WUJUD BERNAMA MANUSIA Bagian.03
WUJUD BERNAMA MANUSIA Bagian.03
Oleh: Wong Edan Bagu
Putera Rama Tanah Pasundan
Brebes Rabu Tgl 10 Des 2014
Korelasi Perbuatan dan Struktur Jiwa;
Ibnu Sina dalam penjelasannya tentang pengaruh perbuatan
dalam jiwa dan ruh manusia, mengatakan, "Seluruh perbuatan yang dilakukan
oleh manusia merupakan serangkaian aksi dan kualitas yang bergabung dengan jiwa
manusia, karena ruh dan jiwa manusia "berada" di sisi badan dan
pengaruh gerakan dan perbuatan lahiriah badan terhadapa jiwa merupakan sebuah
persoalan yang pasti. Sekarang, apabila aksi dan kualitas prilaku tersebut
telah terserap di dalam jiwa manusia, maka jiwa setelah berpisah dengan badan,
tetap memiliki karakteristik dan sifatnya semula persis seperti ketika dia
masih berada bersama badan. Akan tetapi karakteristik dan sifat dari
perbuatan-perbuatan buruk badan yang telah menjadi bagian dari ruh, akan muncul
sebagaimana sebuah penyakit parah yang terjadi sebagai pengaruh dari kelalaian
jiwa dalam mengatur badan, yang hal ini kemudian menyebabkannya terkena
siksaan, terazab dengan api barzakh yang panasnya melebihi api
jasmani."[1]
Jadi, setiap perbuatan dan prilaku yang dilakukan oleh
manusia akan memberikan pengaruh pada jiwa dan ruhnya, yang kemudian secara
bertahap hal ini akan memberi bentuk dan karakteristik pada jiwa tersebut. Pada
persoalan ini kami akan menukilkan sebuah misal yang telah terbukti secara
ilmiah.
Untuk pertama kalinya seorang anak yang terlibat dalam
kasus pencurian kecil-kecilan, dengan secara sembunyi-sembunyi dan sangat
hati-hati dia telah mengambil sejumlah uang dari dompet seseorang. Apabila kita
amati tingkah laku anak ini dengan seksama, maka kita akan menemukan wajah,
tingkah dan gerakan-gerakan tidak wajar yang menghikayahkan gejolak yang
terjadi di dalam jiwanya. Akan tetapi, apabila dia melakukan hal ini untuk
kedua kalinya, gejolak jiwa yang semula tetap senantiasa ada, akan tetapi
dengan kualitas yang lebih rendah, tidak separah pada kejadian pertama.
Demikian seterusnya, apabila dia secara terus menerus mengulangi perbuatannya,
secara bertahap perbuatan mencuri sudah merupakan hal yang biasa baginya, dia
akan melakukannya tanpa sedikitpun memiliki rasa takut ataupun gelisah. Semakin
banyak dia melakukan aksi pencurian, yang berarti akan semakin menambah
keahliannya dalam bidang ini, dia akan mendapatkan hasil yang semakin banyak
pula, lama-kelamaan perbuatannya akan mengarahkannya pada perampokan bank dan
pembunuhan, sedemikian sehingga ketika tidak berhasil melakukan pembunuhan dia
akan merasa gelisah dan gagal. Sekarang yang harus diperhatikan, "pencabut
nyawa" ini yang tidak lain adalah si anak yang ketika mencuri beberapa
ratus rupiah diliputi dengan ketakutan dan gejolak jiwa yang luar biasa, tetapi
sekarang, dia telah berubah menjadi sosok yang mampu membunuh dan merenggut
nyawa orang lain dengan perasaan yang sangat tenang.
Perubahan yang sangat ajaib ini, merupakan sebuah hasil
dari perbuatan dosa, maksiat, dan pelanggaran-pelanggaran moral yang dia
lakukan secara berulang-ulang.
Jadi, amal dan perbuatan manusia, secara bertahap dan
alami akan memberikan bentuk kepribadian baginya. Sebenarnya, setiap manusia
akan membentuk dirinya dengan amal dan perbuatannya. Dalam salab satu hadits,
Imam Shadiq as bersabda, di dalam hati setiap mukmin terdapat sebuah titik
putih yang secara bertahap karena pengaruh amal dan perbuatannya, akan berubah
menjadi gelap dan menghitam. Ketika warna hitam telah melingkupi dirinya, maka
manusia tersebut akan menjadi bagian dari ayat, "Allah telah mengunci-mati
hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup, dan bagi mereka
siksa yang Amat berat".[2]
Perbuatan dan prilaku harian memberikan refleksi-refleksi
yang khas bagi jiwa manusia dan memakaikan "baju" pada jiwa yang tak
lain adalah badan barzakh bagi manusia, yaitu dengan amal dan perbuatan,
manusia akan membentuk badan barzakhnya. Manusia ketika terlahir ke dunia, sama
sekali tidak memiliki peran dalam membentuk fakultas diri dan juga cantik atau
buruknya, dan Sang Maha Pencipta telah mensketsa semua ini untuknya. Jadi,
manusia terlahir ke dunia tanpa memiliki interfensi dan campur tangan serta
pengawasan mengenai bentuk dirinya. Akan tetapi, ketika hendak meninggalkan
dunia, dia memiliki bentuk dan wajah yang terbentuk karena campur tangannya dan
bisa dikatakan bahwa bentuk tersebut merupakan hasil dari perbuatan dan prilaku
manusia di dunia. Ghibah, mencela, berbohong, dan memandang non-mahram, akan
meninggalkan warna hitam di dalam kalbu manusia dan menghilangkan cahaya dan
sinar kalbu tersebut. Secara bertahap, dikarenakan pengaruh berkumpulnya
perbuatan-perbuatan tersebut, akan muncul figure dan bentuk pada jiwa, dan akan
menciptakan manusia dalam bentuk yang sesuai dengan akhlak dan tingkah laku
yang telah dihasilkannya. Imam Khomeini ra beberapa kali mengutarakan masalah
ini dalam kitabnya Cihil Hadits dimana ia mengisyaratkan bahwa amal dan
perbuatan manusia akan memberikan bentuk pada diri manusia, dan orang-orang
yang memiliki mata barzakh mampu melihat begitu banyak wajah-wajah dan
bentuk-bentuk barzakh manusia.
Dalam sebuah hadits dinukilkan, seorang sahabat Imam
ketika berada di Mekkah berkata kepada Imam Sajjad As, "Betapa banyaknya
para haji", Imam As mengoreksi perkataan tersebut dan bersabda,
"Betapa banyak orang yang melakukan ibadah haji tapi betapa sedikitnya
haji"[3]. Pada poin inilah Allah swt berfirman, "Tiap-tiap diri
bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya"[4]. Tentunya
satu-satunya jalan untuk tidak terjebak oleh tipuan setan ini adalah kembali ke
jalan yang benar dan menemukan jalan serta kebiasaan hidup dengan melakukan
hubungan dan komunikasi tiada putus dengan Sang Maha Pencipta, dan inilah
satu-satunya jalan yang mampu membersihkan hati yang telah berkarat dan gelap
lalu menghiasinya dengan kesucian penghambaan kepada Sang Tuhan.
Kehidupan manusia, sebagaimana kualitas kematian manusia
(hidup pasca mati) merupakan sebuah jalan yang sangat sensitif. Apabila manusia
berbahagia dan beruntung dalam kehidupannya, maka dia juga akan bahagia dan
beruntung pasca kematiannya. Sebagian manusia akan meninggal dalam keadaan
insani, akan tetapi tak jarang yang meninggalkan dunia ini dengan keadaan
layaknya seekor hewan. Dengan alasan inilah, Para Imam Ahlulbait memerintahkan
memilih bentuk kematian yang baik dan bahagia.
Mula Sadra mengatakan bahwa, "Manusia adalah
substansi-substansi yang berbeda dan mandiri", yakni setiap amal dan
prilaku yang dilakukan oleh manusia akan membentuk hakikat dirinya. Tak satupun
manusia memiliki kualitas yang sama dalam setiap prilaku dan perbuatannya, oleh
karena itu tidak satupun manusia memiliki hakikat wujud yang sama dan
sederajat.
Jika akhir seluruh perbuatan manusia sedemikian
sensitifnya dan senantiasa beriringan dengan bahaya besar seperti ini, berarti
membutuhkan kehati-hatianyang sangat cermat, dan selayaknyalah kita tidak
melepaskan diri kita lalu mengorbankan diri kita pada hal-hal yang kabur,
kehidupan yang kosong, penuh khayalan, tipuan, penampakan lahiriah dan jahil
terhadap hakikat eksistensi alam. Poin yang penting untuk mendapatkan perhatian
adalah bahwa hendaklah manusia mengetahui hakikat dirinya. Di manakah tempat ia
berada? Bagaimanakah melaksanakan kewajiban secara benar?
Kesempurnaan Tertinggi;
Ibnu Sina mendefinisikan kesempurnaan manusia sebagai
berikut, "Seorang arif yang berpengetahuan dan telah sampai pada tingkatan
kesucian, ketika dia telah terlepas dari pengaruh materi yang dihasilkan karena
berdampingan dengan badan dan telah berhasil menjauhkan diri dari
keterikatannya, dia akan berjalan dengan ikhlas dan suci ke arah alam qudus dan
akan bersuluk bersama dengan kecintaan abadi pada tingkatan tertinggi
kesempurnaan, dan akan merasakan kelezatan-kelezatan yang lebih tinggi dari
seluruh kelezatan, sebagaimana yang telah kami singgung pada pembahasan
sebelumnya. Jangan menyangka bahwa kelezatan-kelezatan semacam ini tidak akan
mungkin dirasakan di alam materi dan kita akan tetap tidak mampu memilikinya
hingga jiwa tetap berada di tubuh, ketahuilah bahwa mereka yang telah sampai
pada alam suci non-materi, alam akal, dan telah menyaksikan alam jabarut telah
menyaksikan jamaliyah Ilahi dan mengecap tingkatan tertinggi kelezatan
tersebut, karena meskipun mereka masih terkait dengan badan dan jasmani akan
tetapi hati mereka tidak disibukkan oleh usuran dunia dan tidak terpengaruh
oleh, penyaksian-penyaksian jamaliyah alam qudus tersebut telah membuat mereka
menolehkan muka dari segala sesuatu".[5]
Imam Husein As pada hari Asyura, setelah mengucapkan kata
perpisahan dengan para perempuan Ahlulbait dan anak-anak, langsung menuju ke
medan perang seakan tidak pernah melihat peristiwa sebelumnya dan seakan
telinganya tidak mendengar jeritan dan teriakan para perempuan dan anak-anak,
hal ini karena beliau adalah seorang sosok yang mempunyai hubungan erat dengan
alam malakuti dan telah tenggelam dalam kecintaan alam jabarut sehingga seakan
telah lalai dari segala sesuatu selain Allah.
Almarhum Ayatullah Bahauddin menukilkan dengan berkata,
ketika Imam Khomeni Ra datang ke kota Qom ia mendatangi rumahku. Di sana beliau
berkata, Aku merasakan segala sesuatu berada di telapak tanganku dan aku berada
digenggaman kodrat Ilahi. Lalu Ayatullah Bahauddin menambahkan bahwa kami juga
melihat gerak dan diamnya sosok agung ini seluruhnya Ilahi dan apa yang beliau
katakan adalah benar.
Ya, apabila cahaya dari malakut alam memancar kepada wali
Allah, maka dalam sesaat api akan melahap keterikatan dunia dan membakar
seluruh akar-akar pengaruh dunia serta akan mengubah selera manusia terhadap
lahiriah-lahiriah dunia menjadi pahit dan akan mengarahkannya keharibaan Ilahi.
Tentunya mereka juga memanfaatkan aspek-aspek duniawi akan tetapi bukan karena
kebergantungannya padanya, melainkan karena dunia merupakan media gerak ke arah
yang yang lebih tinggi dan seluruh dimensi-dimensi dunia ini harus kita
manfaatkan untuk mencapai tujuan yang lebih suci dan tinggi.
Keburukan dalam Kehidupan Manusia;
Pada masalah ini ada beberapa hal yang perlu dibahas,
yaitu:
Pertama, apakah keburukan terdapat di alam?
Kedua, apabila keburukan terdapat di alam, bagaimana hal
ini bisa terpancar dari Allah yang merupakan Sumber Kebaikan?
Ketiga, apabila terdapat keburukan di alam, lalu apakah
perannya dalam mekanisme kehidupan manusia?
Pembahasan pertama, keburukan mutlak sama sekali tidak
terdapat di alam, melainkan apa yang bisa dikenali dan disebutkan sebagai
keburukan adalah peristiwa yang merupakan kemestian alami dari dunia materi
ini, realitas di alam ini saling berbenturan dimana kadangkala keberadaan yang
satu menuntut ketiadaan yang lainnya, meskipun keberadaan keduanya akan membawa
ribuan pengaruh yang bermanfaat, dan mungkin bisa dikatakan bahwa dengan
ketiadaan keduanya akan begitu banyak kerugian yang akan dirasakan oleh
manusia.
Sebagai contoh, api meskipun kadangkala mampu melahap
rumah dan fasilitas hidup lainnya, akan tetapi kita mengetahui bahwa kehidupan
manusia tidak akan bisa bertahan tanpa adanya api, karena api merupakan
kebutuhan prinsipil dalam kehidupan manusia. Jadi, kita tidak bisa mengatakan
api sebagai sesuatu yang buruk secara mutlak, meskipun banyak kejadian-kejadian
yang menghikayatkan bahwa api mampu melahap dan membakar bahkan kadangkala
lebih dari satu kota dalam satu waktu sekaligus. Demikian pula halnya dengan
air, tanah, angin, dan sebagainya, bisa jadi merupakan sumber
peristiwa-peristiwa yang mengerikan, akan tetapi tidak satupun dari realitas
alam ini yang buruk mutlak.
Penjelasan kedua, dengan melihat penjelasan pertama maka
jawaban untuk persoalan kedua akan menjadi jelas. Tuhan mewujudkan api, tanah,
air, dan sumber-sumber alam lainnya tidak lain sebagai rahmat dan
kemuliaan-Nya, sedemikian hingga apabila unsur-unsur alam tersebut tidak
tercipta, maka realitas yang bernama alam dunia tidak akan pernah terwujud
secara eksternal.
Penjelasan ketiga, Allah swt telah menciptakan alam dunia
ini sedemikian rupa dimana dasar penciptaannya terletak pada adanya saling
benturan dan pertempuran. Dunia ini begitu sempit dan kecil, dan Allah
menciptakan dunia ini sebagai kehidupan yang sulit bagi manusia untuk
memberikan pemahaman kepadanya bahwa dunia ini bukanlah tempat kehidupan abadi,
sebagaimana sabda Amirul Mukminin Imam Ali As dalam Nahjul Balaghah,
"Sesungguhnya Aku menciptakanmu untuk akhirat bukan untuk dunia"
Sesungguhnya manusialah yang harus belajar dari adanya
konflik-konflik, dan memerangi seluruh kesulitan dan berdiri tegak dalam
menghadapi benturan-benturan yang menghadangnya, harus senantiasa tinggal pada
batas garis yang lurus dan membentuk dirinya dengan usaha untuk tetap bertahan.
Tidak seharusnya dia menyerah pada gelombang badai yang menyerang dari dalam
dan dari luar manusia, dan pertahanan laksana gunung agung dalam kepribadian
manusialah yang seharusnya menampar gelombang tersebut untuk mengembalikannya
pada kedudukannya semua dan dia semantiasa tegak dan berdiri di atas kakinya
dan menambah kekuatan dan keagungannya.
Dia harus bersyukur dan memuji Allah swt yang telah
memberikan taufik-Nya dengan segala kelebihan-kelebihannya dan mengetahui kedudukannya
dan tidak menyerah pada gelombang yang hangar bingar yang menampakkan diri pada
permukaan eksternal dalam mekanisme keberadaannya, melainkan dia mengetahui
kedalaman samudra yang sangat tenang dan menyerahkan ketenangan hatinya
kepadanya dan dia akan mengubah dirinya menjadi lebih agung dari samudera dan
lebih kokoh dari gunung-gunung, bahkan tinggi dari langit-langit. Dan
konflik-konflik inilah yang akan membuat dan membentuk manusia semakin kuat dan
memiliki peran sebagai pembentuk yang abadi.
Konklusi Makrifat Jiwa;
Dalam mekanisme penciptaan, setiap maujud senantiasa
berhadapan dengan hidayah dan petunjuk yang beragam dimana kelanjutannya adalah
gerak menuju ke arah tujuan dan maksud yang telah tertentu. Gerak dan petunjuk
ini, begitu cermatnya sehingga setiap ilmuwan yang mempunyai spesialisasi dalam
sebuah bidang khusus, dengan pandangannya yang cermat terhadap tema-tema
spesialisasinya akan mampu menganalisa garis geraknya, dan dia akan
mengamatinya dengan sangat teliti dari tahapan awal hingga tujuan terakhir,
kemudian akan menyimpulkan dengan baik bahwa hidayah takwini (tata-cipta)
Ilahi, melingkupi setiap detik dari langkah-langkahnya dan memenuhi seluruh
partikel-partikel wujudnya.
Tiga masalah penting, gerak, hidayah, dan spesifikasi
telah ditentukan untuk seluruh maujud dan makhluk-makhluk dunia penciptaan.
Almarhum Alamah Thabathabai[6] sepakat bahwa setiap gerak dari yang kecil
hingga yang sangat besar dari mekanisme eksistensi, apabila diperhadapkan
dengan titik tujuannya seakan telah terdapat garis yang terlukis disana, dan
setiap manusia yang berfikir, mampu mengantisipasi dari permulaan setiap maujud
hingga batas garis akhirnya. Sebagaimana yang telah kami katakan sebelumnya,
Allah swt telah menciptakan mekanisme mendetail ini dalam bentuk kecil maupun
besar, dan hidayah itu sendiri bertanggung jawab terhadap lingkaran wujud.
Al-Quran dalam penjelasannya mengenai masalah ini berfirman, "Dan yang
menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk"[7] dan juga berfirman,
"Musa berkata: "Tuhan Kami ialah (tuhan) yang telah memberikan kepada
tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk"[8],
dan Dia juga menciptakan paling baiknya bentuk, lalu Dia memberikan hidayah
kepada seluruhnya dalam garis yang teratur. Ustadz Allamah Thabathabai dalam
tafsir al-Mizan, menjabarkan tema yang sama di bawah ayat tersebut dengan
mengatakan bahwa dunia penciptaan merupakan paling baiknya mekanisme dan berada
dalam kepengaturan Ilahi, tidak ada sesuatupun yang akan terwujud tanpa adanya
tujuan dan maksud dan setiap gerak akan berjalan ke arah kesempurnaan dengan
perhitungan yang khusus, sebagaimana yang difirmankan dalam al-Quran,
"Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat
mendahului siang, dan masing-masing beredar pada garis edarnya".[9]
Ya, ini merupakan kaidah yang berlaku di antara seluruh
eksistensi dan manusia pun tidak terkecualikan dari kaidah agung ini, bahkan
bisa dikatakan bahwa mekanisme struktur manusia memiliki kelebihan yang menakjubkan
dimana hal ini telah disusun dan dibentuk untuk bergerak ke derajat dan tujuan
tertinggi, sebuah tujuan yang tak ada satu eksistensi yang mampu bergerak ke
arahnya kecuali eksistensi manusia yang luar biasa ini.
Banyak hadits dan ayat-ayat yang memperkenalkan bahwa
tujuan dan maksud penciptaan manusia berada pada tingkatan paling tinggi dan
paling menakjubkan dari segala keberadaan, sebuah tujuan yang sesuai dengan
kualitas penciptaan manusia. Pada hari penciptaannya, malaikat diperintahkan
untuk bersujud kepadanya, seakan para malaikat pada permulaannya hanya
memperhatikan dimensi kemateriannya, mereka melihat manusia tidak layak untuk
diciptakan, oleh karena itu mereka berkata kepada Allah, "Mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau?"[10]. Mereka tidak memperhatikan dimensi
malakuti manusia yang "Dan Aku tiupkan ke dalamnya ruh", dan mereka
tidak mengetahui bahwa manusia adalah sebuah eksistensi yang dalam
penciptaannya terdapat interfensi dari alam materi hingga alam malakut, dari
asfalus-safilin hingga a'la 'aliyyin dan aspek malakutinya bersumber dari ruh
Ilahi.
Manusia merupakan percampuran dari seluruh hakikat alam
yang berlainan, mulai dari tahapan materi pertama hingga derajat tertinggi
malakuti berbaur di dalam dirinya, yaitu dia berjalan dari materi pertama
hingga tingkatan tumbuhan, dan dari alam hewan hingga kesempurnaan insani,
semuanya menyatu dalam wujudnya dan dia mengetahui seluruh informasi alam.
Sementara eksistensi-eksistensi lain tidaklah demikian.
Dengan alasan inilah, sehingga manusia mampu menjadi
pengajar para malaikat dan kita melihat bahwa al-Quran menjelaskan tentang kelemahan
malaikat serta pengakuan mereka terhadap ketidaktahuan mereka, dan para
malaikat mengatakan, "Mereka menjawab: "Maha suci Engkau, tidak ada
yang Kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami;
sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana"[11],
dengan demikian mereka berkewajiban bersujud di hadapan manusia, dan malaikat
yang menemukan kebersatuan dengan jiwa manusia mendapatkan ilmu pengetahuan dan
kesempurnaan yang begitu banyak. Manusia yang berada dalam tingkatan
pertumbuhannya pun melakukan hubungannya dengan malaikat non-materi dan bisa
jadi malah akan bisa melampauinya.
Meskipun manusia memiliki kedudukan tinggi dan agung,
akan tetapi perjalanan geraknya tidak pernah tanpa penghalang, para setan duduk
manis untuk menggoda manusia dan mendorongnya ke arah jurang yang terjal. Dia
berusaha dengan usaha penuh untuk menghancurkan dan menggagalkan manusia. Oleh
karena itu, manusia dalam sepanjang kehidupannya, berada dalam sebuah medan
perlawanan yang riil, dan tentunya dalam pergumulan dan perlawanan inilah akan
tersedia media bagi pertumbuhan manusia, karena jika hanya ada gerak satu arah
dan tidak ada gerak ke arah yang berlawanan serta perjalanan yang bertentangan,
maka pertumbuhan dan kesempurnaan tidak akan pernah terwujud. Dengan alasan
inilah sehingga Tuhan senantiasa mengingatkan kepada manusia dari makar dan
tipuan musuh dan penggoda manusia ini, dan menyarankan kepada mereka untuk
memusatkan kekuatan dan konsentrasinya dalam geraknya menuju mekanisme alam
malakuti dan alam suci Ilahi. Hindarkan diri kalian dari pengaruh materialisme.
Jangan jual diri kalian dengan kelezatan-kelezatan inderawi. Letakkan seluruh
fakultas dan kecenderungan kalian untuk mencapai kesempurnaan, dan dalam
perjalanan ini jangan sekali-sekali berhenti pada satu derajat.
Allah Swt mendorong manusia untuk melintasi perjalanan
ini dan memberi janji-janji yang agung kepada mereka, dan berfirman, "Dan
tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main, dan
sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka
mengetahui"[12].
Pada ayat yang lain Alllah Swt berfirman, "Tak
seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang
sebagai Balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan"[13].
Jika sebagian dari kelezatan-kelezatan batin, lebih
penting dan lebih diprioritaskan dari syahwat, perut, dan seluruh instink, maka
yakin bahwa kelezatan-kelezatan malakuti pasti tidak akan bisa dikomparasikan
dengan kelezatan-kelezatan material. Para psikolog modern pun membahas sebagian
dari masalah ini dan mengatakan bahwa antara kelezatan-kelezatan jasmani dan
jiwa terdapat perbedaan yang sangat tajam. Di antaranya adalah bahwa
kelezatan-kelezatan jasmani, berkaitan dengan anggota-anggota badan tertentu,
misalnya berhubungan dengan penglihatan, pendengaran atau penciuman, akan
tetapi kelezatan-kelezatan ruh tidak seperti ini, kelezatan jenis ini lebih
bersifat mencakup dan meliputi seluruh wujud manusia. Seperti kelezatan seorang
ilmuwan setelah menemukan masalah-masalah ilmiah.
Selain itu, kelezatan jasmani, membutuhkan penggerak dari
luar, seperti pemandangan yang indah, suara yang merdu, dan …, akan tetapi
kelezatan ruh, muncul dari persepsi internal manusia, seperti pemahaman masalah
ilmiah atau perasaan menang. Yang lainnya adalah, kelezatan-kelezatan inderawi
seperti perasa, pendengaran, dan penglihatan tidak akan bertahan lama dan akan
cepat mengalami kerusakan, akan tetapi kelezatan ruh bertahan lama. Sebagaimana
sakit-sakit jasmani yang bisa disembuhkan, akan tetapi penyakit ruh tidak dengan
mudah bisa disembuhkan. Sebagaimana dikatakan bahwa luka yang disebabkan oleh
lidah lebih dalam dari luka yang disebabkan oleh pedang.
Jadi, menjadi jelas bahwa selain kelezatan-kelezatan
jasmani, terdapat kelezatan-kelezatan lain yang lebih kuat, yang tak lain
adalah kelezatan-kelezatan ruh dan jiwa. Sekarang bisa diketahui bahwa apabila
kelezatan-kelezatan akal ini dimanfaatkan, maka hasilnya sama sekali tidak bisa
dikomparasikan dengan kelezatan-kelezatan jasmani dan khayalan. Adalah sama
sekali tidak benar pernyataan para materialistis yang mengatakan bahwa orang
yang tidak terpenuhi kebutuhan makan, tidur, dan instinknya maka dia adalah
orang yang malang dan tidak beruntung. Apakah kelezatan maknawi, spiritual, dan
Ilahi yang dimiliki oleh para malaikat bisa dibandingkan dengan
kelezatan-kelezatan rendah binatang? Apakah persepsi dari tingkatan syuhud,
sifat, dan asma Tuhan bisa diperhadapkan dengan rasa segenggam gula, sepotong
roti, atau pemandangan yang indah? Tidak sama sekali. Karena perbedaan keduanya
terletak dari tingkatan hewan hingga manusia sempurna yang lebih mempunyai
kedudukan lebih tinggi dari para malaikat. Apabila seseorang kebingungan dalam
batasan ini, maka dia telah keluar dari fitrah insani. Pada dasarnya harus
dikatakan bahwa perbedaan antara kelezatan yang satu dengan yang lainnya
tergantung pada kelebihan yang dimiliki oleh masing-masing. Kelezatan yang
dihasilkan dari mengunyah segenggam gula atau sepotong makanan yang lezat, sama
sekali tidak bisa dibandingkan dengan kelezatan yang dihasilkan dari penemuan
atas sebuah masalah-masalah ilmiah atau penyaksian malakuti, syuhud, atau
interaksi dengan asma dan sifat-sifat Ilahi.
Oleh karena itu, manusia sempurna yang telah terbimbing,
terhidayahi dan bergerak secara lurus dan istiqomah, tidak lain sebagaimana
yang telah diisyarahkan oleh Ibnu Sina dalam bab ke delapan kitab Isyarat, yang
mengatakan, "Kesempurnaan mutlak manusia terletak pada pancaran
manifestasi suci Tuhan di dalam dirinya dan dia tetap dalam kesempurnaan kemuliaan
dan kelezatan Ilahi dengan kebersamaan Tuhan".[14]
Catatan Penutup;
Ilmu dan pengetahuan yang tanpa diiringi dengan
pengamalan atasnya tidak akan terlalu bermanfaat bagi manusia. Manusia yang
menyimpan banyak ilmu dan telah menjadi sebuah perpustakaan luas yang menyimpan
ratusan ilmu dan pengetahuan, apabila seluruh ilmu itu belum menyatu dengan
hakikat manusia, maka ratusan ilmu itu tidak akan mampu menjaga manusia dari
kesalahan dan kekeliruan. Pemilik ilmu-ilmu ini tak ubahnya seperti masyarakat
awam, kepribadiannya bukan kepribadian orang yang berilmu, karena ilmu-ilmu itu
tidak menyatu dengan jiwanya, ilmu-ilmu itu hanya merupakan kumpulan formulasi
yang tersimpan dan terkumpul di dalam benak dan ingatannya.
Ketika seorang alim memanfaatkan ilmunya dan menjadikan
ilmu itu sebagai makanan wujudnya sehingga menyatu dengan hakikat jiwanya, maka
sesungguhnya ia telah membentuk dirinya sebagai pribadi yang berilmu. Maka
seluruh gerak dan diam orang semacam ini menunjukkan pada keilmuannya, dan
makan, tidur, berjalan, bercakap, dan seluruh perilakunya, berbeda dengan orang
awam. Hakikat wujudnya adalah ilmu, sebagaimana yang dikatakan oleh para
filosof, "Jiwa manusia telah menyatu dan meliputi seluruh indera lahiriah
dan indera batiniah yang dimilikinya, jiwanya telah mencakup alam akal, alam
khayal, dan alam materi dan mampu mengontrol seluruh
kecenderungan-kecenderungan wujudnya. Sekarang karena ia telah menjadi menusia
hakiki, maka kelezatan akal tidak hanya dirasakan pada wilayah indera tertentu,
tetapi kelezatan akal ini telah meliputi seluruh wujudnya. Dengan demikian,
wujud manusia ini telah menyatu dengan ilmu, akal, dan seluruh kesempurnaan.
Pada tahapan ini, sosok manusia sempurna ini akan terlindung dari segala
keburukan dunia ini dan tidak akan terjebak dengan kemewahan dan tipu dayanya.
Dia menjalani kehidupannya dengan tenang, bahagia, dan tidak merasakan
sedikitpun kekhawatiran.
Ibnu Sina dalam kitab Isyarat mengatakan, "Jiwanya
telah disibukkan dengan alam suci malakuti dan seakan-akan ia tidak berada di
alam materi lagi dan pengaruh-pengaruh duniawi telah menghilang darinya".
Kemudian ibnu Sina melanjutkan, "Dia memiliki wajah yang riang, lapang,
dan senantiasa tersenyum, karena hatinya telah tertambat pada Tuhan dan dia
melihat segala sesuatu sebagai manifestasi Tuhan". Tentu saja apa yang
dikatakan oleh filosof agung ini merupakan sebuah hikayat yang berhubungan
dengan alam non-materi dan mustahil terkait dengan alam materi ini. Apa yang
mungkin dicapai di alam materi ini, hanyalah gambaran-gambaran dari hakikat,
makrifat-makrifat, dan realitas-realitas alam tinggi non-materi yang didapat
dari manusia yang telah melakukan perjalanan spiritual (seir suluk). Mereka
yang telah memilih alam materi sebagai tempat tinggalnya dan tidak terlepas dari
pengaruhnya, tidak akan mampu melihat manifestasi dan tajalii Tuhan di balik
benda-benda yang ada di alam ini. Penyaksian manifestasi Ilahi ini menuntut
kesucian jiwa dari segala pengaruh materi. Realitas Suci tak berhingga itu
hanya dapat "ditampung" dalam hati mukmin yang telah disucikan dari
segala realitas wujud selain Wajah Suci Tuhan.
D. Pengenalan Manusia Perspektif Islam
Mukadimah;
Para filosof Islam menyepakati bahwa manusa merupakan
hasil penciptaan yang paling sempurna. Dia memiliki seluruh kesempurnaan dan
seluruh tahapan maujud. Yaitu di dalam maujud ini ditemukan seluruh
kesempurnaan dari alam unsur hingga alam non-materi (mujarrad) dan dengan
ibarat lain, substansi manusia merupakan cermin dan gambaran dari seluruh
tahapan eksistensi. Dia juga memiliki seluruh kesempurnaan alam natural,
sebagaimana bisa dikatakan:
1. Seluruh unsur-unsur yang merupakan pembentuk seluruh
substansi maujud beraktifitas di dalam badan manusia;
2. Contoh yang terdapat di dalam mekanisme alam natural
dari yang bersifat empiris, terbagi, dan terkomposisi, aktif di dalam tubuh
manusia;
3. Manusia memiliki seluruh kesempurnaan botani. Yaitu
apa yang terdapat di dalam mekanisme botani seperti berkembang, tumbuh,
penyerapan, dan pencernaan nutrisi, di dalam wujud manusia muncul dalam bentuk
yang lebih sempurna dan lebih mendetail. Para ilmuwan alam Islam mengatakan
bahwa tumbuhan memiliki rangkaian fakultas khusus dalam dirinya, yang
seluruhnya adalah sebagai berikut: 1. Fakultas tumbuh, 2. Fakultas mencerna, 3.
Fakultas menarik, 4. Fakultas menolak, dan 5. Fakultas penyerapan. Dalam
fakultas penyerapan terdapat empat fakultas lainnya, yaitu: a. alat pencernaan,
b. liver, c. kapiler, d. organ tubuh. Setelah mengalami proses pencernaan di
dalam alat pencernaan, makanan akan muncul dalam bentuk dimana melalui enzim
(kelenjar yang terdapat pada alat pencernaan) yang bisa dicerna dan setelah
menyerahkannya kepada liver dan akan merubahnya menjadi darah, pada tahapan
ketiga akan mengalir ke dalam kapiler, dan pada tahapan keempat akan berbentuk
dalam nutrisi untuk perbaikan di dalam perangkat organ. Fakultas lain, 6.
Fakultas kawin yang merupakan pembentuk nutfah, 7. Perangkat berkembang biak,
8. Perangkat pembentuk.
Fakultas Hewani;
Manusia juga memiliki kesempurnaan hewani.
Fakultas-fakultas hewani ini yang terdapat pada seluruh tahapan wujud hewan
secara sempurna juga ada dalam diri manusia. Fakultas-fakultas tersebut antara
lain: 1. ruh bukhari (berbentuk seperti uap), 2. ruh nafsani (psychic spirit),
3. ruh tabiat (natural soul), dan 4. ruh hewani (animal spirit).
Fakultas Insani;
Secara umum manusia mempunyai dua fakultas, yaitu
fakultas eksternal dan internal. Lalu fakultas eksternal dibagi lagi menjadi
lima bagian: penglihatan, pendengaran, perasa, penciuman, dan peraba. Tentunya
para psikolog kontemporer menambahkan indera keenam dan indera tersebut adalah
indera yang bertanggung jawab terhadap perbandingan ukuran. Sementara fakultas
internal manusia antara lain:
1. Indera musytarak (common sense), indera ini bisa
diibaratkan sebagaimana kolam kecil dimana sungai-sungai kecil mengalir ke
arahnya dan seluruh air berkumpul di dalam kolam kecil tersebut, yaitu seluruh
bentuk-bentuk yang ditransmisikan ke otak oleh panca indera di atas berkumpul
di indera pusat ini;
2. Fakultas khayal (representative faculty), fakultas ini
merupakan penyimpan seluruh bentuk-bentuk dan gudang seluruh gambaran. Salah
satu keistimewaan dari indera khayal ini adalah hanya memahami bentuk-bentuk
partikular saja;
3. Fakultas estimasi (wahm, estimative faculty) , yang
mempersepsikan makna-makna partikular, seperti makna persahabatan, permusuhan,
dan lain sebagainya;
4. Fakultas hafalan (faculty of memory), fakultas ini
yang mengarsipkan dan merekam seluruh bentuk-bentuk dan makna-makna partikular
dan setelah berlangsungnya waktu, fakultas ini mampu menghadirkan kembali
bentuk-bentuk dan makna-makna tersebut;
5. Fakultas imajinasi (mutakhayyilah, imagingal faculty),
fakultas ini mampu mengkomposisikan atau memisahkan makna-makna dan
bentuk-bentuk yang berbeda, dan dari pemisahan serta pengkomposisian tersebut
akan memunculkan begitu banyak realitas lain;
6. Fakultas akal dan rasio (faculty intellectual),
fakultas ini yang mempersepsikan makna-makna universal;
7. Fakultas berpikir (mufakkirah, faculty of thought),
dengan fakultas ini bentuk-bentuk rasionalitas menjadi realitas yang empirik
dan memiliki kemampuan membentuk argumentasi dan burhan untuk
persoalan-persoalan yang tak jelas.
Manusia dalam Al-Quran;
Al-Quran secara tegas mengisyaratkan terhadap dua dimensi
manusia yaitu dimensi materi (Sesungguhnya Aku menciptakan manusia dari tanah)
dan dimensi non-materi (dan Aku tiupkan di dalamnya dari ruh-Ku), setelah itu
untuk dimensi non-materi di dalam al-Quran diletakkan beberapa tingkatan dan
derajat. Tingkatan pertama, "Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu
dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur"[15]. Ini tak lain adalah
tingkatan fakultas murni yang dalam lembaran wujud manusia belum sampai pada
tahapan aktual, dan tidak ada sesuatupun yang dia ketahui. Akan tetapi untuk
manusia ini, telah diletakkan fakultas yang tiada akhir yang mampu bergerak ke
arah tak terbatas sehingga menjadi khalifah Tuhan di atas muka bumi. Berfirman,
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:
"Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi"[16] Dari dari hal ini, di antara seluruh ciptaan alam, Tuhan
memberikan kemulian khusus dan kedudukan yang istimewa, berfirman, "Dan
sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam …"[17] Demikianlah
al-Quran menganggap bahwa struktur wujud manusia merupakan struktur yang
terbaik dari seluruh struktur ciptaan-Nya, dan Allah berfirman,
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya".[18] Tuhan senantiasa memberitahukan tentang kemuliaan dan
ketinggian manusia atas seluruh makhluk, dan hendaklah manusia mengetahui bahwa
terdapat nilai yang sangat berharga dalam dirinya, dimana dunia dan seluruh
isinya tidak ada harganya sama sekali buatnya. Tuhan memberikan kerendahan
derajad kepada orang-orang yang hanya menumpahkan perhatiannya kepada dunia
ini, kepada Nabi-Nya Allah berfirman, "Maka berpalinglah (hai Muhammad)
dari orang yang berpaling dari peringatan Kami, dan tidak mengingini kecuali
kehidupan duniawi"[19].
Poin yang menarik di sini adalah bahwa sebenarnya dunia
tidaklah kecil dan tak berharga, melainkan manusia telah sampai pada batasan
kemuliaan kesuciannya sehingga menurut pandangan Tuhan, seluruhnya adalah untuk
manusia dan tidak ada sesuatupun yang layak menduduki ketinggian nilai manusia
dan menusia tak layak menjual dirinya kepada selain-Nya. Mengenai hal ini Allah
berfirman, "Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk
kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit.
dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu"[20]. Dalam al-Quran, jiwa manusia
merupakan dimensi permanen dan abadi yang setelah hancurnya badan di dalam
kubur masih tetap hidup dan akan melewati kehidupan barzakhnya, "Dan di
hadapan mereka ada barzakh, sampai pada hari mereka dibangkitkan"[21], dan
pada ayat lainnya berfirman, "Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang
yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya
dengan mendapat rezki"[22]. Dalam al-Quran difirmankan bahwa hari ketika
seluruh manusia dibangkitkan, pada masing-masing mereka akan diperintahkan
untuk membacakan lembaran jiwanya sendiri, Allah berfirman, "Bacalah
kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab
terhadapmu"[23]. Tuhan juga meletakkan manusia sebagai sebuah hakikat yang
abadi dan berfirman bahwa manusia setelah hari perhitungan akan menjalani
kehidupan abadinya. Di dalam al-Quran terdapat ayat yang berbunyi, "Dan
orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan
mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran) mereka itu adalah penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya"[24].
Demikian juga, mengenai orang-orang yang berbuat baik,
Allah berfirman, "Mereka tidak mendengar sedikitpun suara api neraka, dan
mereka kekal dalam menikmati apa yang diingini oleh mereka"[25]. Al-Quran
pun meletakkan tingkatan dan derajat untuk jiwa non-materi manusia, tingkatan
pertamanya adalah jiwa ammarah yang terkadang jiwa berbuat baik dan buruk,
kekuatan ini akan menjadi aktual dan bertindak untuk memenuhi keinginannya dan
apapun yang diinginkannya dia akan berusaha untuk ke arahnya. Kadangkala
manusia terjerumus ke dalam keinginan palsu dan senantiasa mengikuti apa yang
menjadi keinginannya dan memalingkan diri hal-hal yang tak tersirat. Oleh
karena itu, al-Quran menukilkan perkataan Nabi Yusuf as yang mengatakan,
"Sesungguhnya jiwa itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali jiwa yang
diberi rahmat oleh Tuhanku"[26]. Apabila manusia menempatkan dirinya pada
wilayah penyembahan Tuhan, maka perintah Tuhan akan meliputi dan menapasi
realitas kehidupannya dan jiwa manusia akan tersinari dengan iman yang bergerak
secara rasional dan dalam naungan Ilahi. Pada tahapan ini, jiwa manusia berada
pada derajat jiwa lawwamah yang dengannya ia dapat melihat kejelekan dan
keburukan dengan jelas, dan apabila manusia terjerumus dalam dosa pada
tingkatan ini, maka dia akan sangat terhina dan tersiksa karena menentang hukum
fitrahnya.
Al-Quran sedemikian memperhatikan tingkatan jiwa lawwamah
ini sehingga bersumpah, "Aku bersumpah demi hari kiamat, dan aku bersumpah
dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)"[27] yaitu bahwa jiwa
lawwamah telah diletakkan di sisi hari kiamat dan terdapat dua sumpah di
dalamnya. Tentunya terdapat kesesuaian yang sangat antara hari kiamat dengan
jiwa lawwamah.
Salah satu karakteristik dari jiwa lawwamah adalah
penentuannya terhadap baik dan buruk dimana Tuhan mengilhami nafsu ini supaya
mengetahui tolok ukur dari keburukan, kebaikan, dan keindahan prilaku. Masalah
ini merupakan hal paling rumit dalam persoalan filsafat akhlak khususnya di
kalangan teolog dan pemikir barat.
Setelah tahapan ini, manusia kan sampai pada jiwa
mutmainnah (tenang) yang merupakan paling tingginya kedudukan jiwa dimana para
manusia sempurna berjalan ke arah ini. Berkaitan dengan jiwa suci dan mulia
ini, dalam al-Quran Allah Swt berfirman, "Hai jiwa yang tenang. Kembalilah
kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya"[28]. Mereka ini
adalah orang-orang yang dalam seluruh kehidupannya, tidak melihat adanya
sedikitpun kerugian. Apapun yang terjadi atau akan terjadi dan segala takdir
yang telah tertulis seluruhnya berada di bawah pengaturan Sang Hakim yang tidak
menginginkan sesuatupun selain kebaikan, mashlahat dan nikmat. Jiwa mutmainnah
memahami dan mengetahui bahwa seluruh keteraturan dan mekanisme alam berada di
bawah lingkup Tuhan dimana tidak ada sebutirpun yang akan berpindah dari
tempatnya kecuali dengan iradah dan kehendak-Nya. Dari sinilah, sehingga para
pesuluk senantiasa ridha dan bahagia dengan takdir-Nya.
SALAM RAHAYU KANTI TEGUH SLAMET BERKAH SELALU SAUDARA-SAUDARIKU
SEMUANYA TANPA TERKECUALI... SEMOGA POSTINGAN SAYA INI BERMANFA’AT SEBAGAI
WAWASAN DAN PENGALAMAN TAMBAHAN KITA.
Ttd: Wong Edan Bagu
Putera Rama Tanah Pasundan
http://putraramasejati.wordpress.com
http://webdjakatolos.blogspot.com
Post a Comment