Curigo manjing warongko -Wahyu Panca Gha’ib; Warongko manjing curigo - Wahyu Panca Laku;

Curigo manjing warongko -Wahyu Panca Gha’ib;
Warongko manjing curigo - Wahyu Panca Laku;
Oleh: Wong Edan Bagu
Putera Rama Jayadewata Tanah Pasundan
Djawa dwipa. Hari Kamis Legi. Tgl 17 Maret 2016

Seluruh manusia, dalam benaknya memiliki rasa keingintahuan tentang wujud Tuhan. Maka lazim lah manusia membayangkan bagaimana gambaran keadaan Tuhan itu sebenarnya. Dalam beberapa agama samawi, menggambarkan keadaan Tuhan adalah “ranah terlarang” atau ruang lingkup yang musti dihindari, tidak menjadi pembahasan dengan obyek dzat secara datail dan gamblang. Dengan alasan bahwa Tuhan sebagai dzat yang amat sangat sakral. Maka menggambarkan keadaan dzat Tuhan pun manusia dianggap tidak akan mampu dan akan menemui kesalahan persepsi, yang dianggap beresiko dapat membelokkan pemahaman.

Hal itu wajar karena menggambarkan Tuhan secara vulgar dapat mengakibatkan konsekuensi buruk. Tidak menutup kemungkinan akan terjadi pembenda’an. Tuhan sebagai upaya manusia mengkonstruksi imajinasinya secara konkrit.

Maka atas alasan tersebut terdapat asumsi bahwa upaya manusia menggambarkan keada’an Tuhan denga cara apapun pasti salah. Namun demikian, lain halnya dengan agama-agama bumi dan ajaran atau kearifan-kearifan lokal yang berusaha menggambarkan keada’an Tuhan dengan cara arif dan hati-hati. Di setiap Patrap Wahyu Panca Gha’ib, tak kala saya memperoleh kesaksian nyata tentang Tuhan, atas dasar Cinta Kasih Sayang saya berusaha mengabarkan kepada sesama hidup, dengan penjelasan secara logic dalam asas hierarchis, sesuai dengan kemampuan nalar awam, akal budi pakarti pada umumnya, dan hati nurani yang dimiliki manusia keseluruhan.

Walau begitu, tentu saja tidak bisa lepas dari tempuhan Laku Spiritual Hakikat Hidup Pribadinya sendiri. Karena tanpa Laku Spiritual Hakikat Hidupnya sendiri, tidak akan bisa kalau hanya sebatas katanya saya, sebab, benar itu tau sendiri, mengerti sendiri, memahami sendiri (mengalami sendiri) bukan katanya apapun dan siapapun.

Pijakana Sasmita;
Dzat adalah mutlak, Jumenengnya Dzat Maha Wisesa kang Langgeng Tan Kenaning Owah Gingsir, dalam bahasa Timteng umumnya disebut Qadim, yang azali/abadi. Kalimat ini mempunyai maksud berdirinya sesuatu tanpa nama,  yang ada, mandiri dan paling berkuasa, mengatasi jagad raya sejak masih awang-uwung. Di sebut maha kuasa.

Artinya;
Dzat yang tanpa wujud, berada merasuk ke dalam energi hidup kita.
Tetapi banyak yang tidak mengerti dan memahami, karena keberada’annya lebih dari sekedar samar, tanpa arah tanpa papan (gigiring punglu), tanpa teman, tanpa rupa, sepi dari bau, warna, rupa, bersifat elok, bukan laki-laki bukan perempuan, juga bukan banci.

Dzat dilambangkan sebagai. Kombang anganjap ing tawang, kumbang hinggap di awang-awang, hakikatnya tersebutlah “latekyun” oleh karena keada’an yang belum nyata.

Artinya;
Hidup adalah sifat dari Hyang Maha Suci Hidup, menyusup, meliputi secara komplet atas jagad raya dan isinya. Tidak ada tempat yang tanpa pancaran Dzat. Seluruh jagad raya penuh oleh Dzat, tiada celah yang terlewatkan oleh Dzat, baik di luar maupun di dalam. Dzat menyusup, meliputi dan mengelilingi jagad raya seisinya. Demikianlah perumpama’an keberada’an Pangeran (Tuhan) Yang Maha Suci Hidup, ialah yang terpancar di dalam Hidup kita Pribadi.

Dzat merupakan sumber dari segala sumber, adanya jagad raya seisinya. Retasan dari Dzat Yang Maha Suci Hidup dalam mewujud makhluk cipta’an-Nya, dapat digambarkan dalam alur yang bersifat hirarkhis sebagai berikut;

Dzat; Hyang Maha Suci Hidup. Maha Kuasa.
Dzatullah;
Sumber dari segala sumber adanya jagad raya dan seluruh isinya.

Nalika awang-awang -uwung-uwung, dereng wonten punepe-punepe, Hyang Maha Suci manggen wonten satengahing kawontenan, nyipta dumadosing pasthi. Wonten swanten ambengung ngebegi jagad, kados swantening gentha kekeleng. Ingriku wonten cahya pacihang gumebyar mungser bunder kados antiga (tigan/endhog) gumandhul tanpa canthelan. Enggal dipun asta dening Hyang Maha Kawasa, dipun puja. Lalu meretaslah Kayyun.

1. Kayu/kayyun;
Yang hidup/atma/wasesa, menjadi perwujudan dari Dzat yang sejati, memancarkan energi hidup. Kayun yang mewujud karena disinari oleh Dzat sejati. Dilambangkan sebagai kusuma anjrah ing tawang, yakni bunga yang tumbuh di awang-awang, dalam martabatnya, disebut takyun awal, kenyata’an awal muasal. Segala yang hidup disusupi dan diliputi energi kayu/yang hidup.

2. Cahaya dan teja-Nur, nurullah;
Pancaran lebih konkrit dari kayun. Teja menjadi perwujudan segala yang hidup, karena disinari kekuasaan atma sejati. Dilambangkan sebagai tunjung tanpo telogo, bunga teratai yang hidup tanpa air. Berbeda dengan api, cahaya tidak memerlukan bahan bakar. Cahaya mewujud sebagai hakikat pancaran dari yang hidup. Di dalam cahaya tidak ada unsur api (nafsu) maka hakikat cahaya adalah jenjem-jinem, ketenangan sejati, suci, tidak punya rasa punya.

Hakikatnya hanyalah sujud/manembah, yang digerakkan oleh energi hidup/kayun, yakni untuk manembah kepada Dzat yang Maha Suci Hidup. Dalam martabatnya disebut takyunsani, kenyata’an mewujud yang pertama. Ruh yang mencapai kamulyan sejati, di dalam alam ruh kembali pada hakikat cahaya. Sebagai sifat hakikat malaikat.

3. Rahsa, rasa, sir, sirullah;
Sebagai perwujudan lebih nyata dari cahaya. Sumber rahsa berasal dari terangnya cahaya sejati. Dilambangkan isine wuluh wungwang.

Artinya tidak kentara/samar;
Tidak dapat dilihat tetapi dapat dirasakan. Maka dalam martabat disebut akyansabitah. Ketetapan menitis, menetes, dalam eksistensi sebagai sir. Yakni menetes/jatuhnya cahaya menjadi rasa.

Roh, nyawa, sukma, ruh, ruhullah. Sebagai perwujudan dari hakikat rasa. Sebab dari terpancarnya rasa sejati, diumpamakan sebagai tapaking kuntul nglayang.

Artinya;
Eksistensi maya yang tidak terdapat bekas, maka di dalam martabat disebut sebagai akyankarijiyah. Rasa yang sesungguhnya, keluar dalam bentuk kenyata’an maya. Karena ruh diliputi rahsa, wujud ruh adalah eksistensi yang mempunyai rasa dan kehendak, yakni kareping rahsa (kehendak rasa).

Tugas ruh sejati adalah mengikuti kareping rahsa atau kehendak rasa, bukan sebaliknya mengikuti rasanya kehendak (nafsu). Ruh sejati/roh suci/ruhul kuddus harus menundukkan nafsu.

Nepsu, angkara, sebagai wujud derivasi dari roh, yang terpancar dari sinar sukma sejati. Hakikat nafsu dilambangkan sebagai latu murup ing telenging samudra. Nafsu merupakan setitik kekuatan “nyalanya api” di dalam air samudra yang sangat luas.

Artinya;
Nafsu dapat menjadi sumber keburukan/angkara (nila setitik) yang dapat “menyala” di dalam dinginnya air samudra/sukma sejati nan suci (rusak susu sebelanga). Disebut pula sebagai akyanmukawiyah, (nafsu) sebagai kenyataan yang “hidup” dalam eksistensinya. Paradoks dari tugas roh, apabila nafsu lah yang menundukkan roh, maka manusia hanya menjadi tumpukan sampah atau hawa nafsu angkara. Mengikuti rasanya keinginan (rahsaning karep).

4. Akal-budi, disebut juga indera;
Keberadaan nafsu menjadi wahana adanya akal-budi. Dilambangkan sebagai kudha ngerap ing pandengan, kudha nyander kang kakarungan. Akal-budi letaknya di dalam nafsu, di ibaratkan sebagai orang lumpuh mengelilingi bumi. Adalah tugas yang amat berat bagi akal-budi, yakni menuntun hawa nafsu angkara kepada yang positif/putih (mutmainah). Sehingga di umpamakan wong lumpuh angideri jagad, orang lumpuh yang mengelilingi bumi. Disebut juga akyanmaknawiyah. Kemenangan akal-budi menuntun hawa nafsu ke arah yang positif dan tidak merusak, maka akan melahirkan nafsu baru, yakni nafsul mutmainah.

5. Jasad/badan/raga;
Merupakan perwujudan paling konkrit dari ruh (mahujud), dan retasan berasal dari derivasi terdekatnya, yakni panca indera sejati. Jasad menjadi wahana adanya sifat. Jasad menjadi bingkai sifat, diumpamakan sebagai kodhok kinemulan ing leng. Kodhok personifikasi dari sifat manusia yang rendah, karena cenderung mengikuti hawa nafsu (rasaning karep), diselimuti oleh liang/rumah kodhok; liang adalah personifikasi dari jasad. Sifat-sifat manusia yang masih tunduk oleh jasad, merupakan gambaran Dzat sifat yang masih terhalang dan dikendalikan oleh sifat ke-makhluk-an.

Sifat-sifat Dzat Hyang Maha Suci Hidup, dalam diri manusia, masih diliputi oleh sifat kedirian manusia. Sebaliknya, pencapaian kemuliaan hidup manusia,  dilambangkan sebagai kodhok angemuli ing leng, kodok menyelimuti liangnya, apabila jasad keberada’annya sudah di dalam.

Artinya;
Hakekat manusia sudah diliputi oleh sifat Dzat Hyang Maha Suci Hidup.

Laku Menuju Dzat;
Ketetapan jasad ditarik oleh akal.
Ketetapan akal ditarik oleh nafsu.
Ketetapan nafsu ditarik oleh roh.
Ketetapan roh ditarik oleh sir.
Ketetapan sir ditarik oleh nur.
Ketetapan nur ditarik oleh kayun.
Ketetapan kayu/kayun ditarik oleh Dzat.

Sangkan Paraning Dumadi adalah anak Tangga untuk Bertemu Hyang Maha Suci Hidup:

Dari uraian di atas, tampak jelas bahwa manusia memiliki dua kutub yang saling bertentangan. Di satu sisi, kutub badan kasar atau jasad yang menyelimuti akal budi sekaligus nafsu angkara. Jasad (fisik) juga merupakan tempat bersarangnya badan halus/astral/ruh (metafisik).

Di lain sisi. Manusia diumpamakan berdiri di persimpangan jalan. Tugas manusia adalah memilih jalan mana yang akan dilalui. Hyang Maha Suci Hidup,  menciptakan semua rumus (kodrat), sebagai rambu-rambu manusia dalam menata Hidup Sejati (Hidup yang Sebenarnya).

Masing-masing rumus memiliki hukum sebab-akibat (Karma). Golongan manusia yang berada dalam kodrat Tuhan, adalah mereka yang menjalankan hidup sesuai rumus-rumus Tuhan. Setiap menjalankan rumus Tuhan, akan mendapatkan akibat, berupa kemuliaan Hidup, sebaliknya pengingkaran terhadap rumus akan mendapatkan akibat buruk (dosa), sebagai konsekuensinya.

Misalnya; siapa menanam; mengetam. Rajin pangkal pandai dll.

Tugas manusia adalah menyelaraskan sifat-sifat kediriannya ke dalam gelombang Dzat sifat Tuhan Hyang Maha Suci Hidup. Dalam ajaran Kejawen lazim disebut manunggaling kawula gusti, dua menjadi satu, atau dwi tunggal.

Kodrat manusia yang lahir ke bumi adalah mensucikan jasad, jasad yang diliputi oleh Dzat sifat Tuhan, melalui tahapan-tahapan sebagai berikut;

Jasad dituntun oleh keutamaan budi, budi terhirup oleh hawanya nafsu, nafsu (rahsaning karep) diredam oleh kekuasaan sukma sejati, sukma diserap mengikuti rasa sejati (kareping rahsa), rahsa luluh melebur disucikan oleh cahaya, cahaya terpelihara oleh atma (energi yang hidup), atma berpulang ke dalam Dzat, Dzat adalah qadim ajali/abadi, hal ini hanya ada di dalam Wahyu Panca Gha’ib dan Wahyu Panca Laku. Untuk lebih jelasnya. Lihat dan baca artikel yang berjudul “Wahyu Panca Gha’ib dan Wahyu Panca Laku”.

Wahyu Panca Laku;
Wahyu Panca Laku, adalah ilmu Pengajaran tentang tata cara menghargai diri sendiri, dengan Wahyu Panca Gha’ib, untuk mensucikan raga dari nafsu angkara murka (amarah), nafsu mengejar kenikmatan (supiyah), dan nafsu serakah (lauwamah). Pribadi membangun raga yang suci dengan menjadikan raga sebagai reserviornafsul mutmainah. Agar supaya jika manusia mati, raganya dapat menyatu dengan badan halus atau ruhani atau badan sukma.

Hakikat kesucian, badan wadag atau raga, tidak boleh pisah dengan badan halus, karena raga dan sukma menyatu “curigo manjing warongko”, pada saat manusia lahir dari rahim ibu. Sebaliknya, manusia yang berhasil menjadi kalifah Tuhan, selalu menjaga kesucian (bersih dari dosa), jika mati kelak badan wadag, akan luluh melebur ke dalam badan halus yang diliputi oleh kayu dhaim, atau Hyang Maha Suci Hidup, yang tetap ada dalam diri kita pribadi, bukan dimakan cacing tanah dll.

Maka dilambangkan dengan “warongko manjing curigo”. Maksudnya, badan wadag melebur ke dalam badan halus. Pada saat manusia hidup di dunia (mercapada), dilambangkan dengan “curigo manjing warongko”; maksudnya badan halus masih berada di dalam badan wadag. Maka dari itu terdapat pribahasa sebagai berikut;

Jasad pengikat budi, budi pengikat nafsu, nafsu pengikat karsa (kemauan), karsa pengikat sukma, sukma pengikat rasa, rasa pengikat cipta, cipta pengikat penguasa, penguasa pengikat Yang Maha Kuasa.

Sebagai contoh;
Jasad jika mengalami kerusakan karena sakit atau celaka, maka tali pengikat budi menjadi putus. Orang yang amat sangat menderita kesakitan tentu saja tidak akan bisa berpikir jernih lagi. Maka putuslah tali budi sebagai pengikat nafsu. Maka orang yang sangat menderita kesakitan, hilanglah semua nafsu-nafsunya, misalnya amarah, nafsu seks, dan nafsu makan. Jika tali nafsu sudah hilang atau putus, maka untuk mempertahankan nyawanya, tinggal  tersisa tali karsa atau kemauan.

Hal ini, untuk Para Sedulur dan Kadhang kinasih saya semuanya, yang kebetulan membaca artikel ini, dapat membuktikannya dengan cara menyaksikan sendiri, setiap orang yang menderita sakit parah, energi untuk bertahan hidup, tinggalah kemauan atau semangat untuk sembuh.

Apabila karsa atau kemauan, dalam bentuk semangat untuk sembuh sudah hilang, maka hilanglah tali pengikat sukma, akibatnya sukma terlepas dari badan wadag, dengan kata lain, orang tersebut mengalami kematian. Namun demikian, sukma masih mengikat rasa, dalam artian sukma sebenarnya masih memiliki rasa, dalam bentuk rasa sukma yang berbeda dengan rasa ragawi. Bagi penganut kejawen, percaya dengan rasa sukma ini.

Maka di dalam tradisi Jawa, tidak boleh menyianyiakan jasad orang yang sudah meninggal. Karena dipercaya sukmanya yang sudah keluar dari badan, masih bisa merasakannya.  Rasa yang dimiliki sukma ini, lebih lanjut dijelaskan karena sukma masih berada di dalam dimensi bumi, belum melanjutkan perjalanan ke alam barzah atau alam ruh.

Rahsa atau rasa, merupakan hakikat Dzat (Yang Maha Kuasa) yang mewujud ke dalam diri manusia. Dzat adalah Yang Maha Tinggi, Yang Maha Kuasa, Tuhan Sang Pencipta alam semesta. Urutan dari yang tertinggi ke yang lebih rendah adalah sebagai berikut;

Dzat (Dzatullah) Tuhan Yang Maha Suci, meretas menjadi;
Kayu Dhaim (Kayyun) Energi Yang Hidup, meretas menjadi;
Cahya atau cahaya (Nurullah), meretas menjadi;
Rahsa atau rasa atau sir (Sirrullah), meretas menjadi ;
Sukma atau ruh (Ruhullah).

Wedaran diatas adalah retasan dari Dzat, Tuhan Yang Maha Kuasa, maka ruh bersifat abadi, cahaya bersifat mandiri tanpa perlu bahan bakar. Ruh yang suci yang akan melanjutkan perjalanannya menuju ke haribaan Hyang Maha Suci Hidup, dan akan melewati alam ruh atau alam barzah, di mana suasana menjadi jengjem jinem, tak ada rasa lapar-haus, emosi, amarah, sakit, sedih, dsb.

Sebelum masuk ke dimensi barzah, ruh melepaskan tali rasa, kemudian ruh masuk ke dalam dimensi alam barzah menjadi hakikat cahaya tanpa rasa, dan tanpa karsa. Yang ada hanyalah ketenangan sejati, manembah kepada gelombang Dzat, lebur dening pangastuti.

Sebaliknya, ruh yang masih berada di dalam dimensi gaibnya bumi, masih memiliki tali rasa, misalnya rasa penasaran, karena masih ada tanggung jawab di bumi, yang belum terselesaikan, atau jalan hidup, atau hutang yang belum terselesaikan, menyebabkan rasa penasaran. Oleh karena itu dalam konsep Laku Hakikat Hidup “Wahyu Panca Gha’ib” Percaya adanya arwah penasaran, yang masih berada di dalam dimensi gaibnya bumi. Sehingga tak jarang masuk ke dalam raga orang lain yang masih hidup, yang dijadikan sebagai media komunikasi, karena kenyata’an bahwa raganya sendiri telah rusak dan hancur. Itulah sebabnya mengapa di dalam Laku Wahyu Panca Gha’ib terdapat tata cara Penyempurna’an arwah (penasaran) tersebut.

Karena mati penasaran, aalah kebalikan dari mati sempurna. Dalam kajian Laku Wahyu Panca Gha’ib, mati dalam puncak kesempurna’an, adalah Selesai. Habis atau Tamat, tanpa sisa tanpa bekas apapun. Yakni warangka (raga) manjing curigo (ruh). Raga yang suci, adalah yang tunduk kepada kesucian Dzat yang terderivasi ke dalam ruh. Ruh suci/roh kudus (ruhul kuddus) sebagai retasan dari hakikat Dzat, memiliki 20 sifat yang senada dengan 20 sifat Dzat, misalnya kodrat, iradat, berkehendak, mandiri, abadi, dst. Sebaliknya, ruh yang tunduk kepada raga hanya akan menjadi budak nafsu duniawi, sebagaimana sifat hakikat ragawi, yang akan hancur, tidak abadi, dan destruktif. Menjadi raga yang nista, berbanding terbalik dengan gelombang Dzat Yang Maha Suci.

Oleh karena itu, menjadi tugas utama manusia, yakni memenangkan perang Baratayudha di Padang Kurusetra, antara Pendawa (kebaikan yang lahir dari akal budi dan panca indera) dengan musuhnya Kurawa (nafsu angkara murka). Perang inilah yang dimaksud pula dalam ajaran Islam sebagai Jihad Fii Sabilillah, bukan perang antar agama, atau antar suku dan adat dengan segala bentuk terorisme.

Adapun ajaran untuk menggapai kesucian diri, atau Jihad secara Laku, yakni mengendalikan hawa nafsu, serta menjalankan budi (bebuden) yang luhur nilai kemanusiannya (habluminannas) yaknil rela (rilo), ikhlas (legowo), menerima/qonaah (narimo ing pandum), jujur dan benar (temen lan bener), menjaga kesusilaan (trapsilo) dan jalan hidup yang mengutamakan budi yang luhur (lakutama) Penuh Cinta Kasih Sayang. Adalah pitutur sebagai pengingat-ingat agar supaya manusia selalu eling atau selalu mengingat Hyang Maha Suci Hidup, untuk menjaga kesucian dirinya.

Seperti dalam falsafah Kejawen berikut ini;
Jagad bumi alam kabeh sumurupo marang badan, badan sumurupo marang budi, budi sumurupo marang napsu, napsu sumurupo marang nyowo, nyowo sumurupo marang rahso, rahso sumurupo marang cahyo, cahyo sumurupo marang atmo, atmo sumurupo marang ingsun, ingsun jumeneng pribadi.

Artinya;
(jagad bumi seisinya pahamilah badan, badan pahamilah budi, budi pahamilah nafsu, nafsu pahamilah nyawa, nyawa pahamilah karsa, karsa pahamilah rahsa, rahsa pahamilah cahya, cahya pahamilah Yang Hidup, Yang Hidup pahamilah Aku, Aku berdiri sendiri (Dzat).

Maksudnya;
Bahwa manusia sebagai derivasi terakhir yang berasal dari Dzat Sang Pencipta harus (wajib) memiliki kesadaran mikrokosmis danmakrokosmis yakni “sangkan paraning dumadi” serta tunduk, patuh dan hormat (manembah) kepada Dzat Tuhan Pencipta jagad raya.

Selain kesadaran di atas, untuk menggapai kesucian, manusia hidup harus tetap berada di dalam koridor yang merupakan Jalan tembus menuju Yang Maha Suci Hidup. Adalah Memiliki lima Perkara dan Menjalankan Perkara lima dengan Iman Cinta Kasih Sayang. Yakni;

Wahyu Panca Gha’ib;
1. Kunci.
2. Paweling.
3. Asmo.
4. Mijil.
5. Singkir.

Dan.

Wahyu Panca Laku;
1. Manembahing Kawula Gusti.
2. Manunggaling Kawula Gusti.
3. Leburing Kawula Gusti.
4. Sampurnaning Kawula Gusti.
5. Sampurnaning Pati Urip.

Wahyu Panca Ghaib dan Wahyu Panca Laku;
1. Kunci - Manembahing Kawula Gusti.
2. Paweling - Manunggaling Kawula Gusti.
3. Asmo - Leburing Kawula Gusti.
4. Mijil - Sampurnaning Kawula Gusti.
5. Singkir - Sampurnaning Pati Urip.

Demikian lah... Pengertian untuk Memahami Curigo manjing warongko-Warongko manjing curigo. Wahyu Panca Gha’ib-Wahyu Panca Laku yang bisa saya jelaskan, untuk selebihnya. Sedulur dan Kadhang kinasih saya, harus Laku Sendiri, biyar tau sendiri, mengerti sendiri, paham sendiri, mengalamu sendiri, bukan hanya sebatas katanya.

Sebab pada dasarnya perilaku Hidup di dalam kehidupan dunia ini itu, ibarat suara yang kita kumandangkan, akan menimbulkan gema. Artinya; apapun perbuatan kita kepada orang lain, sejatinya akan berbalik mengenai diri kita sendiri. Jika perbuatan kita baik pada orang lain, maka akan menimbulkan Gema, berupa kebaikan yang lebih besar, yang akan kita dapatkan dari orang lainnya lagi. Hal ini dapat dipahami sebagaimana dalam peribahasa sebagai berikut;

Barang siapa menabur angin, akan menuai badai. Siapa menanam, akan mengetam. Barang siapa gemar menolong, akan selalu mendapatkan kemudahan. Barang siapa gemar sedekah kepada yang susah. Rejekinya akan menjadi lapang. Orang pelit. Pasti pailit. Pemurah hati,. Akan mukti. Begitu juga jika kita gemar menebar Cinta Kasih Sayang, terhadap sesama mahkluk hidup. “Ageng-agenging dosa punika tiyang ulah ilmu makripat ingkang magel. Awit saking dereng kabuko ing pambudi, dados boten sumerep ing suraosipun”

Bagi yang sudah memiliki Wahyu Panca Gha’ib dan Wahyu Panca Laku, sudah tentu dapat menerima ilmu “Sangkan paraning dumadi” dan menemui kemulia’an Sempurnaning Kawula Gusti, yang selangkah lagi bisa mencapai Sampurnaning Pati Urip.

Siapa yang sunguh-sungguh mengetahui Tuhannya, sesungguhnya dapat mengetahui di dalam badanya sendiri. Siapa yang sungguh-sunggun mengetahui badannya sendiri, sesungguhnya mengetahui Tuhannya.

Artinya;
Siapa yang mengetahui Tuhannya, ia lah yang mengetahui semua ilmu kajaten (makrifat). Siapa yang sunguh-sungguh mengetahui sejatinya badannya sendiri, ia lah yang dapat mengetahui akan Hidup jiwa raganya sendiri.

Yang Pling mendasar adalah, kita harus selalu ingat, bahwa hidup ini, tidak akan menemui sejatinya ajal, sebab kematian hanyalah terkelupasnya isi dari kulit. Isi badan melepas kulit yang telah rusak, kemudian isi bertugas melanjutkan perjalanan ke alam keabadian. Hanya raga yang suci yang tidak akan rusak dan mampu menyertai perjalanan isi. Sebab raga yang suci, berada dalam gelombang Dzat Illahi yang Maha Abadi. Inilah sejatining Wahyu Panca Gha’ib. Maka, ketahuilah... sebelum terlambat. Terlambat...!!! tidak selamat.

Maka dari itu, jangan terputus dalam lautan manembah kepada Gusti Pangeran Ingkang Sinembah. Agar supaya menggapai peleburan tertinggi, lebur dening pangastuti, yakni raga dan jiwa melebur ke dalam Cahaya yang Suci, di sanalah manusia dan Dzat menyatu dalam irama yang sama, yakni Sampurnaning kawulo gusti dan Sampurnaning Pati Urip.

Dengan Sarana “Wahyu Panca Gha’ib” dan sistem “Wahyu Panca Laku”. Menyeiramakan diri pada Sariraning Bathara, Dzat Yang Maha Suci. Agung. Maha Kuasa diatas segala yang kuasa, yang disebut sebagai “Pangabekti Ingkang Langgeng” Laku Patrap tanpa kenal waktu dan kiblat, sambung-menyambung dalam satu irama nafas, selalu eling/ingat/sadar dengan Iman Cinta Kasih Sayang menyebut Dzat Yang serba Maha.

Patrap ngiras nyambut damel, lenggah sinambi lumampah, lumajeng salebeting kendel, ambisu kaliyan wicanten, kesahan kaliyan tilem, tilem kaliyan melek.

(Laku sambil bekerja, duduk sambil berjalan, berjalan di dalam diam, membisu dengan bicara, bepergian dengan tidur, tidur sembari melek).

Jika Semua Manusia Hidup, dapat dan bisa melaksanakan Lima dari Lima ini, yaitu Wahyu Panca Gha’ib dan Wahyu Panca Laku. Secara benar dan tepat juga  bersungguh-sungguh, berkah Hyang Maha Suci Hidup, setiap orang dapat meraih kesempurna’an Waluyo Jati, Paworing Kawulo Gusti di dunia wal kaherat. Tidak tergantung apa Agamanya dan berapa Amalnya.

Duh... Gusti Ingkang Moho Suci. Pencipta dan Penguwasa alam semesta seisinya. Bapak Ibu dari segala Ilmu Pengetahuan, maafkan lah saya, jika apa yang saya tulis dan saya sebarkan melalui media internet ini, adalah kesalahan yang tidak saya sengaja. saya hanya ingin menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang saya dapatkan dari-Mu, agar tidak ada lagi kegelapan dan kesesatan di dunia ini. Damai dihati, damai didunia, damai Di Akherat.

Damai... Damai... Damai Selalu Tenteram. Sembah nuwun,,, Ngaturaken Sugeng Rahayu, lir Ing Sambikolo. Amanggih Yuwono.. Mugi pinayungan Mring Ingkang Maha Agung. Mugi kerso Paring Basuki Yuwono Teguh Rahayu Slamet..  BERKAH SELALU. Untuk semuanya tanpa terkecuali, terutama Para Sedulur, khususnya Para Kadhang Konto dan Kanti Anom Didikan saya. yang senantiasa di Restui Hyang Maha Suci Hidup....._/\_..... Aaamiin dan, Terima Kasih. Terima Kasih. Terima Kasih *
Ttd: Wong Edan Bagu
Putera Rama Jayadewata Tanah Pasundan
Handphon:  0858 - 6179 - 9966
http://putraramasejati.wordpress.com
http://webdjakatolos.blogspot.com