MEMBONGKAR HAKIKAT BERTAPA DAN BERI’TIKAF:
MEMBONGKAR HAKIKAT BERTAPA
DAN BERI’TIKAF:
Oleh: Wong Edan Bagu
Putera Rama Tanah Pasundan
Brebes jumat tgl 17
januari 2015
Seperti yang sudah kita
ketahui bersama,,, Sejak jaman bahula, jamannya Kearaja’an adigang adiguna sampai
modern sekarang ini. Masih, banyak orang-orang baik itu jawa maupun arab india,
kususnya jawa di negeri kita ini yang melakukan lelaku bertapa atau semedi.
Berdiam diri di tempat-tempat yang dianggap keramat atau angker. Entah itu
karena perintah guru spiritualnya, atau karena inisiatif sendiri. Bahkan ada
juga yang bertapa atau bersemedi di tempat-tempat tertentu karena telah
mendapatkan bisikan ghaib untuk melakukan lelaku tersebut.
Mereka meninggalkan kantor
atau tempat kerja bahkan keluarga, serta mengosongkan waktu dari agenda dan
aktifitas lainnya dalam beberapa hari untuk pergi ke suatu tempat dan berdiam
diri di sana. Dan tidak hanya itu,
mereka juga rela meninggalkan istri tercinta yang masih cantik molek geboy serta
anak-anak tersayang yang lucu-lucu atau keluarga lainnya untuk melakukan
pertapa’an.
Ada yang bermaksud untuk
menenangkan diri, mengistirahatkan pikiran dari jadwal kerja yang membebani.
Sebagaimana ada juga yang bertujuan untuk mencari ketenangan batin, mencari
benda keramat, memburu wangsit, menggembleng diri, atau untuk memperoleh
kesaktian dan kadikdaya’an bahkan harta atau benda (Kekaya’an), dan ada pula
yang mengharapkan datangnya nomor buntut untuk pasang lotre atau togel... He he
he . . . Edan Tenan.
Untuk mengikat pemahaman
kita tentang bertapa, marilah kita simak definisi bertapa menurut Kamus Bahasa
lndonesia. “Bertapa adalah pergi ke tempat yang sunyi dan lengang, menjauhkan
diri dari keramaian untuk berkhalwat, menyucikan diri dari dosa, untuk
memperoleh kesaktian, atau kekuatan batin.” (Kamus Umum Bahasa lndonesia:
1434). Dan dalam kamus lain, “Bertapa adalah mengasingkan diri dari keramaian
dunia dengan menahan nafsu (makan, minum, tidur, birahi) untuk mencari
ketenangan batin.” (Kamus Besar Bahasa lndonesia: 1142).
Adapun Semadi yang sering
dilafazhkan dengan kata semedi mempunyai makna yang sedikit berbeda dengan
bertapa. Bersemadi adalah memusatkan segenap pikiran dan perasaan. (Dengan
meniadakan segala hasrat jasmaniah). (Kamus Besar Bahasa lndonesia: 1024).
Makna semadi hampir sama dengan meditasi. Yaitu memusatkan pikiran dan perasaan
untuk mencapai sesuatu. (Kamus Besar Bahasa lndonesia: 727).
Lalu apa kaitannya bertapa
dan bersemadi dengan beri’tikaf yang merupakan ibadah kita sebagai umat beragama
kususnya lslam?
Ada persama’an dan perbeda’an
antara keduanya. Dan sebelum kita tarik benang persama’an dan perbeda’annya,
marilah kita simak terlebih dahulu definisi I’tikaf itu sendiri.
lbnu Hajar berkata:
“I’tikaf menurut bahasa adalah menempati suatu tempat dan menahan diri di
tempat tersebut”. Sedangkan pengertian l’tikaf menurut syari’at lslam adalah
berdiam di masjid yang dilakukan seseorang dengan niat tertentu dan dengan
aturan tertentu.” (Fathul Bari: 4/271). Adapun ar-Raghib al-Ashfahani
mengatakan: “l’tikaf menurut istilah adalah menahan diri di masjid dengan
tujuan mendekatkan diri (kepada Allah).” (Gharibul Qur’an: 343).
Dari definisi tersebut,
bisa disimpulkan bahwa bertapa ada persama’annya dengan beri’tikaf, walaupun
ada juga perbedaan antara keduanya. Sedangkan bersemadi atau bermeditasi,
hampir sama pengertiannya dengan bertafakkur atau berkhalwat. Sehingga di
halaman lain Kamus Bahasa lndonesia menyebutkan bahwa Bermeditasi adalah
melakukan Samedi atau tafakur dan berkhalwat. (Kamus Umum Bahasa lndonesia: 881
).
Antara Bertapa dan
Beri’tikaf;
Sebagian orang muslim yang
suka bertapa atau bersemadi di tempat-tempat yang sunyi, terpencil atau yang
beraroma keramat dan angker, atau tempat yang jauh dari keramaian dan kebisingan,
mendasarkan perbuatan mereka atas perbuatan yang pernah dilakukan Rasulullah
SAW. bahwa Rasulullah SAW. semasa hidupnya juga suka bertapa di goa Hiro’.
Dan ada juga yang
mendasarkan ritual bertapa yang dilakukan pada pertapa’an yang telah dilakukan
oleh Sunan Kalijaga sebagaimana yang ditayangkan di sinetron dan film-film
walisongo, atau tertulis dalam buku-buku yang bercerita tentang sejarah
kehidupan walisongo. Yang katanya ia bertapa di pinggir kali dengan menunggui
tongkat gurunya (Sunan Bonang) samapai berlumut. Padahal ceriata belum tentu
benar adanya, atau sekadar bumbu cerita. Dan seandainya cerita itu benar
adanya, maka apa yang dilakukan Sunan Kalijaga saat itu tidak bisa kita jadikan
sebagai dalil bahwa bertapa adalah ibadah. Karena dia bukanlah nabi atau rasul
yang ma’shum.
Sebetulnya apa yang
dilakukan Rasulullah SAW. di goa Hiro’ itu secara bahasa bisa dikatakan sebagai
bertapa atau I’tikaf. Karena bilau berdiam diri di suatu tempat dan menjauhi
serta memutuskan hubungan denga hal yang sifatnya duniawi. Tapi ada yang beliau
lakukan tidak sama dengan pemahaman bertapa yang dilakukan sebagian ummat
muslim dewasa ini. Berdiam diri di suatu tempat, baca mantra tertentu dan minta
kekuatan dan kesaktian kepada penghuni tempat tersebut.
Rasulullah SAW. pergi ke
goa Hiro’ itu untuk menyendiri, menjauhi hiruk-pikuk kejahiliyahan, lalu
melakukan ibadah di sana dengan cara ibadah yang telah disyari’atkan kepada
Nabi lbrahim. Dan itu pun beliau mulai sejak mendapatkan wahyu melalui mimpi-mimpi
yang benar. Beliau tidaklah bermimpi pada malam hari, kecuali pagi harinya
terbukti apa yang beliau mimpikan tersebut.
Keterangan seperti itu
telah disampaikan Aisyah melalui beberapa hadits yang telah dibukukan para
ulama’ hadits. Di antaranya, Aisyah berkata, “Pertama kali Rasulullah SAW.
menerima wahyu adalah melalui mimpi-mimpi yang benar dalam tidurnya. Tidaklah
beliau bermimpi kecuali paginya terbukti kebenarannya. Setelah itu beliau suka
menyendiri. Beliau berkhalwat di goa Hiro’ seraya berbekal secukupnya, dan
beribadah di dalamnya selama beberapa hari. Lalu kembali ke keluarganya (rumah
Khadijah), kemudian pergi ke goa Hiro’ lagi seraya membawa bekal secukupnya.
Hal itu terus beliau lakukan sampai beliau didatangi Malaikat Jibril untuk
menyampaikan wahyu kepadanya …”. (HR. Bukhari, no. 2 dan 3).
lmam al-Baihaqi
meriwayatkan bahwa beliau mengalami mimpi-mimpi kenabian itu selama 6 bulan
lamanya, tepatnya dimulai pada bulan Rabi’ul awwal setelah umur beliau genap 40
tahun. Setelah itu, pada bulan Ramadhan dalam tahun tersebut, beliau baru mulai
didatangi malaikat Jibril (di goa Hiro’) untuk menerima wahyu yang pertama dari
Allah. (Kitab Fathul Bari: 1/27 dan Kitab ar-Rahiqul Makhtum: 66).
Dan semenjak beliau
diangkat menjadi rasul, tidak ada satu riwayatpun yang menjelaskan bahwa beliau
masih melakukan khalwat atau menyendiri dan mengasingkan diri dari komunitas
para shahabatnya. Seakan-akan beliau telah memberitahukan kepada kita bahwa
khalwat itu telah diganti dengan I’tikaf, sebagaimana yang beliau lakukan
setiap sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan, atau pada hari dan momentum
lainnya. Selamat tinggal bertapa dan selamat datang I’tikaf.
Dan pembahasan kita
tentang topik ini adalah dalam prespektif agama lslam, bukan agama lainnya.
Karena petunjuk kita adalah lslam, yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah.
Dan ini adalah bahan introspeksi intern bagi kita ummat lslam. Karena masih
banyaknya saudara-saudara kita yang masih menggandrungi lelaku bertapa, dan
menjadikannya sebagai bagian dari ritual dalam hidupnya.
Persamaan Antara Bertapa
Dan Beri’tikaf;
Secara bahasa, I’tikaf itu
artinya berdiam diri, menempati suatu tempat untuk kebaikan atau keburukan.
Karena dalam susunan redaksi ayat al-Qur’an, Allah juga menggunakan kata
I’tikaf saat menjelaskan bahwa orang-orang kafir suka berdiam diri di depan
patung-patung untuk menyembahnya.
Allah SWT. berfirman
menceritakan sikap kaum nabi Musa yang tercela, “Dan Kami seberangkan Bani
lsrail ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum
yang (berdiam diri) tetap menyembah berhala mereka, Bani lsrail berkata: “Hai
Musa, buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai
beberapa tuhan (berhala)”. Musa menjawab: “Sesungguhnya kamu ini adalah kaum
yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan)”. (QS. al-A’raf: 138).
Dan Allah juga
menceritakan dalam surat yang lain tentang kemungkaran kaumnya Nabi lbrahim
yang suka beri’tikaf di depan patung-patung untuk melakukan peribadatan,“ (lngatlah),
ketika lbrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Patung-patung apakah ini
yang kamu berdiam diri (tekun) beribadah kepada-nya?” (QS. al-Anbiya’: 52).
Begitu juga dalam surat
lainnya, Allah menggunakan bahasa I’tikaf bagi orang-orang yang berdiam diri di
masjid untuk menyembah dan menghambakan diri kepada-Nya, “… (tetapi) Janganlah
kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan
Allah, maka janganlah kamu mendekatinya…”. (QS. al-Baqarah: 187).
Sehingga bisa kita
simpulkan bahwa secara bahasa, beri’tikaf dan bertapa itu secara bahasa
mempunyai kesamaan. Sebagai sarana untuk menyembah kepada Allah dan juga untuk
menyembah kepada selain Allah. Orang yang bertapa di tempat tertentu untuk
memohon kekuatan dan petunjuk syetan, secara bahasa juga bisa disebut dengan
I’tikaf. tapi bila ditinjau dari kacamata syari’at lslam, antara keduanya tentu
jauh berbeda.
Adapun sisi-sisi kesamaan
antara bertapa dan beri’tikaf, di antaranya adalah.
1. Menempati tempat
tertentu;
Orang yang beri’tikaf sama
dengan orang yang bertapa, yaitu menempati tempat-tempat tertentu alias bukan
sembarang tempat. Meskipun obyek tempat yang dituju oleh orang yang ber’itikaf
dan yang bertapa berbeda. Orang yang beri’tikaf tempat yang dituju adalah
masjid-masjid. Sedangkan orang yang bertapa, biasanya adalah tempat-tempat yang
sunyi, jauh dari keramian atau terpencil. Atau tempat-tempat yang dianggap
keramat atau wingit.
2. Memutuskan hubungan
duniawi;
Orang yang beri’tikaf dan
yang bertapa dianjurkan untuk memutuskan hubungan yang sifatnya duniawi untuk
sementara waktu. Meskipun dalam hal ini, pantangan bagi orang yang bertapa
lebih ekstrim. Sampai-sampai mereka tidak memperhatikan lagi kondisi badannya.
Tidak mandi, bahkan ada yang tidak bergerak sama sekali. Jangankan untuk
mencuci baju atau memotong rambutnya, untuk makan dan minum saja mereka tidak
mempedulikannya lagi. Dan hal itu berbeda dengan orang yang beri’tikaf.
3. Disibukkan dengan
ibadah tertentu;
Orang yang beri’tikaf dan
bertapa sama-sama menyibukkan diri dengan ibadah tertentu. Mereka konsentrasi
penuh untuk mendekatkan diri kepada yang selama ini diyakini mampu untuk
melindungi dirinya atau memberi kekuatan lebih baginya. Dan tidak semua jenis
ibadah boleh dilakukan orang yang sedang beri’tikaf, sebagaimana hal itu juga
berlaku bagi orang yang sedang bertapa.
4. Mendekatkan diri kepada
yang di atas;
Orang yang beri’tikaf dan
yang bertapa sama-sama mempunyai tujuan, yaitu mendekatkan diri mereka kepada
yang di atas. Walaupun yang dimakud dengan yang di atas di sini berbeda-beda,
tergantung keyakinan. dan agama masing-masing. Bagi orang islam yang melakukan
I’tikaf, tujuannya sangat jelas sekali, yaitu mendekatkan diri kepada Allah.
Kalau ada orang yang beri’tikaf dan tujuannya Selain dari itu, berarti ada
penyimpangan tujuan dalam ibadahnya.
5. Mencari ketenangan
batin;
Termasuk sasaran yang
dibidik orang yang beri’tikaf dan yang bertapa adalah mencari ketenangan batin.
Mereka berusaha untuk mengistirahatkan pikiran dan jiwa mereka dari beban-beban
dunia dan tugas-tugas harian yang melelahkan. Mereka berusaha untuk rehat dan
relakasi ruhani serta mengevaluasi diri. Menguatkan ruhani dan batin serta
menjauhkan diri dari dunia untuk sementara waktu.
6. Mengevaluasi diri;
Banyak orang yang bertapa
di tempat yang sunyi dan sepi dan menjadikannya sebagai sarana evaluasi diri.
Entah karena sering mengalami kegagalan dalam hidupnya, sering menjumpai
kesialan dalam kesehariannya, atau sering menderita berbagai macam penyakit dan
malapetaka lainnya. Dengan bertapa, mereka berusaha mengevaluasi perialanan
hidupnya selama ini. Begitu juga orang yang beri’tikaf
7. Membersihkan kesalahan
dan dosa;
Di antara tujuan orang
yang bertapa adalah membersihkan kotoran diri yang selama ini mereka lakukan.
Mereka ingin mensucikan diri dan meningkatkan kualitas ruhani, agar keinginan
yang diharapkan bisa terkabul. Begitu juga orang yang beri’tikaf, mereka
berharap dengan ibadah-ibadah yang dilaksanakan pada saat I’tikaf tersebut bisa
melebur dosa dan kesalahan yang ada. Allah berfirman, “… Sesungguhnya
perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang
buruk …”. (QS. Hud: 114).
Perbedaan Antara Bertapa
Dan Beri’tikaf;
Kalau kita memperhatikan
pengertian I’tikaf dari sisi bahasa, maka kita akan menjumpai beberapa
persamaan antara I’tikaf dengan bertapa. Tapi kalau kita memperhatikannya dari
sisi syari’atnya, maka sungguh berbeda antara I’tikaf dengan bertapa, meskipun
sebagian orang yang melakukan pertapaan merasakan hasil yang mirip dengan hasil
yang dicapai oleh orang yang beri’tikaf.
Adapun beberapa perbedaan
antara keduanya adalah sebagai berikut.
1. lbadah dengan bukan
ibadah;
I’tikaf adalah bagian dari
ibadah yang telah disunnahkan oleh Rasulullah SAW. terutama I’tikaf pada
sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan, sebagaimana isi hadits yang telah
disampaikan Aisyah. Sedangkan bertapa bukanlah bagian ibadah yang disyari’atkan
lslam. Apalagi bila pertapaan itu dilakukan dalam waktu beberapa jam atau
beberapa hari, dengan meninggalkan shalat dan ibadah wajib lainnya. Dan dewasa
ini masih banyak saudara-saudara kita seislam yang melakukan pertapaan dengan
tujuan dan maksud tertentu. Mereka lebih suka bertapa di tempat-tempat yang dianggap
keramat daripada I’tikaf di masjid.
2. Niat mencari kesaktian,
bukan mencari pahala;
Sebagaimana yang tertulis
dalam beberapa buku yang menjelaskan tentang ilmu kesaktian dan kadigdayaan,
mayoritas orang muslim yang melakukan pertapaan, niat utamanya adalah mencari
kesaktian. Mengharap datangnya bisikan ghaib atau wangsit. Sedangkan orang yang
I’tikaf niatnya adalah mendekatkan diri kepada Allah dan mencari pahala atau
balasan dari-Nya. Bukan kesaktian dan kadikdayaan yang mereka cari, tapi
ketaqwaan kepada Allah. Karena Allah telah menyatakan bahwa orang yang paling
mulia adalah yang paling bertaqwa, bukan yang paling sakti.
3. Tujuannya mendapatkan
wangsit, bukan mendapatkan petunjuk;
Kalau kita mau berkunjung
ke tempat-tempat yang dianggap keramat di penjuru negeri ini, niscaya akan kita
dapatkan beberapa orang yang malah berhari-hari menetap di tempat tersebut.
Mereka datang bukan untuk kunjungan sejarah atau wisata daerah, tapi untuk
memburu wangsit dan bisikan ghaib yang ada di tempat tersebut. Mereka bertapa
dan merapal (mewirid) bacaan atau mantra tertentu dan disertai dengan bawaan
(sesajen) khusus.
Sedangkan orang yang
beri’tikaf tujuannya adalah mencari dan mengharap petunjuk dari Allah. Dalam
I’tikafnya, mereka melaksanakan shalat, membaca al-Quraan dan menelaah isi dan
maknanya, memahami pesan-pesan yang terkandung di dalamnya. Membaca
dzikir-dzikir yang telah diajarkan Rasulullah SAW. membaca buku dan mengkaji
ilmu keislaman, sehingga ilmu keagamaannya bertambah. I’tikaf baginya berfungsi
untuk perbaikan diri dan pembekalan ilmu untuk hidup yang akan datang.
4. Di masjid, bukan di
tempat yang dianggap keramat;
Tidak ada tempat lain bagi
orang yang melaksanakan I’tikaf, selain masjid. Sebagaimana yang difirmankan
Allah SWT. “… Dan anganlah kamu campuri mereka itu (isteri), sedang kamu
beri’tikaf dalam masjid …”. (QS. al-Baqarah: 187). Sedangkan tempat bertapa
biasanya adalah tempat-tempat yang dianggap keramat. Seperti kuburan
tokoh-tokoh besar, makam-makam kuno, di bawah pohon-pohon besar, pinggiran
sungai atau laut, sekitar air terjun, goa-goa atau bukit-bukit, gunung-gunung
dan hutan belantara, dan tempat lain sejenisnya.
5. Sunnah Rasul, Sunnah
Leluhur;
I’tikaf adalah sunnah
Rasulullah yang selalu beliau lakukan semenjak beliau hijrah ke Madinah, sampai
akhir hayat beliau. Beliau juga mengajak keluarga dan isteri-isterinya untuk
melakukan I’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Begitu juga
para shahabat-shahabatnya serta generasi yang datang sesudahnya, mereka suka
melakukan I’tikaf, bahkan banyak di antara mereka yang menjadikan I’tikaf
sebagai obyek nadzar.
Sedangkan bertapa bukanlah
sunnah Rasulullah SAW. Semenjak beliau diangkat sebagai nabi dan rasul, beliau
tidak pernah melakukan pertapaan sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang
lslam dewasa ini. Kalau bertapa bukan sunnah Rasulullah, berarti itu adalah
sunnah syetan. Orang yang beribadah dengan cara bertapa, berarti ia mendekatkan
diri kepada syetan. Apabila ia mendapat kekuatan atau kesaktian pasca
bertapanya, itu adalah kekuatan syetan. Kalau ia mengaku mendapatkan wangsit saat bertapa, itu adalah
wangsit syetan dan bukan petunjuk Allah.
Dengan demikian, kini
bukan saatnya lagi kita mencari petunjuk Allah dengan cara bertapa. Apabila
ingin meningkatkan ketajaman spiritual, bukan dengan jalan bertapa. Apabila
ingin mencari ketenangan batin, bukan dengan cara bertapa. Apabila ingin
menghilangkan stress dan melakukan releksasi, bukan bertapa medianya. Tapi,
I’tikaf. Ya…, I’tikaf. karena dalam I’tikaf kita bisa berhubungan langsung
dengan Allah, secara lebih intens dan konsentrasi penuh. Sinyalnya tidak
terganggu dengan hiruk pikuk keduniawian.
Dalam I’tikaf, kita bisa
shalat, puasa, dzikr, baca al-Qur’an, belajar ilmu-ilmu agama, untuk
mendekatkan diri kepada Allah dan memohon tambahan petunjuknya. Kalau sudah ada
I’tikaf, kenapa masih bertapa?
6. Bertapa Membahayakan
Jiwa sedang I’tikaf Tidak;
Bertapa dengan tidak makan
dan tidur berhari-hari dengan bersemedi ditempat yang terpencil dan berbahaya
(didalam gua, dekat jurang, dipinggir laut yang dalam) dapat membahayakan jiwa,
sedangkan I’tikaf sangat aman sebab tidak ada larangan tidak tidur atau makan
berhari-hari atau ditempat yang ekstrim. Contoh kasus bertapa yang meman korban
jiwa, bisa dibaca pada artikel dibawah ini.
Dikutip dari sini;
Pria tak beridentitas yang
diperkirakan seorang pertapa ditemukan tewas mengenaskan. Selain sudah
membusuk, sebagian tubuhnya sudah tak berbentuk lagi karena dagingnya
mengelupas.
Pria yang diperkirakan
berusia 35 tahun itu ditemukan di tepi laut dan diduga sebagai pertapa karena
ditemukan di bibir Goa Cina, yang berlokasi di tepi pantai selatan, Dusun
Rowoterate, Desa Sitiarjo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang.
Diperkirakan, korban tewas akibat kelaparan setelah berhari-hari menjalani
tirakat batin (pasa ngembleng/ tanpa makan dan minum).
Saatnya Beri’tikaf bukan
Bertapa;
I’tikaf disunnahkan tidak
hanya di bulan Ramadhan saja, ia juga bisa dilakukan pada bulan-bulan lain.
Hanya saja ketika dalam bulan Ramadhan anjuran I’tikaf lebih ditenkankan lagi,
terutama di sepuluh hari terakhir pada bulan suci tersebut. Dalam sebuah hadits
dijelaskan. Aisyah berkata, “Apabila Rasulullah memasuki sepuluh hari terakhir
(bulan Ramadhan), beliau menghidupkan malamnya, membanngunkan keluarganya,
mengencangkan ikat pinggangnya (meningkatkan ibadahnya dan menjauhi
isterinya).” (HR. Muslim, no. 2008, Bab I’tikaf).
Kita memerlukan waktu
untuk melepas kepenatan yang selama ini cenderung menumpulkan ketajaman
spiritual kita. Kita butuh waktu untuk menjauhi rutinitas kerja yang selama ini
berpotensi mengotori kebersihan hati. Kita perlu waktu untuk beristirahat
beberapa saat dari beban-beban yang terpanggul dalam pundak kita. Kita harus
punya waktu untuk mengistirahatkan mata, telinga, mulut dan anggota badan
lainnya dari gesekan dan percikan kemaksiatan yang bertaburan di sekitar kita.
Dan waktu yang kita maksud di sini adalah waktu I’tikaf, bukan bertapa.
Bulan Ramadhan adalah
momentum yang sangat tepat untuk melakukan I’tikaf. Berbulan-bulan lamanya,
tenaga dan pikiran kia diporsir untuk kegiatan dakwah dan rutinitas lerja
sehari-hari. Sekarang tibalah saatnya untuk mengevaluasi sejauh mana
keberhasilan dakwah yang sudah kita lakukan. Merenungkan kegiatan sehari-hari
yang terus melaju seakan tak mau berhenti, apakah semuanya itu dalam rangka
ibadah kepada Allah atau malah menjauhkan kita dari Allah.
Berbulan-bulan lamanya,
tenaga dan pikiran kita terkuras untuk berbagai macam aktifitas. Bukankah
sekarang tiba saatnya untuk rehat sejenak, mengisi ulang perbendaharaan
keilmuan kita, memulihkan stamina dan mengatur strategi kembali, demi
kesuksesan dan keberhasilan aktifitas di masa yang akan datang. Pada bulan suci
ini, kita bersihkan hati dari berbagai macam kotoran yang bisa merusak atau
melumpuhkan motor tujuan hidup yang sejati, kita bekali diri dan kita menyusun
strategi kembali, dengan melaksanakan I’tikaf beberapa hari.
Dalil Disyari’atkan
I’tikaf;
Allah berfirman, “Dan
janganlah kamu campuri mereka itu (isteri-isteri), sedang kamu beri’tikaf.”
(QS. Al-Baqarah: 187). Dan beberapa riwayat berikut menjelaskan bahwa
Rasulullah SAW. telah menjadikan I’tikaf sebagai ibadah tahunan, yaitu pada
waktu memasuki sepuluh hari terakhir dalam bulan Ramadhan. Begitu juga keluarga
dan para shahabatnya. Dan seharusnya kita juga.
Abu Hurairah berkata, “Di
setiap bulan Ramadhan, Rasulullah senantiasa beri’tikaf selama sepuluh hari.
Dan pada tahun beliau meninggal, beliau beri’tikaf selama dua puluh hari.” (HR.
Bukhari, no. 1903).
Aisyah berkata: “Bahwasanya
Rasulullah senantiasa beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan
hingga beliau wafat, kemudian para isterinya juga beri’tikaf sepeninggal
beliau.” (HR. Bukhari, no. 1886).
Hukum I’tikaf;
lbnul Mundzir berkata:
“Para ulama’ sepakat bahwa I’tikaf hukumnya sunnah, tidak diwajibkan bagi
manusia kecuali yang mewajibkan diri, dengan bernadzar misalnya”. Lmam Ahmad
berkata: “Yang saya ketahui, bahwa tidak seorang pun dari ulama yang tidak
mengatakan bahwa I’tikaf hukumnya sunnah”.
lmam Malik berkata:
“Kenapa kaum muslimin banyak yang meninggalkan ibadah ini, padahal Rasulullah
tidak pernah meninggalkannya (di bulan Ramadhan)”. lbnu Syihab berkata: “Sikap
orang-orang muslim sungguh mengherankan, mereka meninggalkan I’tikaf, padahal
Rasulullah tidak pernah meninggalkannya sejak hijrah ke Madinah sampai
wafatnya”. (Fathul Bari: 4/285).
Syarat-Syarat I’tikaf
1. Niat, berdasarkan
hadits, “Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung niatnya, dan sesungguhnya
bagi setiap orang apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
2. Puasa, menurut lmam
Malik dan Abu Hanifah. Berdasarkan hadia dari Aisyah, “Barangsiapa beri’tikaf,
maka hendaklah ia puasa.” (HR. Abdur Razaq dengan sanad shahih). lbnu Qayryim
berkata, “Belum pernah ada keterangan dari Rasulullah, bahwasanya beliau
I’tikaf dalam kondisi tidak puasa.” Sedangkan lmam Syafi’i berpendapat: “Puasa
bukanlah syarat sahnya I’tikaf”. Berdasarkan hadits, “Sesungguhnya Umar
bernadzar untuk I’tikaf semalam, lalu Rasulullah menyuruhnya untuk menepati nadzarnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim). Waktu malam bukanlah waktu puasa, kalau puasa itu
menjadi syarat sahnya I’tikaf, tentu Rasulullah menyeru Umar untuk berpuasa
dalam I’tikaf malamnya.
3. Berada di masjid,
dengan niat taqarrub kepada Allah dan berdiam diri disitu. lbnu Hajar berkata:
“Masjid merupakan syarat sahnya I’tikaf.” (Fathul Bari: 4/277).
4. Tidak mengumpuli
istrinya. Allah berfirman, “Dan janganlah kamu campuri mereka itu
(isteri-isteri), sedang kamu beri’tikaf.” (QS. Al-Baqarah: 187).
Kriteria Orang Mau
Beri’tikaf;
Orang yang memenuhi syarat
untuk I’tikaf adalah muslim, mukallaf mumayyiz dan berakal (akil baligh), suci
dari hadats (jinabat, haidh, nifas).
Tempat Dibolehkannya
I’tikaf;
Para ulama’ berbeda
pendapat seputar Masjid yang memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai tempat
I’tikaf:
1. Tidak boleh I’tikaf
kecuali di 3 masjid; Masjidil Haram, Masjidin Nabawi, Masjidil Aqsha. Pendapat
ini disampaikan oleh Hudzaifah dan Sa’id bin Musayyib.
2. Boleh di setiap Masjid.
lnilah pendapat lmam Syafi’i, lmam Ahmad, lmam Abu Hanifah, dan lmam Tsauri.
Hanya saja lmam Abu Hanifah membolehkan wanita yang beri’tikaf di masjid
(mushalla) rumahnya.
3. Hanya di masjid yang
dipakai shalat jum’at. Inilah pendapat lmam Malik. Karena kalau dalam hari-hari
I’tikaf itu ada hari Jum’at, maka ia tidak perlu meninggalkan tempat I’tikafnya
untuk keluar melaksanakan shalat Jum’at.
Waktu Masuk I’tikaf
(Memulainya)
1. Apabila niat I’tikaf
berhari-hari, maka masuk masjidnya sebelum terbenamnya matahari (menurut lmam Malik,
lmam Syaf i, lmam Abu Hanifah). Tapi bila hanya sehari, lmam Syafi’i
berpendapat: “Masuknya sebelum terbit Fajar dan keluarnya setelah terbenam
matahari.”
2. Masuknya sebelum
terbitnya fajar, untuk sehari atau sebulan sama saja (menurut lmam Laits dan
lmam Zufar).
3. Apabila I’tikafnya
malam hari, masuknya sebelum terbenamnya matahari. Apabila I’tikafnya siang
hari, masuknya sebelum terbitnya Fajar (menurut lmam Abu Tsaur).
4. Masuknya setelah shalat
Shubuh, baik I’tikaf malam atau siang (menurut lmam Auza’i).
Waktu Keluar I’tikaf
(Mengakhirinya)
1. Bagi yang I’tikaf 10
hari terakhir bulan Ramadhan keluarnya setelah shalat ‘Ied, tapi jika keluar
setelah terbenamnya matahari tidak apa-apa (menurut lmam malik). Sedangkan lmam
Syafi’i, Abu Hanifah berpendapat “Waktu keluarnya setelah terbenamnya
matahari”.
2. Bila kembali ke rumah
sebelum shalat ‘Ied, maka rusaklah I’tikafnya (menurut lmam Syahnun dan lbnu
Majisun).
Ibadah Yang Dianjurkan
Dalam I’tikaf;
Tidak semua jenis ibadah
boleh dilakukan oleh seseorang saat beri’tikaf. Apalagi kalau ibadah tersebut
pelaksanaannya harus keluar dari tempat I’tikaf. Lbadah yang dianjurkan adalah,
shalat, membaca al-Qur’an, dzikrullah, belajar ilmu (membaca buku-buku islami).
Kegiatan Yang Dibolehkan
Dalam I’tikaf;
Selain ibadah di atas, ada
kegiatan lainnya yang manusiawi dan merupakan kebutuhan manusia, dan itu tetap
dibolehkan dan tidak membatalkan I’tikaf. Keluar untuk buang hajat, seperti
buang air besar atau kecil. Menyisir rambut atau merapikannya. Memakai wewangian,
mandi, mencuci baju atau memotong rambut atau kuku. Membawa kasur atau bantal.
Kegiatan Yang Membatalkan
I’tikaf;
Keluar dari masjid dengan
sengaja tanpa ada udzur yang dibolehkan. Murtad. Gila, karena akalnya tidak
berfungsi, begitu juga mabuk. Haidh dan Nifas. Bersetubuh dengan isterinya.
I’tikafnya Seorang Wanita;
Wanita diperbolehkan
I’tikaf, berdasarkan riwayat, “Bahwasanya Rasulullah senantiasa beri’tikaf pada
sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan hingga wafat, kemudian para isterinya
juga beri’tikaf sepeninggal beliau.” (HR. Bukhari). Pada dasarnya I’tikaf
wanita sama dengan I’tikaf laki-laki, hanya saja perlu diperhatikan rambu-rambu
berikut ini:
1. lzin ke suaminya, bila
wanita tersebut sudah bersuami.
2. Wanita lebih utama
kalau I’tikaf di masjid rumahnya (menurut Abu Hanifah). Kalau di masjid umum,
diutamakan yang tempatnya paling dekat dengan rumahnya, dan ada tempat khusus
perempuan.
3. Jika dia haidh atau
nifas, maka otomatis I’tikafnya batal. Dan boleh baginya untuk melanjutkan lagi
jika sudah suci.
4. Hendaklah tidak
sendirian, tapi ada wanita lain yang menemaninya.
Keutamaan I’tikaf;
Tidak ada satu riwayat pun
yang shahih dan menjelaskan secara langsung tentang keutamaan khusus bagi orang
yang I’tikaf. Tapi ada hadits qudsi yang menjelaskan, “Apabila hamba-Ku
mendekatkan diri kepada-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekat kepadanya sehasta.
Apabila ia mendekat kepada-Ku sehasta, maka Aku akan mendekat kepadanya satu
ba’. Apabila ia mendatangi-Ku dengan berjalan, maka Aku mendatanginya dengan
berlari.” (HR. Bukhari dan Muslim).... HE HE HE . . . EDAN TENAN.:-) SALAM
RAHAYU KANTI TEGUH SLAMET BERKAH SELALU SAUDARA-SAUDARIKU SEMUANYA TANPA
TERKECUALI... SEMOGA POSTINGAN SAYA KALI INI. BISA LEBIH BERMANFAAT
LAGI DARI ARTIKEL-ARTIKEL SEBELUMNYA...
Ttd: Wong Edan Bagu
Putera Rama Tanah Pasundan
http://putraramasejati.wordpress.com
http://webdjakatolos.blogspot.com
Post a Comment