalah mutlak, Jumenengnya Dzat Maha Wisesa kang
Langgeng Tan Kenaning Owah Gingsir, dalam bahasa Timteng umumnya disebut Qadim,
yang azali/abadi. Kalimat ini mempunyai maksud berdirinya sesuatu tanpa nama, yang ada, mandiri dan paling berkuasa, mengatasi
jagad raya sejak masih awang-uwung. Di sebut maha kuasa.
Artinya;
Dzat yang tanpa wujud, berada merasuk ke dalam energi
hidup kita.
Tetapi banyak yang tidak mengerti dan memahami, karena
keberada’annya lebih dari sekedar samar, tanpa arah tanpa papan (gigiring
punglu), tanpa teman, tanpa rupa, sepi dari bau, warna, rupa, bersifat elok,
bukan laki-laki bukan perempuan, juga bukan banci.
Dzat dilambangkan sebagai. Kombang anganjap ing
tawang, kumbang hinggap di awang-awang, hakikatnya tersebutlah “latekyun” oleh
karena keada’an yang belum nyata.
Artinya;
Hidup adalah sifat dari Hyang Maha Suci Hidup,
menyusup, meliputi secara komplet atas jagad raya dan isinya. Tidak ada tempat
yang tanpa pancaran Dzat. Seluruh jagad raya penuh oleh Dzat, tiada celah yang
terlewatkan oleh Dzat, baik di luar maupun di dalam. Dzat menyusup, meliputi
dan mengelilingi jagad raya seisinya. Demikianlah perumpama’an keberada’an
Pangeran (Tuhan) Yang Maha Suci Hidup, ialah yang terpancar di dalam Hidup kita
Pribadi.
Dzat merupakan sumber dari segala sumber, adanya jagad
raya seisinya. Retasan dari Dzat Yang Maha Suci Hidup dalam mewujud makhluk
cipta’an-Nya, dapat digambarkan dalam alur yang bersifat hirarkhis sebagai
berikut;
Dzat; Hyang Maha Suci Hidup. Maha Kuasa.
Dzatullah;
Sumber dari segala sumber adanya jagad raya dan seluruh
isinya.
Nalika awang-awang -uwung-uwung, dereng wonten
punepe-punepe, Hyang Maha Suci manggen wonten satengahing kawontenan, nyipta
dumadosing pasthi. Wonten swanten ambengung ngebegi jagad, kados swantening
gentha kekeleng. Ingriku wonten cahya pacihang gumebyar mungser bunder kados
antiga (tigan/endhog) gumandhul tanpa canthelan. Enggal dipun asta dening Hyang
Maha Kawasa, dipun puja. Lalu meretaslah Kayyun.
1. Kayu/kayyun;
Yang hidup/atma/wasesa, menjadi perwujudan dari Dzat
yang sejati, memancarkan energi hidup. Kayun yang mewujud karena disinari oleh
Dzat sejati. Dilambangkan sebagai kusuma anjrah ing tawang, yakni bunga yang
tumbuh di awang-awang, dalam martabatnya, disebut takyun awal, kenyata’an awal
muasal. Segala yang hidup disusupi dan diliputi energi kayu/yang hidup.
2. Cahaya dan teja-Nur, nurullah;
Pancaran lebih konkrit dari kayun. Teja menjadi perwujudan
segala yang hidup, karena disinari kekuasaan atma sejati. Dilambangkan sebagai
tunjung tanpo telogo, bunga teratai yang hidup tanpa air. Berbeda dengan api,
cahaya tidak memerlukan bahan bakar. Cahaya mewujud sebagai hakikat pancaran
dari yang hidup. Di dalam cahaya tidak ada unsur api (nafsu) maka hakikat
cahaya adalah jenjem-jinem, ketenangan sejati, suci, tidak punya rasa punya.
Hakikatnya hanyalah sujud/manembah, yang digerakkan
oleh energi hidup/kayun, yakni untuk manembah kepada Dzat yang Maha Suci Hidup.
Dalam martabatnya disebut takyunsani, kenyata’an mewujud yang pertama. Ruh yang
mencapai kamulyan sejati, di dalam alam ruh kembali pada hakikat cahaya.
Sebagai sifat hakikat malaikat.
3. Rahsa, rasa, sir, sirullah;
Sebagai perwujudan lebih nyata dari cahaya. Sumber
rahsa berasal dari terangnya cahaya sejati. Dilambangkan isine wuluh wungwang.
Artinya tidak kentara/samar;
Tidak dapat dilihat tetapi dapat dirasakan. Maka dalam
martabat disebut akyansabitah. Ketetapan menitis, menetes, dalam eksistensi
sebagai sir. Yakni menetes/jatuhnya cahaya menjadi rasa.
Roh, nyawa, sukma, ruh, ruhullah. Sebagai perwujudan
dari hakikat rasa. Sebab dari terpancarnya rasa sejati, diumpamakan sebagai tapaking
kuntul nglayang.
Artinya;
Eksistensi maya yang tidak terdapat bekas, maka di
dalam martabat disebut sebagai akyankarijiyah. Rasa yang sesungguhnya, keluar
dalam bentuk kenyata’an maya. Karena ruh diliputi rahsa, wujud ruh adalah
eksistensi yang mempunyai rasa dan kehendak, yakni kareping rahsa (kehendak
rasa).
Tugas ruh sejati adalah mengikuti kareping rahsa atau
kehendak rasa, bukan sebaliknya mengikuti rasanya kehendak (nafsu). Ruh
sejati/roh suci/ruhul kuddus harus menundukkan nafsu.
Nepsu, angkara, sebagai wujud derivasi dari roh, yang
terpancar dari sinar sukma sejati. Hakikat nafsu dilambangkan sebagai latu
murup ing telenging samudra. Nafsu merupakan setitik kekuatan “nyalanya api” di
dalam air samudra yang sangat luas.
Artinya;
Nafsu dapat menjadi sumber keburukan/angkara (nila
setitik) yang dapat “menyala” di dalam dinginnya air samudra/sukma sejati nan
suci (rusak susu sebelanga). Disebut pula sebagai akyanmukawiyah, (nafsu)
sebagai kenyataan yang “hidup” dalam eksistensinya. Paradoks dari tugas roh,
apabila nafsu lah yang menundukkan roh, maka manusia hanya menjadi tumpukan
sampah atau hawa nafsu angkara. Mengikuti rasanya keinginan (rahsaning karep).
4. Akal-budi, disebut juga indera;
Keberadaan nafsu menjadi wahana adanya akal-budi.
Dilambangkan sebagai kudha ngerap ing pandengan, kudha nyander kang kakarungan.
Akal-budi letaknya di dalam nafsu, di ibaratkan sebagai orang lumpuh
mengelilingi bumi. Adalah tugas yang amat berat bagi akal-budi, yakni menuntun
hawa nafsu angkara kepada yang positif/putih (mutmainah). Sehingga di umpamakan
wong lumpuh angideri jagad, orang lumpuh yang mengelilingi bumi. Disebut juga
akyanmaknawiyah. Kemenangan akal-budi menuntun hawa nafsu ke arah yang positif
dan tidak merusak, maka akan melahirkan nafsu baru, yakni nafsul mutmainah.
5. Jasad/badan/raga;
Merupakan perwujudan paling konkrit dari ruh
(mahujud), dan retasan berasal dari derivasi terdekatnya, yakni panca indera
sejati. Jasad menjadi wahana adanya sifat. Jasad menjadi bingkai sifat,
diumpamakan sebagai kodhok kinemulan ing leng. Kodhok personifikasi dari sifat
manusia yang rendah, karena cenderung mengikuti hawa nafsu (rasaning karep),
diselimuti oleh liang/rumah kodhok; liang adalah personifikasi dari jasad.
Sifat-sifat manusia yang masih tunduk oleh jasad, merupakan gambaran Dzat sifat
yang masih terhalang dan dikendalikan oleh sifat ke-makhluk-an.
Sifat-sifat Dzat Hyang Maha Suci Hidup, dalam diri
manusia, masih diliputi oleh sifat kedirian manusia. Sebaliknya, pencapaian
kemuliaan hidup manusia, dilambangkan
sebagai kodhok angemuli ing leng, kodok menyelimuti liangnya, apabila jasad
keberada’annya sudah di dalam.
Artinya;
Hakekat manusia sudah diliputi oleh sifat Dzat Hyang
Maha Suci Hidup.
Laku Menuju Dzat;
Ketetapan jasad ditarik oleh akal.
Ketetapan akal ditarik oleh nafsu.
Ketetapan nafsu ditarik oleh roh.
Ketetapan roh ditarik oleh sir.
Ketetapan sir ditarik oleh nur.
Ketetapan nur ditarik oleh kayun.
Ketetapan kayu/kayun ditarik oleh Dzat.
Sangkan Paraning Dumadi adalah anak Tangga untuk
Bertemu Hyang Maha Suci Hidup:
Dari uraian di atas, tampak jelas bahwa manusia
memiliki dua kutub yang saling bertentangan. Di satu sisi, kutub badan kasar
atau jasad yang menyelimuti akal budi sekaligus nafsu angkara. Jasad (fisik) juga
merupakan tempat bersarangnya badan halus/astral/ruh (metafisik).
Di lain sisi. Manusia diumpamakan berdiri di
persimpangan jalan. Tugas manusia adalah memilih jalan mana yang akan dilalui.
Hyang Maha Suci Hidup, menciptakan semua
rumus (kodrat), sebagai rambu-rambu manusia dalam menata Hidup Sejati (Hidup
yang Sebenarnya).
Masing-masing rumus memiliki hukum sebab-akibat
(Karma). Golongan manusia yang berada dalam kodrat Tuhan, adalah mereka yang
menjalankan hidup sesuai rumus-rumus Tuhan. Setiap menjalankan rumus Tuhan,
akan mendapatkan akibat, berupa kemuliaan Hidup, sebaliknya pengingkaran terhadap
rumus akan mendapatkan akibat buruk (dosa), sebagai konsekuensinya.
Misalnya; siapa menanam; mengetam. Rajin pangkal
pandai dll.
Tugas manusia adalah menyelaraskan sifat-sifat
kediriannya ke dalam gelombang Dzat sifat Tuhan Hyang Maha Suci Hidup. Dalam
ajaran Kejawen lazim disebut manunggaling kawula gusti, dua menjadi satu, atau
dwi tunggal.
Kodrat manusia yang lahir ke bumi adalah mensucikan
jasad, jasad yang diliputi oleh Dzat sifat Tuhan, melalui tahapan-tahapan
sebagai berikut;
Jasad dituntun oleh keutamaan budi, budi terhirup oleh
hawanya nafsu, nafsu (rahsaning karep) diredam oleh kekuasaan sukma sejati,
sukma diserap mengikuti rasa sejati (kareping rahsa), rahsa luluh melebur
disucikan oleh cahaya, cahaya terpelihara oleh atma (energi yang hidup), atma
berpulang ke dalam Dzat, Dzat adalah qadim ajali/abadi, hal ini hanya ada di
dalam Wahyu Panca Gha’ib dan Wahyu Panca Laku. Untuk lebih jelasnya. Lihat dan
baca artikel yang berjudul “Wahyu Panca Gha’ib dan Wahyu Panca Laku”.
Wahyu Panca Laku;
Wahyu Panca Laku, adalah ilmu Pengajaran tentang tata
cara menghargai diri sendiri, dengan Wahyu Panca Gha’ib, untuk mensucikan raga
dari nafsu angkara murka (amarah), nafsu mengejar kenikmatan (supiyah), dan
nafsu serakah (lauwamah). Pribadi membangun raga yang suci dengan menjadikan
raga sebagai reserviornafsul mutmainah. Agar supaya jika manusia mati, raganya
dapat menyatu dengan badan halus atau ruhani atau badan sukma.
Hakikat kesucian, badan wadag atau raga, tidak boleh
pisah dengan badan halus, karena raga dan sukma menyatu “curigo manjing
warongko”, pada saat manusia lahir dari rahim ibu. Sebaliknya, manusia yang
berhasil menjadi kalifah Tuhan, selalu menjaga kesucian (bersih dari dosa),
jika mati kelak badan wadag, akan luluh melebur ke dalam badan halus yang
diliputi oleh kayu dhaim, atau Hyang Maha Suci Hidup, yang tetap ada dalam diri
kita pribadi, bukan dimakan cacing tanah dll.
Maka dilambangkan dengan “warongko manjing curigo”.
Maksudnya, badan wadag melebur ke dalam badan halus. Pada saat manusia hidup di
dunia (mercapada), dilambangkan dengan “curigo manjing warongko”; maksudnya
badan halus masih berada di dalam badan wadag. Maka dari itu terdapat pribahasa
sebagai berikut;
Jasad pengikat budi, budi pengikat nafsu, nafsu
pengikat karsa (kemauan), karsa pengikat sukma, sukma pengikat rasa, rasa
pengikat cipta, cipta pengikat penguasa, penguasa pengikat Yang Maha Kuasa.
Sebagai contoh;
Jasad jika mengalami kerusakan karena sakit atau
celaka, maka tali pengikat budi menjadi putus. Orang yang amat sangat menderita
kesakitan tentu saja tidak akan bisa berpikir jernih lagi. Maka putuslah tali
budi sebagai pengikat nafsu. Maka orang yang sangat menderita kesakitan,
hilanglah semua nafsu-nafsunya, misalnya amarah, nafsu seks, dan nafsu makan.
Jika tali nafsu sudah hilang atau putus, maka untuk mempertahankan nyawanya,
tinggal tersisa tali karsa atau kemauan.
Hal ini, untuk Para Sedulur dan Kadhang kinasih saya
semuanya, yang kebetulan membaca artikel ini, dapat membuktikannya dengan cara menyaksikan
sendiri, setiap orang yang menderita sakit parah, energi untuk bertahan hidup,
tinggalah kemauan atau semangat untuk sembuh.
Apabila karsa atau kemauan, dalam bentuk semangat
untuk sembuh sudah hilang, maka hilanglah tali pengikat sukma, akibatnya sukma
terlepas dari badan wadag, dengan kata lain, orang tersebut mengalami kematian.
Namun demikian, sukma masih mengikat rasa, dalam artian sukma sebenarnya masih
memiliki rasa, dalam bentuk rasa sukma yang berbeda dengan rasa ragawi. Bagi
penganut kejawen, percaya dengan rasa sukma ini.
Maka di dalam tradisi Jawa, tidak boleh menyianyiakan
jasad orang yang sudah meninggal. Karena dipercaya sukmanya yang sudah keluar
dari badan, masih bisa merasakannya. Rasa yang dimiliki sukma ini, lebih
lanjut dijelaskan karena sukma masih berada di dalam dimensi bumi, belum
melanjutkan perjalanan ke alam barzah atau alam ruh.
Rahsa atau rasa, merupakan hakikat Dzat (Yang Maha
Kuasa) yang mewujud ke dalam diri manusia. Dzat adalah Yang Maha Tinggi, Yang
Maha Kuasa, Tuhan Sang Pencipta alam semesta. Urutan dari yang tertinggi ke
yang lebih rendah adalah sebagai berikut;
Dzat (Dzatullah) Tuhan Yang Maha Suci, meretas
menjadi;
Kayu Dhaim (Kayyun) Energi Yang Hidup, meretas
menjadi;
Cahya atau cahaya (Nurullah), meretas menjadi;
Rahsa atau rasa atau sir (Sirrullah), meretas menjadi
;
Sukma atau ruh (Ruhullah).
Wedaran diatas adalah retasan dari Dzat, Tuhan Yang
Maha Kuasa, maka ruh bersifat abadi, cahaya bersifat mandiri tanpa perlu bahan
bakar. Ruh yang suci yang akan melanjutkan perjalanannya menuju ke haribaan
Hyang Maha Suci Hidup, dan akan melewati alam ruh atau alam barzah, di mana
suasana menjadi jengjem jinem, tak ada rasa lapar-haus, emosi, amarah, sakit,
sedih, dsb.
Sebelum masuk ke dimensi barzah, ruh melepaskan tali
rasa, kemudian ruh masuk ke dalam dimensi alam barzah menjadi hakikat cahaya
tanpa rasa, dan tanpa karsa. Yang ada hanyalah ketenangan sejati, manembah
kepada gelombang Dzat, lebur dening pangastuti.
Sebaliknya, ruh yang masih berada di dalam dimensi
gaibnya bumi, masih memiliki tali rasa, misalnya rasa penasaran, karena masih
ada tanggung jawab di bumi, yang belum terselesaikan, atau jalan hidup, atau
hutang yang belum terselesaikan, menyebabkan rasa penasaran. Oleh karena itu
dalam konsep Laku Hakikat Hidup “Wahyu Panca Gha’ib” Percaya adanya arwah
penasaran, yang masih berada di dalam dimensi gaibnya bumi. Sehingga tak jarang
masuk ke dalam raga orang lain yang masih hidup, yang dijadikan sebagai media
komunikasi, karena kenyata’an bahwa raganya sendiri telah rusak dan hancur.
Itulah sebabnya mengapa di dalam Laku Wahyu Panca Gha’ib terdapat tata cara
Penyempurna’an arwah (penasaran) tersebut.
Karena mati penasaran, aalah kebalikan dari mati
sempurna. Dalam kajian Laku Wahyu Panca Gha’ib, mati dalam puncak kesempurna’an,
adalah Selesai. Habis atau Tamat, tanpa sisa tanpa bekas apapun. Yakni warangka
(raga) manjing curigo (ruh). Raga yang suci, adalah yang tunduk kepada kesucian
Dzat yang terderivasi ke dalam ruh. Ruh suci/roh kudus (ruhul kuddus) sebagai
retasan dari hakikat Dzat, memiliki 20 sifat yang senada dengan 20 sifat Dzat,
misalnya kodrat, iradat, berkehendak, mandiri, abadi, dst. Sebaliknya, ruh yang
tunduk kepada raga hanya akan menjadi budak nafsu duniawi, sebagaimana sifat
hakikat ragawi, yang akan hancur, tidak abadi, dan destruktif. Menjadi raga
yang nista, berbanding terbalik dengan gelombang Dzat Yang Maha Suci.
Oleh karena itu, menjadi tugas utama manusia, yakni
memenangkan perang Baratayudha di Padang Kurusetra, antara Pendawa (kebaikan
yang lahir dari akal budi dan panca indera) dengan musuhnya Kurawa (nafsu
angkara murka). Perang inilah yang dimaksud pula dalam ajaran Islam sebagai
Jihad Fii Sabilillah, bukan perang antar agama, atau antar suku dan adat dengan
segala bentuk terorisme.
Adapun ajaran untuk menggapai kesucian diri, atau
Jihad secara Laku, yakni mengendalikan hawa nafsu, serta menjalankan budi
(bebuden) yang luhur nilai kemanusiannya (habluminannas) yaknil rela (rilo),
ikhlas (legowo), menerima/qonaah (narimo ing pandum), jujur dan benar (temen
lan bener), menjaga kesusilaan (trapsilo) dan jalan hidup yang mengutamakan
budi yang luhur (lakutama) Penuh Cinta Kasih Sayang. Adalah pitutur sebagai
pengingat-ingat agar supaya manusia selalu eling atau selalu mengingat Hyang
Maha Suci Hidup, untuk menjaga kesucian dirinya.
Seperti dalam falsafah Kejawen berikut ini;
Jagad bumi alam kabeh sumurupo marang badan, badan
sumurupo marang budi, budi sumurupo marang napsu, napsu sumurupo marang nyowo,
nyowo sumurupo marang rahso, rahso sumurupo marang cahyo, cahyo sumurupo marang
atmo, atmo sumurupo marang ingsun, ingsun jumeneng pribadi.
Artinya;
(jagad bumi seisinya pahamilah badan, badan pahamilah
budi, budi pahamilah nafsu, nafsu pahamilah nyawa, nyawa pahamilah karsa, karsa
pahamilah rahsa, rahsa pahamilah cahya, cahya pahamilah Yang Hidup, Yang Hidup
pahamilah Aku, Aku berdiri sendiri (Dzat).
Maksudnya;
Bahwa manusia sebagai derivasi terakhir yang berasal
dari Dzat Sang Pencipta harus (wajib) memiliki kesadaran mikrokosmis
danmakrokosmis yakni “sangkan paraning dumadi” serta tunduk, patuh dan hormat
(manembah) kepada Dzat Tuhan Pencipta jagad raya.
Selain kesadaran di atas, untuk menggapai kesucian,
manusia hidup harus tetap berada di dalam koridor yang merupakan Jalan tembus
menuju Yang Maha Suci Hidup. Adalah Memiliki lima Perkara dan Menjalankan
Perkara lima dengan Iman Cinta Kasih Sayang. Yakni;
Wahyu Panca Gha’ib;
1. Kunci.
2. Paweling.
3. Asmo.
4. Mijil.
5. Singkir.
Dan.
Wahyu Panca Laku;
1. Manembahing Kawula
Gusti.
2. Manunggaling Kawula Gusti.
3. Leburing Kawula Gusti.
2. Manunggaling Kawula Gusti.
3. Leburing Kawula Gusti.
4. Sampurnaning
Kawula Gusti.
5. Sampurnaning Pati
Urip.
Wahyu Panca Ghaib dan
Wahyu Panca Laku;
1. Kunci -
Manembahing Kawula Gusti.
2. Paweling - Manunggaling
Kawula Gusti.
3. Asmo - Leburing
Kawula Gusti.
4. Mijil -
Sampurnaning Kawula Gusti.
5. Singkir -
Sampurnaning Pati Urip.
Demikian lah... Pengertian untuk Memahami Curigo
manjing warongko-Warongko manjing curigo. Wahyu Panca Gha’ib-Wahyu Panca Laku
yang bisa saya jelaskan, untuk selebihnya. Sedulur dan Kadhang kinasih saya,
harus Laku Sendiri, biyar tau sendiri, mengerti sendiri, paham sendiri,
mengalamu sendiri, bukan hanya sebatas katanya.
Sebab pada dasarnya perilaku Hidup di dalam kehidupan
dunia ini itu, ibarat suara yang kita kumandangkan, akan menimbulkan gema. Artinya;
apapun perbuatan kita kepada orang lain, sejatinya akan berbalik mengenai diri
kita sendiri. Jika perbuatan kita baik pada orang lain, maka akan menimbulkan
Gema, berupa kebaikan yang lebih besar, yang akan kita dapatkan dari orang
lainnya lagi. Hal ini dapat dipahami sebagaimana dalam peribahasa sebagai
berikut;
Barang siapa menabur angin, akan menuai badai. Siapa
menanam, akan mengetam. Barang siapa gemar menolong, akan selalu mendapatkan kemudahan.
Barang siapa gemar sedekah kepada yang susah. Rejekinya akan menjadi lapang.
Orang pelit. Pasti pailit. Pemurah hati,. Akan mukti. Begitu juga jika kita
gemar menebar Cinta Kasih Sayang, terhadap sesama mahkluk hidup. “Ageng-agenging
dosa punika tiyang ulah ilmu makripat ingkang magel. Awit saking dereng kabuko
ing pambudi, dados boten sumerep ing suraosipun”
Bagi yang sudah memiliki Wahyu Panca Gha’ib dan Wahyu
Panca Laku, sudah tentu dapat menerima ilmu “Sangkan paraning dumadi” dan
menemui kemulia’an Sempurnaning Kawula Gusti, yang selangkah lagi bisa mencapai
Sampurnaning Pati Urip.
Siapa yang sunguh-sungguh mengetahui Tuhannya,
sesungguhnya dapat mengetahui di dalam badanya sendiri. Siapa yang
sungguh-sunggun mengetahui badannya sendiri, sesungguhnya mengetahui Tuhannya.
Artinya;
Siapa yang mengetahui Tuhannya, ia lah yang mengetahui
semua ilmu kajaten (makrifat). Siapa yang sunguh-sungguh mengetahui sejatinya
badannya sendiri, ia lah yang dapat mengetahui akan Hidup jiwa raganya sendiri.
Yang Pling mendasar adalah, kita harus selalu ingat,
bahwa hidup ini, tidak akan menemui sejatinya ajal, sebab kematian hanyalah
terkelupasnya isi dari kulit. Isi badan melepas kulit yang telah rusak,
kemudian isi bertugas melanjutkan perjalanan ke alam keabadian. Hanya raga yang
suci yang tidak akan rusak dan mampu menyertai perjalanan isi. Sebab raga yang
suci, berada dalam gelombang Dzat Illahi yang Maha Abadi. Inilah sejatining
Wahyu Panca Gha’ib. Maka, ketahuilah... sebelum terlambat. Terlambat...!!!
tidak selamat.
Maka dari itu, jangan terputus dalam lautan manembah
kepada Gusti Pangeran Ingkang Sinembah. Agar supaya menggapai peleburan tertinggi,
lebur dening pangastuti, yakni raga dan jiwa melebur ke dalam Cahaya yang Suci,
di sanalah manusia dan Dzat menyatu dalam irama yang sama, yakni Sampurnaning
kawulo gusti dan Sampurnaning Pati Urip.
Dengan Sarana “Wahyu Panca Gha’ib” dan sistem “Wahyu
Panca Laku”. Menyeiramakan diri pada Sariraning Bathara, Dzat Yang Maha Suci.
Agung. Maha Kuasa diatas segala yang kuasa, yang disebut sebagai “Pangabekti
Ingkang Langgeng” Laku Patrap tanpa kenal waktu dan kiblat, sambung-menyambung
dalam satu irama nafas, selalu eling/ingat/sadar dengan Iman Cinta Kasih Sayang
menyebut Dzat Yang serba Maha.
Patrap ngiras nyambut damel, lenggah sinambi lumampah,
lumajeng salebeting kendel, ambisu kaliyan wicanten, kesahan kaliyan tilem,
tilem kaliyan melek.
(Laku sambil bekerja, duduk sambil berjalan, berjalan
di dalam diam, membisu dengan bicara, bepergian dengan tidur, tidur sembari
melek).
Jika Semua Manusia Hidup, dapat dan bisa melaksanakan
Lima dari Lima ini, yaitu Wahyu Panca Gha’ib dan Wahyu Panca Laku. Secara benar
dan tepat juga bersungguh-sungguh,
berkah Hyang Maha Suci Hidup, setiap orang dapat meraih kesempurna’an Waluyo
Jati, Paworing Kawulo Gusti di dunia wal kaherat. Tidak tergantung apa Agamanya
dan berapa Amalnya.
Duh... Gusti Ingkang Moho Suci.
Pencipta dan Penguwasa alam semesta seisinya. Bapak Ibu dari segala Ilmu
Pengetahuan, maafkan lah saya, jika apa yang saya tulis dan saya sebarkan
melalui media internet ini, adalah kesalahan yang tidak saya sengaja. saya
hanya ingin menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang saya dapatkan dari-Mu, agar tidak
ada lagi kegelapan dan kesesatan di dunia ini. Damai dihati, damai didunia, damai Di Akherat.
Damai... Damai... Damai Selalu
Tenteram. Sembah nuwun,,, Ngaturaken Sugeng Rahayu, lir Ing Sambikolo. Amanggih
Yuwono.. Mugi pinayungan Mring Ingkang Maha Agung. Mugi kerso Paring Basuki
Yuwono Teguh Rahayu Slamet.. BERKAH
SELALU. Untuk semuanya tanpa terkecuali, terutama Para Sedulur, khususnya Para
Kadhang Konto dan Kanti Anom Didikan saya. yang senantiasa di Restui Hyang Maha
Suci Hidup....._/\_..... Aaamiin dan, Terima Kasih. Terima Kasih. Terima Kasih
*
Ttd: Wong Edan Bagu
Putera Rama Jayadewata Tanah Pasundan
Handphon:
0858 - 6179 - 9966
http://putraramasejati.wordpress.com
http://webdjakatolos.blogspot.com
Post a Comment