“Mahkota Mayang Kara” Lambang Bayangan Semu.
“Mahkota
Mayang Kara” Lambang Bayangan Semu.
Oleh:
Wong Edan Bagu
Putera
Rama Tanah Pasundan
PRO
KADHANG KINASIHku semuanya tanpa terkecuali.
Ketentraman
dan kebahagiaan rohani, kini menjadi barang yang sangat langkah dan mahal
harganya. Upaya mendapatkan kebahagiaan banyak menjerumuskan manusia pada
kebenda’an. Kelimpahan materi untuk mencukupi semua kebutuhan kehidupan,
sekaligus sarana untuk bersenang-senang, menjadikan manusia sangat bergantung
pada keduniawian semu dan sesaat. Kehidupan bertetangga pun sudah tidak lagi
seerat jaman dulu. Banyak orang tidak saling mengenal, walaupun tinggal
berdekatan dalam satu lingkungan. Masing-masing hidup dalam duniawinya
sendiri-sendiri. Tidaklah bisa dipungkiri, karena kesepian dan kekosongan jiwa
akhirnya mengakibatkan mereka menjadi malas beribadah atau mencari alternatif
lainnya seperti narkoba, alkohol, menonton film-film hiburan, mengunjungi
tempat-tempat keramaian, dsb.
Agama
tidak bisa mencegah runtuhnya adat istiadat ataupun ikatan kekeluargaan. Bahkan
pada banyak kasus, agama (dan perbedaan agama) justru menjadi sarana runtuhnya
adat istiadat dan ikatan kekeluargaan. Di zaman teknologi dan komunikasi
canggih seperti sekarang ini kenyata’annya kita menjadi semakin kesepian,
bahkan telah menjalar sampai kepada masyarakat desa, sehingga mereka pun
merasakan kesepian batin. Kehampa’an dan kekosongan jiwa menyebabkan manusia
harus mencari pengisi hati di berbagai macam tempat hiburan, dan tiap weekend
dan hari libur mereka ber-bondong-bondong mencari sesuatu yang bisa mengisi
kekosongan jiwa. Tetapi kenyataannya hanya kebahagiaan semu dan sementara
sajalah yang mereka dapatkan. Setelah meninggalkan tempat tersebut, merekan
mulai kembali galauw, resah dan gelisah bahkan stress.
Ketentraman
ada di dalam rasa, bukan perasa’an, dan kebahagiaan ada di dalam hati, bukan
dalam angan-angan pikiran. Seharusnya itu bisa dimunculkan oleh setiap orang di
dalam rasa dan hatinya serta bisa
diwujudkan dalam kehidupannya sehari-hari baik untuk dirinya sendiri maupun
berkeluarga dan lingkungannya. Dengan adanya rasa kebahagiaan itu maka orang
akan bisa merasakan kecukupan, dan ia tidak akan mengorbankan kebahagiaan itu
untuk digantikan dengan "sensasi" kebahagia’an yang tidak akan pernah
dianggap cukup.
Jika
seseorang di dalam hatinya tidak bisa menemukan kebahagiaan, maka itulah yang
terjadi pada orang-orang yang mencari "sensasi" kebahagiaan dengan
sesuatu yang berasal dari luar dirinya. "Sensasi" kebahagiaan itulah
yang cenderung dicari orang, tumpukan kekayaan, hidup mewah dan
bersenang-senang, karir tinggi dan gengsi kebenda’an, keakuan agama dan
fanatisme agama, eksklusivisme agama dan kelompok, pembenaran keakuan diri
merasa lebih daripada orang lain, dsb, tidak akan pernah dianggap cukup, tidak
ada batas cukupnya.
Ketentraman
dan kebahagiaan ada di dalam diri pribadi, letaknya di hati berwujud rasa.
Karir bagus, materi berlimpah, bukan jaminan merasa bahagia dan cukup.
Kegundahan, tak punya pegangan hidup dan kekosongan jiwa, banyak dirasakan
manusia dewasa ini, ditambah lagi dengan problematika hidup yang melilit dan
membelenggu jiwa dan pikiran. Itulah yang terjadi kalau manusia hanya mengejar
"sensasi" kebahagiaan, bukan kebahagia’annya itu sendiri yang
didapatkan, tetapi hanya sensasinya saja yang sifatnya sementara dan semu.
“Mahkota Mayang Kara” Lambang Bayangan Semu.
Harapan
menemukan jalan keluar dilakukan dengan berbagai cara untuk mengantarkan
manusia pada kebahagiaan dan ketenangan batin. Upaya untuk mendapatkannya
mendorong sebagian orang untuk mengikuti kegiatan-kegiatan dalam berbagai
komunitas, komunitas olah raga, hobby, komunitas lingkungan, komunitas
agamanya, ada juga yang menelusuri komunitas-komunitas spiritual lintas agama
dan lakon kepercaya’an.
Kecenderungan
manusia sejak dulu adalah keinginannya untuk tidak terbelenggu dalam
ikatan-ikatan. Manusia juga ingin lepas dari sikap fanatis. Banyak yang memilih
hidup dalam pandangan-pandangan yang universal dan lintas agama, lintas suku
dan bangsa. Di Jawa ada aliran-aliran spiritual kebatinan tertentu, yang tidak
berpegang pada ajaran agama tertentu, seperti Aliran Kepercayaan Sumarah, Subud
(Susila Budhi Darma), Sapto Darmo, Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu), ajaran
Manunggaling Kawula Lan Gusti, dsb. Pada masa sekarang, tak sedikit yang
bergabung dengan komunitas-komunitas seperti komunitas Anand Krisna, Lia Eden,
Baha’i, Sai Baba dan aliran kebatinan spiritual lainnya.
Di
dalam komunitas lintas agama inilah mereka melakukan berbagai ritual, meditasi
dan kegiatan-kegiatan lain yang menyerupai peribadatan agama tertentu. Mereka
menemukan intisari dari kebijaksanaan hidup. Bahkan mereka merasakan adanya
persaudara’an di dalam komunitasnya, persaudaraan universal kemanusiaan, yang
tidak membeda-bedakan ras (bangsa), agama, jenis kelamin, kasta, warna kulit,
atau apapun juga.
Orang-orang
yang mengikuti komunitas tersebut mempunyai latar belakang agama yang
bermacam-macam, seperti Islam, Kristen, Katolik, Budha, dan sebagainya. Ajaran-ajaran
dalam komunitas tersebut kerap mengatakan bahwa semua agama adalah jalan yang
benar menuju Tuhan. Ajaran mendasar dari konsep ini adalah kebenaran agama yang
universal. Ajaran ini mengajak manusia mempelajari perbandingan agama-agama,
filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya yang bersipat netral tanpa tekanan apapun.
Dengan
propaganda ”mempersatukan dan menghapus
pemisah antar manusia” inilah kemudian
berkembang doktrin ”semua agama sama”,
atau “semua agama benar”, karena merupakan jalan yang sama-sama syah
untuk menuju Tuhan yang satu. Gerakan inilah yang kemudian disebut New Age
Movement (Gerakan Era Baru), berusaha memadukan antara nilai-nilai Barat dan
Timur, lewat jalan menggali dan mempelajari apa yang mereka sebut sebagai the
ancient wisdom, kearifan masa lalu. Hingga saat ini, gerakan New Age terus
berkembang di berbagai negara.
Kehadiran
komunitas spiritual kebatinan tentu berbeda dengan agama. Acuan agama bukanlah
hasil pikir dan perenungan manusia, melainkan wahyu. Sedangkan materi kebatinan
merupakan kreasi manusia, yang mengkombinasikan kebijaksanaan dari banyak macam
kepercayaan, mulai dari kepercayaan animisme dan dinamisme jaman prasejarah,
ajaran-ajaran dewa dan kepercayaan-kepercayaan kuno, teknik-teknik meditasi,
mistik, tasawuf, filsafat, psikologi, bahkan sampai kultus-kultus individu
terhadap pemimpin atau pendiri pertama aliran-aliran tertentu.
Kebanyakan
aliran kebatinan memang kerap mensitir keterangan agama, tetapi bukan sebagai
patokan dasar, melainkan sebagai cara untuk memperkuat ajaran-ajaran kebatinan.
Atas nama Hak Asasi Manusia dan kebebasan, mereka menggabungkan agama-agama
yang berujung pada pluralisme agama, bahkan menghilangkan semua batasan agama
yang ada.
Pendekatan
kebatinan spiritual seperti ini membuat fungsi terpendam agama, seperti
ketenangan batin dan kebahagiaan, menjadi nyata dan bisa dirasakan oleh semua
anggotanya. Karena itu, semua aktivitas ‘keagamaan’ dan spiritual yang mereka
lakukan dinilai dari bisa atau tidaknya memenuhi fungsi menenangkan batin,
mengisi kekosongan jiwa dan bisa-tidaknya menciptakan kebahagiaan untuk
dirasakan oleh para pelakunya.
Intinya
adalah pada persekutuan hati.
Di
dalam rumah ibadah, kebanyakan orang hanya menjalankan rutinitas peribadatan
saja, tidak ada persekutuan hati di antara mereka. Inilah yang menyebabkan
sekalipun seseorang rajin beribadah di rumah ataupun di dalam rumah ibadah,
tetap saja merasakan kekosongan hati. Dan kekosongan hati tidak bisa dipenuhi
hanya dengan rutinitas ibadah dan berbagai macam khotbah dan dogma / doktrin
agama. Harus ada persekutuan hati yang bisa merekatkan hubungan hati antar
sesamanya dan rasa kehangatan yang mengisi hati.
Di
dalam perkumpulan kebatinan tersebut sifat kekeluargaan anggotanya jauh lebih
erat daripada di rumah ibadah dan sifat kebatinannya jauh lebih menonjol dan
jauh lebih diutamakan daripada sifat formalitasnya. Inilah yang mendorong
banyak orang bergabung di dalam perkumpulan kebatinan.
Pihak
kebatinan tidak pernah menyerang atau merendahkan pihak agama. Tetapi banyak
manusia di pihak agama memandang sinis terhadap keberadaan perkumpulan
kebatinan, bahkan memusuhinya dan menganggap bahwa kebatinan itu sebagai agama
liar dan sesat. Padahal kedua-duanya mempunyai unsur yang sama, yaitu percaya
kepada Tuhan dan mengajarkan budi luhur, dan anggota-anggotanya juga beragama.
Walaupun ada saja orang yang ikut perkumpulan kebatinan sebagai
"pelarian", tetapi sebagian
besar orang di dalam perkumpulan itu menyadari sepenuhnya bahwa perkumpulan
kebatinan itu bukanlah agama dan mereka pun menjadikan perkumpulan itu hanya
sebagai pelengkap kehidupan kerohanian mereka saja.
Di
luar sikap menghakimi mengenai benar-salahnya atau legal-tidaknya aktivitas
kebatinan seperti tersebut di atas, seyogyanya ini menjadi masukan yang berharga
bagi para pemuka agama dan para penganut agama. Keberadaan agama bukan untuk
‘memaksa’ manusia untuk memeluk agama dan mengharuskan menjalankan
aturan-aturannya, tetapi juga harus dapat merangkul dan mengayomi mereka yang
mencari Tuhan, mencari kebenaran Tuhan, mencari ketentraman batin, dan mencari
pengisi kekosongan jiwa, yang tidak bisa didapat hanya dengan cara mengikuti
rutinitas peribadatan, khotbah dan ajaran-ajaran ‘fanatik’, dogma dan doktrin
agama yang mendorong manusia menjadi 'terkotak-kotak' dan 'terbelenggu',
apalagi yang sampai melakukan pembenaran atas perbuatan menghakimi dan
kekerasan dengan nama agama. Hubungan manusia dengan Tuhan bersifat pribadi,
tidak bisa dipaksakan, apalagi dengan kekerasan. SALAM RAHAYU KANTI TEGUH
SLAMET BERKAH SELALU Untukmu Sekalian
para Kadhang kinasihku yang senantiasa di Ridhoi ALLAH Azza wa Jalla Jalla
Jalaluhu. SEMOGA POSTINGAN SAYA
KALI INI. Bisa menggugah Rasa
Hidupmu atau siapapun yang membacanya . Terima Kasih.
Ttd:
Wong Edan Bagu
Putera
Rama Tanah Pasundan
http://putraramasejati.wordpress.com
http://webdjakatolos.blogspot.com
Post a Comment