Moksha. Mati Sajroning Ngaurip:
Moksha.
Mati Sajroning Ngaurip:
Oleh:
Wong Edan Bagu
Putera
Rama Tanah Pasundan
Brebes.
Hari selasa kliwon. Tgl 4 agustus 2015
Jivan-Mukta,
Moksha Selagi Hayat Masih Dikandung Badan;
Di
depan sebuah laptop, saya membuka situs web Blog dan wordpress milik saya
sendiri, saya bermaksud mau posting artikel tentang dialog antara Rasa dan Perasa’an
saya, yang saya alami di malam selasa keliwon tgl 4 agustus 2015, tentang “Urip
mung mampir ngombe”,
Ketika
conexsi internet saya aktifkan, lebih dari satu jam, saya tidak bisa membuka
situs web milik saya, karena jaringan internetnya sedang trobel, leletnya minta
ampun. Ketika saya mendesah kesal, tiba-tiba Rasa saya berkata mengajak
Perasa’an saya;
Rasa:
Mari
kita lihat lihat lembarang buku lama tentang perjalanan kehidupan. Sambil
menunggu jaringan internetnya normal. Bukan suatu kebetulan bila seorang teman,
di kala mahasiswa mengirimkan penjelasan Tembang Jawa secara kronologis, sesuai
tahapan kehidupan. Diawali Tembang “Maskumambang”, emas yang “kumambang”,
terapung, saat manusia berwujud janin yang terapung dalam air ketuban. Kedua
“Mijil” berarti keluar dari goa garbanya sang ibu, di saat kelahiran.
Dilanjutkan “Kinanti”, di-“kanthi”, digandeng tangannya diajari berjalan
menapaki kehidupan. Kemudian “Sinom”, menjadi “nom-noman”, remaja usia belasan.
Setelah itu “Asmaradhana”, gelora asmara sewaktu dewasa, dalam rangka mencari
pasangan.
Selanjutnya
memasuki “Gambuh” gabungan, membentuk rumah tangga untuk membuat anak
keturunan. Selanjutnya “Durma”, aktif berdharma bhakti bagi negara sebagai
pahlawan.
Diteruskan “Dhandhanggula”, mengolah “gula”, menikmati
manisan kehidupan. Kemudian sudah saatnya “Pangkur”, mungkur, undur diri dari
keduniawian. Diteruskan “Megatruh”, persiapan “megat” ruh, memisahkan ruh dari
badan. Akhirnya “Pocung”, dipocong ditutupi kain kafan.
Perasa’an:
Benar
juga kata para orang tua, bahwa banyak orang yang lupa “Jawa”-nya, lupa etika
tata krama dan tahapan kehidupannya. Melupakan kronologis, tahapan kehidupan
dari Tembang Jawa. Sudah “sepuh”, tua
tetapi tak mau “mungkur” juga, tak berkeinginan mengundurkan diri dari
jabatannya. Tidak bisa mempercayai generasi muda, karena masih ingin
memperpanjang “Dhandhanggula”, menikmati manisnya kekuasaannya. Orang yang
semestinya menyanyikan lagu pucung yang penuh canda ria, gembira dipanggil Yang
Maha Kuasa, masih menembangkan “Kinanthi”, tidak berani memberdaya diri sendiri
juga. Bahkan ada juga yang hidupnya seperti “Maskumambang”, menangis
terombang-ambing ombak kehidupan dunia... He he he . . . Edan Tenan.
Rasa:
Saya
ingat nasehat almarhum Yth Guru spiritual saya dari jung jatim banyuwangi,
bahwa kehidupan batin seseorang, semestinya lebih tua daripada kondisi
fisiknya. Usia boleh tiga puluhan, tetapi sebaiknya sudah empat puluhan usia
kehidupan batinnya. Usia boleh empat puluh limaan, tetapi sudah pensiunan
kehidupan batinnya. Sayangnya kebalikannya yang sering terjadi. Usia setengah
baya pergi ke disko setiap hari. Kijang tua karoseri tahun 80-an dipakai
“ngebut pol” di jalan tol, motor butut di pakai balapan di gang kampung yang
banyak anak-anak balita sedang bermain, Berapa lama sih daya tahan diri?
Perasa’an:
Yth
guru mu itu sudah memahami antara kedewasaan dan ketahanan diri. Tetapi mengapa
beliau tidak lebih progresif lagi? Mengapa setelah tua baru berpikir mati?
Mengapa tidak berpikir tentang mati pada saat ini? Bukankah fisik manusia tidak
abadi? Sedangkan keinginan tidak punya batasan. Sehingga menjelang ajal selalu
ada kekecewaan. Terlambat sudah datangnya penyesalan.
Rasa:
Para
leluhur mempunyai ungkapan “mati sajroning ngaurip”, selagi hidup sudah mati.
Hampir sama dengan istilah zuhud, melepaskan keterikatan terhadap duniawi. Bagi
musafir perjalanan Ilahi, mengikatkan diri pada keduniawian, berarti perjalanan
terhenti. Ada juga ungkapan leluhur, bahwa hidup hanya sekedar mampir minum,
berhenti sejenak lalu melanjutkan perjalanan lagi. Intinya hidup perlu dijalani
tanpa keterikatan pada hal-hal yang bersifat duniawi………
Perasa’an:
Benar
juga tuh, selama masih mempunyai keterikatan, hidup yang nampak “bebas” dalam
dunia tidak menjamin kebebasan bagi jiwa. Sesungguhnya, dunia ini sendiri
merupakan kurungan bagi jiwa. Jiwa kita jauh lebih luas daripada dunia di mana
kita berada. Dunia kita sangat sempit dan menyesakkan jiwa. Kebahagiaan datang
dari kebebasan jiwa. Jiwa yang masih belum bebas, yang masih terkurung, tidak
paham Kebebasan itu apa dan bagaimana? Merdeka itu apa dan bagaimana? Tenteram
itu apa dan bagaimana?
Kita
takut mati seperti narapidana yang sedang menunggu hukuman mati. Narapidana
tersebut lupa arti kebebasan diri. Yang dikejar hanyalah kesenangan-kesenangan
tak berarti dalam bui. Kesenangan di tengah ketakutan akan datangnya hukuman
mati. Kita sudah terbiasa hidup dalam penjara diri. Meski terbelenggu
konsep-konsep keliru, dan terpenjara oleh tradisi-tradisi yang memperbudak
jiwa, tetap saja tidak kita sadari. Padahal penjara diri hanya berupa pola
pikiran tertanam yang bisa dilampaui. Manusia bisa keluar dari belenggu pikiran
menuju kebebasan sejati.
Rasa:
Dulu
saya pernah baca buku, tentang Sri Mangkunagoro IV dalam kitab Wedhatama
menyatakan bahwa seseorang yang tidak sadar adalah orang yang sakit, tidak
sehat jiwanya. Beliau tidak menjatuhkan vonis, bahwa orang yang tidak sadar itu
berdosa. Pandangan Beliau akan dibenarkan para ahli ilmu jiwa. Yang sakit jiwa,
merasa dirinya hampa, akan selalu mengejar tahta, ketenaran dan harta. Sedang
sakit, seseorang ingin menonjolkan dirinya. Yang sakit jiwa merasa begitu
kosong, tak berdaya, sehingga membutuhkan pengakuan dari masyarakatnya. Padahal
tahta, ketenaran, harta, wanita atau lelaki dan pengakuan masyarakat adalah
keterikatan nyata. Tanpa itu semua, dia tidak bahagia. Dia terpenjara oleh
keterikatannya. Dan konyolnya, dia tidak sadar bahwa dirinya sedang sakit jiwa.
Perasa’an:
Moksha
atau Kebebasan bukanlah sesuatu yang harus dikerjakan menjelang akhir
kehidupan. Moksha tidak berada di ujung kehidupan sebelum datangnya kematian.
Moksha harus diupayakan saat ini juga. “Jivan-Mukta” atau “Bebas dalam Hidup”
adalah sesuatu yang tidak dapat ditunda. Tanpa kebebasan itu, manusia tidak
mampu untuk mengungkapkan kesempurnaannya.
Rasa:
Sebetulnya,
setiap agama mengajak kita untuk mengalami kematian selagi masih hidup, masih
bernyawa. Kematian yang dimaksud adalah kematian ego kita, keangkuhan kita,
kesombongan kita, kesia-siaan kita, kebodohan kita, ketaksadaran kita,
keserakahan kita, kebencian kita, keirian kita, kecemburuan kita, dan lain
sebagainya. Banyak yang malas untuk mengupayakan surga dalam kehidupannya.
Mereka yang masih terbakar oleh hawa nafsu dan enggan untuk mematikan api
tersebut, sudah pasti menolak Moksha.
Perasa’an:
Kebebasan
yang disebut Nirwana, adalah padamnya api nafsu yang menyebabkan derita.
Nirwana pun haruslah terjadi selagi kita masih bernyawa. Paripurna atau Maha
Nirwana, Nirvana Yang Sempurna yang terjadi saat kematian, hanyalah bersifat
simbolik saja. Semacam pengukuhan dari semesta yang diperoleh setelah seorang
suci mengalaminya terlebih dahulu dalam kehidupannya. Moksha, Nirwana, Surga,
Kerajaan Allah dan banyak istilah lainnya, namun yang dimaksud adalah satu dan
sama …… “The Blossoming of Human Excellence”,
Berkembangnya
kemanusiaan dalam diri Manusia. Itulah Kesempurnaan Diri Manusia.
Rasa:
Moksha,
dalam pemahaman Vedaanta, bukanlah pembebasan dari pikiran-pikiran rendah dan
hina saja, tetapi pembebasan dari pikiran itu sendiri. Tidak pula berarti bahwa
kita harus membenci pikiran atau menafikan sama sekali…..
Pikiran
perlu dibebaskan dari segala macam keinginan. Bukan saja keinginan untuk
mendapatkan kedudukan dan ketenaran, keinginan untuk mati syahid pun keinginan.
Keinginan untuk menemukan Tuhan pun keinginan. Sesungguhnya keinginan-keinginan
kita itu justru memisahkan kita dari-Nya. Keinginan untuk menemukan sesuatu
yang sebetulnya ada. Hilangnya Tuhan dari hidup kita betul-betul karena
keinginan kita untuk menemukan-Nya. Karena “kehilangan Tuhan” itu terjadi dalam
pikiran kita. Kehilangan itu adalah ilusi pikiran kita. Untuk menemukan kembali
apa yang “terasa” hilang itu, kita harus menaklukkan perasaan kita. Kita harus
mengoreksi sendiri pikiran kita… He he he . . . Edan Tenan.
Vedaanta
menyatakan bahwa pikiran bukanlah segalanya. Logika adalah hasil dari sebagian
otak saja. Dari bagian kiri otak, dan masih ada bagian kanan yang sama
besarnya. Masih ada juga batang otak yang bekerja untuk mengkoordinasikan apa
yang ada di otak kanan dan otak kirinya. Masih ada bagian lymbic yang berisi
insting-insting dasar manusia. Vedaanta melihat manusia sebagai satu kesatuan.
Pikiran adalah bagian kecil dari kesatuan. Dan, logika adalah bagian kecil dari
pikiran. Jika menjalani hidup berdasarkan logika saja, maka tak akan meraih
kesempurnaan. Jelas tidak bisa, karena hanya mengembangkan satu bagian. Bebaskan diri dari kekerdilan! demikianlah
seruan Vedaanta. Bebaskan diri dari ketergantungan pada logika. Karena, apa
yang disebut logika atau pikiran logis itu hanyalah berdasarkan ilmu yang diperoleh selama hidupnya. Yang ada
keterbatasannya.
Perasa’an:
Moksha
bukanlah urusan akhirat, urusan laduni atau dunia lainnya. Moksha adalah urusan
dunia. Jiwa yang tidak bebas hanya dapat berhamba. la sangat miskin dan tidak
mampu berbuat sesuatu yang berharga. Sebab itu, terlebih dahulu ia harus
mengupayakan kebebasan bagi dirinya. Moksha adalah Kebebasan untuk Berpikir,
Kebebasan untuk Merasakan, Kebebasan untuk Berkarya. Hanyalah seorang Manusia
Bebas yang dapat mengungkapkan Kemanusiaannya. Namun, Kebebasan yang dimaksud
bukanlah Kebebasan anarkis juga. Kebebasan yang dimaksud adalah Kebebasan yang
Bertanggung-Jawab, Kebebasan yang Menguntungkan bagi Seluruh Jagad Raya.
Rasa:
Bumi
berputar tiada hentinya. Dia tak punya keterikatan dengan peristiwa yang
terjadi di atas permukaan dirinya.
Matahari pun selalu bersinar. Tidak punya keterikatan, tidak terpengaruh
banyaknya orang sadar maupun tak sadar. Apa yang terjadi bila bumi beristirahat
sebentar? Semua yang ada di atas permukaan bumi terlempar. Apa yang terjadi
bila matahari jenuh bersinar? Semua makhluk kedinginan dan punah, tak ada
kehidupan yang mekar……
Bisakah
kita meneladani mereka. Bertindak luhur, penuh kasih dan mulia. Tidak punya
keterikatan dengan apa pun juga. Merekalah contoh yang tidak punya keterikatan
selain menjalankan dharmanya…….
Usia
boleh menua, akhirnya fisik akan di daur ulang Sang Kala. Akan tetapi Kasih
dalam diri abadi sepanjang masa. Setiap saat penuh Kasih terhadap alam semesta,
hidup dalam kekinian, lepas dari jerat putaran Sang Kala. Terus berkarya dalam
putaran Dharma. “Mati sajroning ngaurip”, sudah mati keinginan pribadi terhadap
keduniawian yang fana. “Mati sajroning ngaurip” merupakan ajaran luhur, yang
telah lama terkubur, saatnya bangkit dari “tidur”…… dan berjalan kembali... He
he he . . . Edan Tenan. SALAM RAHAYU KANTI TEGUH SLAMET BERKAH SELALU SAUDARA-SAUDARI SAYA
SEMUANYA TANPA TERKECUALI... MUGA POSTINGAN SAYA INI. ADA MANFAAT DAN HIQMAHNYA . Terima Kasih.
Ttd:
Wong Edan Bagu
Putera
Rama Tanah Pasundan
http://putraramasejati.wordpress.com
http://webdjakatolos.blogspot.com
https://padepokanonlinekuncithepower.wordpress.com
Post a Comment