WUJUD BERNAMA MANUSIA Bagian.01
WUJUD BERNAMA MANUSIA Bagian.01
Oleh: Wong Edan Bagu
Putera Rama Tanah Pasundan
Brebes Rabu Tgl 10 Des 2014
A. Manusia dan Dimensi Wujudnya
Mukadimah;
Manusia memiliki seluruh kesempurnaan di alam penciptaan.
Lingkup gerak menyempurnanya meliputi tingkatan terendah in-organik hingga
tingkatan tertinggi malakut. Jadi, kelayakan luar biasa dari mutiara alam
semesta yang bernama manusia ini, bukanlah berada pada posisi terendah dari
wujudnya, melainkan terletak pada sisi akal dan malakutinya. Manusia dengan
derajat yang dimiliknya, tak selayaknya ia berpaling dari posisi tertinggi dan
menjerumuskan diri pada tingkatan terendah dan mengikuti instink yang tidak
lebih dari tingkatan yang dimiliki oleh seekor hewan. Manusia terkadang hanyut
menikmati syahwatnya dan terkagum-kagum dengan kemenangannya melawan sifat
antagonisnya, dan dengan segenap kemampuannya berusaha memenuhi
kebutuhan-kebutuhan instinknya. Kecenderungan manusia ini tidak melebihi
setengah wujudnya dan kehidupan seperti ini diungkapkan al-Quran sebagai
kehidupan neraka, "Kemudian dia tidak akan mati di dalamnya dan tidak
(pula) hidup."[1] Ayat ini merupakan deskripsi kehidupan orang-orang yang mengisi
hidupnya dengan kehidupan hewan dan mengesampingkan kehidupan insani yang
merupakan kedudukan tertinggi dan termulia. Yang diperhitungkan oleh orang
semacam ini bukan kehidupan insaninya dan bukan pula koreksi dan kontemplasi
atas dirinya, pada dasarnya apapun yang dipilih orang ini tidak akan pernah
berharga dan dia akan mengalami kerugian dalam seluruh prilakunya.
Dari sini Allah swt dalam salah satu ayat-Nya berfirman,
"Sesungguhnya Allah akan memasukkan orang-orang yang mukmin dan beramal
saleh ke dalam jannah yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Sedangkan
orang-orang kafir yang bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti
makannya binatang, maka jahannamlah tempat tinggal mereka."[2]
Ibnu Sina dalam kitab Isyarat, mencoba menyibak tabir
kelalaian yang merugikan manusia ini dan menjawab pertanyaan berikut, mengapa
manusia yang secara esensial mencari kesempurnaan diri, malah sama sekali tidak
memperhatikan kedudukan tertinggi yang dimilikinya?
Ia berkata, "Sekarang setelah seluruh hakikat dan
jiwamu dibelenggu dan berada di bawah kekuasaan mekanisme tubuh, dan berbagai
penghalang serta rintangan pun telah menyibukkanmu, hal ini telah membuatmu
lalai terhadap kesempurnaan yang sesuai untuk dirimu dan engkau sama sekali
tidak bersedih dengan adanya kelalaian ini. Ketahuilah, kelalaian ini berasal
dari dirimu sendiri, karena sebenarnya tidak ada satupun tirai yang membatasi
kesempurnaan tertinggi dan termulia tersebut dari dirimu, dan aku telah
memperingatkan kepadamu akan sebagian dari rintangan-mu yang tak lain adalah
berbagai aktifitas yang mengelilingimu dan telah membuatmu sibuk. Jadi,
ketaksempurnaan dan kecerobohan muncul karena dirimu sendiri, dan hal ini yang
menyebabkanmu tidak memiliki kesempurnaan yang seharusnya, dan sebagaimana
orang-orang yang buta, engkau sama sekali tidak menyadarinya."[3]
Perhatikan ayat ini dimana Allah berfirman, "Dan
barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia
akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar)."[4] dan
pada ayat lain Allah berfirman, "engkau akan mati sebagaimana engkau
hidup", ini merupakan sebuah poin penting bagi kita supaya tidak salah
menanggapi bahwa di akhirat kelak akan mendapatkan sesuatu yang tidak dilakukan
di dunia.
Catatan Penting;
Mereka yang di dunia ini senantiasa menyibukkan diri
dengan harta benda materi dan syahwat serta tidak pernah memikirkan dimensi
lain selain kenikmatan dan kelezatan dunia yang berlangsung sangat singkat ini,
sebenarnya salah menyangka bahwa mereka bisa meraup seluruh kelezatan dunia ini
dan memanfaatkan seluruh fasilitas yang ada di dalamnya. Akan tetapi khayalan
dan sangkaan mereka adalah salah, karena struktur tubuh manusia bergantung pada
aturan-aturan tertentu yang senantiasa membutuhkan keseimbangan dalam
memanfaatkan kelezatan dan kesenangan-kesenangan alami.
Sistem tubuh manusia memiliki daya serap terhadap
berbagai bahan makanan pada batasan yang logis. Lemak, gula, garam, protein,
vitamin-vitamin dan mineral, keseluruhannya akan bisa dicerna dan diserap oleh
badan hanya pada ukuran tertentu saja, dan kelebihan serta kekurangan, sekecil
apapun, akan ditolak dari sistem pencernaan.
Manusia terkaya dunia yang memiliki seluruh fasilitas
untuk berpesta-pora dan berfoya-foya, tetap tak akan pernah bisa melewati batas
kemampuannya sendiri, dia tetap tidak mampu menikmati dan memanfaatkan seluruh
khayalannya secara riil, karena sistem pencernaan dan seksualnya sangatlah
terbatas. Kemampuan dan kekuatan wujudnya sama sekali tidak akan pernah seimbang
dengan seluruh keinginan dan khayalannya. Jadi, sebenarnya para penyembah dunia
dan materialis pun merasa berada dalam kesulitan dengan adanya batasan-batasan
tersebut. Dunia ini memiliki keterbatasan dan tak seorangpun bisa mewujudkan
seluruh keinginan dan khayalannya. Allah tidak saja telah meletakkan manusia di
bawah bimbingan dan pengarahan para pembawa risalah-Nya dimana salah satu
nasehatnya adalah "bukan aku yang indah dan cantik, melainkan aku berasal
dan tumbuh dari tangan yang memeliharaku", dan dengan pandangan gnosis
ini, seluruh eksistensi merupakan tanda-tanda kebesaran Ilahi, dimana selama
jiwa manusia belum bersih dan suci, maka dia tidak akan pernah merasakan
keindahan tersebut. Dalam salah satu ayat-Nya, Allah berfirman, "Tidak menyentuhnya
kecuali orang-orang yang disucikan"[5], ayat-ayat suci al-Quran hanya bisa
disentuh oleh orang-orang yang telah disucikan.
Tubuh dan Jiwa;
Manusia memiliki dua dimensi, dimensi materi (tubuh) dan
non-materi (jiwa). Selain memiliki tubuh yang berasal dari tanah yaitu tubuh
materi yang bergerak, manusia juga memiliki dimensi non-materi yang konstan dan
permanen bernama ruh. Meskipun dimensi ini tidak bisa disentuh dengan indera
lahiriah, akan tetapi dengan argumentasi bisa dibuktikan keberadaannya.
Sebagaimana Allah, meskipun Dia merupakan sebuah realitas yang mustahil dicapai
oleh indera lahiriah, akan tetapi dengan dalil bisa dibuktikan keberadaan-Nya.
Terkadang apa yang kita peroleh dan kita ketahui tidak selalu sinkron dengan
inderawi dan empirik, akan tetapi pada beberapa hal, akal menghukumi adanya
realitas itu.
Al-Quran juga menyiratkan tentang dua dimensi yang
dimiliki oleh manusia dengan firman-Nya, "Sesungguhnya Aku menciptakan
manusia dari tanah", dan, "Dan Kami tiupkan di dalamnya ruh",
ayat pertama menyiratkan dimensi materi manusia sedangkan ayat kedua
menunjukkan dimensi lain yang dimiliki oleh manusia yaitu ruh.
1. Hubungan Jiwa dan Tubuh;
Aristoteles mengatakan bahwa manusia memiliki ruh dan
tubuh. Ruh manusia ini bersifat tunggal, tak berkomposisi, dan memiliki ilmu,
yaitu realitas tunggal dengan aktifitas yang berbeda dan beragam. Dimensi dari
ruh bertugas untuk mencerna makanan, lainnya menciptakan suhu badan, juga
mengatur resistensi tubuh terhadap berbagai penyakit, melihat, mendengar,
merasakan, mencerna, membuang bahan-bahan aditif, mengkhayal, berpikir, dan
lain-lain, seluruh hal-hal di atas diciptakan oleh ruh. Pada dasarnya, ruh
memiliki dua tingkatan dan aktifitas:
1. Mengatur dan menjaga badan,
2. Kecerdasan, pemahaman, dan pengetahuan.
Ruh dalam setiap tingkatan memiliki nama yang berbeda.
Ketika dia tengah berperan untuk melengkapi tubuh, dia bernama jiwa, dan ketika
tengah menelaah dan memahami sesuatu, dia akan disebut sebagai akal.
2. Sebuah Pemisalan;
Ruh bisa diumpamakan dengan beragam jabatan yang dipegang
oleh seorang rektor perguruan tinggi. Pada salah satu sisi dia adalah dosen,
sisi lain dia adalah seorang kepala rumah tangga, selain itu dia juga memiliki
jabatan yang bermacam-macam. Jadi, dia adalah seorang yang memiliki beberapa
prestise dan jabatan. Dan ruh bisa pula diumpamakan dengan seorang ahli
matematik yang selain ahli matematik, ia merupakan ayah dari anak-anaknya, juga
anak dari kedua orang tuanya. Dia adalah sosok yang memiliki beragam dimensi.
Dalam contoh yang lebih jelas, bisa dikatakan bahwa ruh seperti pembangkit
tenaga listrik yang pada saluran-saluran tertentu dia melakukan aktifitas yang
tertentu pula. Dia akan memunculkan suhu panas pada pemanas ruangan, akan
menciptakan udara dingin pada kipas angin dan AC, akan membuat udara dingin
pada lemari es, sementara pada lampu, dia akan melakukan aktifitas yang lain
lagi yaitu menciptakan terang dan cahaya, dan dia akan membuat pengaruh yang
bermacam-macam pada persoalan-persoalan yang berbeda. Demikian juga dengan ruh.
Ruh adalah sebuah hakikat tungga yang mempunyai beragam sifat dan aktifitas.
3. Tubuh sebagai Perangkat Ruh;
Ketika ruh tengah sibuk melakukan aktifitas rasionalnya,
maka tubuh tidak akan menyertainya, melainkan tubuh akan berperan sebagai alat,
yaitu akal sibuk melakukan perjalanan spitirualnya, tetapi tubuh tidak
melakukan perjalanan bersamanya. Ketika manusia sedang bertafakkur dan
melakukan kontemplasi, sel-sel otak akan melakukan aktifitasnya, tetapi sel-sel
tersebut tidak akan ikut berfikir, mereka hanya merupakan sebuah alat untuk
berfikir, sedangkan aktifitas berfikir dan kontemplasi bersumber dari ruh itu
sendiri. Tubuh dan badan sebagaimana pensil yang berada di tangan penulisnya.
Pensil ini tidak menulis dan juga tidak berfikir, penulisnyalah yang
memanfaatkannya sebagai alat untuk menulis dan menuangkan pikiran. Tulisan
merupakan hasil perbuatan penulis, meskipun jika tak ada pensil, penulis tidak
akan mampu menuliskan apapun.
4. Peran Tubuh;
Allamah Thabathabai ra pada jilid pertama kitab Al-Mizan
menuliskan sebuah pembahasan yang menarik tentang peran tubuh dalam
aktifitas-aktifitas yang dilakukan oleh manusia. Beliau sepakat bahwa seluruh
subyek yang dikatakan oleh para fisiolog tentang kewajiban organ-organ tubuh
adalah benar, yaitu bahwa di dalam otak dan sel-sel saraf serta bagian-bagian
lain tubuh seperti mata, telinga, hidung, dan … terjadi berbagai aksi, reaksi,
serta aktifitas-aktifitas rumit dan menarik lainnya supaya sistem tubuh manusia
melakukan aktifitasnya dengan keteraturan dan mekanisme yang menakjubkan untuk
menimbulkan kegiatan-kegiatan lain pada diri manusia seperti melihat,
mendengar, berfikir, tertawa, menangis, marah, dan lain sebagainya. Tentunya
poin yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa seluruh aksi dan reaksi yang
terjadi pada seluruh organ dan sel-sel tubuh, semuanya hanya bertindak sebagai
perangkat dan alat bantu bagi jiwa. Pada dasarnya, mata, telinga, hidung,
lidah, otak, dan lain-lain, semuanya tidak memiliki peran lain kecuali hanya
merupakan bagian dari alat yang diletakkan dalam kewenangan jiwa manusia. Jiwa
inilah yang mampu melihat dengan bantuan sistem mata, jiwalah yang mampu
berfikir karena bantuan dari sistem otak.
Yang penting untuk diperhatikan adalah point berikut
bahwa tidak seharusnya kita salah meletakkan alat pembantu pada tempat pelaku
asli, dengan ibarat lain tidak salah mengatakan bahwa otaklah yang berfikir,
tanganlah yang menulis, melainkan yang benar adalah otak merupakan alat untuk berfikir
dan tangan merupakan alat untuk menulis, sedangkan pelaku aslinya adalah ruh
dan jiwa.
5. Jiwa;
Telah dikatakan bahwa ruh disebut juga dengan nama nafs
atau jiwa. Dan jiwa akan melakukan begitu banyak perbuatan dan aktifitas dengan
bantuan perangkat-perangkat yang ada di dalam tubuh.
Seseorang yang hanya memperhatikan kematerian manusia dan
menganggap bahwa seluruh perbuatan, aktifitas, dan geraknya merupakan akibat
dari aksi dan reaksi materi, adalah sebagaimana seseorang yang tengah
menyaksikan lukisan yang sangat indah akan tetapi dia hanya memandangnya
sebagai sebuah lukisan yang dihasilkan oleh kuas dan cat warna tanpa memandang
peran pelukisnya sedikitpun, padahal kuas, cat warna, dan kertas hanya
merupakan alat yang dimanfaatkan oleh pelukisnya, demikian juga dengan mata,
telinga, jantung, otak, dan indera lainnya hanyalah merupakan alat bantu yang
diletakkan dalam kewenangan jiwa.
6. Dimensi Gaib;
Telah dikatakan bahwa ruh dan jiwa merupakan dimensi yang
dimiliki oleh manusia dalam bentuk invisibel dan tak terlihat, sebuah dimensi
yang tak bisa disentuh dengan indera lahiriah. Akan tetapi dengan argumentasi,
hal ini menjadi sebuah persoalan yang bisa dibuktikan dan dipahami. Ada yang
mengatakan, selama aku tidak melihat sesuatu dengan kedua mata kepalaku, aku
tidak akan bisa mempercayai keberadaannya, dan karena aku menyaksikan listrik
dengan kedua mataku, maka aku sepakat bahwa Edison adalah seorang ilmuwan yang
besar dan jenius. Sangat jelas bahwa perkataan semacam ini sama sekali tidak benar,
karena apabila dengan melihat lampu listrik serta cahayanya, seseorang baru
akan mengakui kebesaran dan kejeniusan penemunya, maka setiap makhluk-makhluk
materi yang mempunyai kemampuan untuk melihat, akan mengambil kesimpulan yang
sama ketika menyaksikan listrik, sementara hal yang terjadi tidaklah demikian.
Seekor kambing sama sekali tidak akan mengetahui kecerdasan penemu listrik
dengan melihat lampu listrik tersebut, atau kebesaran penyair tidak mungkin
diketahui oleh semua orang, hanya dengan melihat tulisan-tulisan syair yang
ditulis oleh sang penyair pada sebuah kertas. Oleh karena itu, yang penting
adalah kekuatan dan daya menakjubkan yang terdapat di dalamnya-lah yang dengan
melihat listrik dan melihat syair, dia mampu memahami dan mengerti kebesaran
posisi penemunya dan mampu mengenali kodrat dan keahlian penyair yang
menuliskan syairnya di atas kertas. Jadi, melihat listrik atau melihat syair
yang tertulis di atas kertas, semuanya hanya merupakan premis untuk berfikir
bahwa "penemu listrik dan penyair tersebut adalah para ilmuwan yang cerdas
dan ahli".
7. Rasionalitas dan Jiwa Manusia;
Para filosof membuktikan adanya beragam dimensi pada diri
manusia. Pada tahapan pertama, mereka membuktikan adanya "dwi
dimensi" yang dimiliki oleh manusia dan menjabarkan argumentasi untuk
dimensi non-materi-nya, dengan mengatakan bahwa materi memiliki tiga
karakteristik, pertama mengalami perubahan, kedua bisa dibagi, dan ketiga
memiliki dimensi ruang dan waktu. Jika ketiga sifat ini diperoleh pada suatu
realitas, berarti realitas tersebut adalah materi, dan apabila ketiga
karakteristik materi ini tidak ditemukan pada sebuah realitas, maka realitas
tersebut adalah non-materi atau metafisika. Dan karena jiwa manusia sama sekali
tidak memiliki ketiga karakteristik tersebut, jadi jiwa manusia merupakan
sebuah realitas non-materi dan metafisik.
Jadi, karena apa yang dipelajari oleh jiwa pada masa
kanak-kanak secara permanen diketahuinya hingga usia lanjut, berarti apa yang
diketahuinya tersebut konstan dan tidak berubah. Demikian juga dengan jiwa
manusia yang merupakan esensi tak berkomposisi (basith), invisible, dan tak
bisa dibagi, dengan arti bahwa tidak bisa digambarkan bahwa kesempurnaan ruhani
sebagaimana keberanian dan ilmu manusia, bisa dibagi menjadi dua bagian. Tentu
saja masing-masing kesempurnaan ini memiliki tingkatan dan antara tingkatan
lemah dan tingkatan kuat terdapat perbedaan yang sangat jelas, tingkatan ilmu
dan keberanian yang lemah bukan merupakan setengah dari ilmu dan keberanian.
Jadi, apabila segala kesempurnaan jiwa tidak bisa dibagi, maka dikatakan bahwa
jiwa pun mustahil terbagi.
Demikian juga jiwa manusia tidak terikat oleh ruang dan
waktu, ketuaan dan perubahan hanya berkaitan dengan tubuh. Jiwa manusia tidak
akan mengalami ketuaan, dengan demikian terbukti bahwa jiwa manusia adalah
non-materi. Jadi, karena jiwa manusia tidak menerima salah satupun dari tiga
karakteristik materi di atas (yaitu mengalami perubahan, bisa dibagi, dan
memiliki dimensi waktu), maka harus dikatakan bahwa jiwa merupakan sebuah
realitas non-materi.[6] Lalu para filosof Islam menganggap bahwa kesatuan yang
merupakan dimensi non-materi manusia tak lain adalah ruh atau jiwa manusia yang
mencipta seluruh daya dan kekuatan manusia. Demikian pula prinsip "An-nafs
fi wahdatiha kull al-quwa (jiwa dalam kesatuannya meliputi seluruh potensi dan
daya)" menjelaskan tentang poin berikut bahwa jiwa dengan kesatuan dan
ke-basith-annya telah menjadikannya memiliki seluruh potensi dan kekuatan bagi
manusia. Tingkatan tertinggi jiwa manusia terletak pada akal dan
rasionalitasnya, dimana dengan adanya akal dan rasionalitas ini bisa
mengantarkannya pada kedudukan insani yang mulia dan memahami
persoalan-persoalan tertinggi ilmiah dan makrifat.
8. Pembagian Akal;
Para filosof Islam membagi akal menjadi dua, yaitu akal
teoritis dan akal praktis.
a. Akal Teoritis.
AlFarabi mendefinisikan akal teoritis dengan mengatakan
bahwa akal yang dengannya manusia mencapai hakikat-hakikat ilmiah yang tidak
terkait dengan perbuatan manusia dan ruang lingkupnya hanya berada dalam
mekanisme ilmiah serta tidak berhubungan dengan masalah baik-buruk, contohnya
kemustahilan berkumpulnya dua hal yang kontradiktif dan beragam persoalan
matematika.
Para filosof Peripatetik (Masyain) menyepakati empat
tingkatan akal, sebagai berikut:
1. Akal Primer (primary material intellect), yang hanya
merupakan tingkatan potensi belaka dan sama sekali belum bisa menangkap
realitas universal;
2. Akal potensial (potential intellect), pada tingkatan
ini, akal dan pikiran manusia bisa memahami masalah-masalah universal yang
gamblang dan aksioma, seperti pengenalan masalah-masalah yang bisa dipahami
dengan penyaksian misalnya (universal lebih besar dari partikular) dan (sesuatu
yang ada lebih baik dari yang tiada) dan aksioma-aksioma sejenis ini;
3. Akal aktual (actualized intellect), dalam tingkatan
ini, masalah-masalah ilmiah yang mendetail dicapai dari hal-hal yang aksioma
untuk kemudian melahirkan bentuk argumentasi, sebagaimana ketika kita
mengatakan, Zaid adalah manusia dan setiap manusia memiliki kemampuan untuk
memahami. Jadi, Zaid memiliki kemampuan untuk memahami;
4. Akal capaian (acquired intellect), manusia yang
mencapai tingkatan ini bisa jadi dalam seratus tahun hanya ditemukan dalam
jumlah yang sangat sedikit. Pada tingkatan ini, manusia telah menjadi
"malaikat" non-materi, tak satupun realitas yang tidak jelas baginya,
dia mengetahui semuanya, dan tak sesuatupun yang bisa memalingkan perhatiannya
dari mengingat-Nya, dan ia sebagai manifestasi nama Ilahi "Ya man lâ
yasyghuluhu sya'i 'an sya'i".[7]
b. Akal Praktis.
AlFarabi dalam definisi tentang akal ini mengatakan,
"Akal praktis adalah akal yang dengannya seseorang mampu mengetahui
tentang hal-hal yang terpuji dan tercela, hal-hal yang harus dilakukan dan yang
dijauhi, dan mampu menentukan rangkaian dan sistimatika segala perbuatannya.[8]
Para filosof menyepakati adanya tingkatan akal praktis,
sebagai berikut:
1. Pensucian (takhliyah) adalah mensucikan batin dari
segala perbuatan dan akhlak yang tak terpuji, seperti riba, bakhil, hasad, dan
akhlak-akhlak tercela lainnya serta mengikuti hawa nafsu yang membawa manusia
mendekati sifat-sifat binatang.
2. Penghiasan (tahliyah) adalah batin seseorang yang
telah suci dari akhlak-akhlak tercela, kemudian ia menghiasi batinnya dengan
akhlak-akhlak yang mulia, semacam keadilan, ibadah, sabar, tawadhu', dan
lain-lain;
3. Fana, yang terdiri dari tiga bagian, yaitu:
a. Fana dalam perbuatan, bermakna bahwa seluruh gerak,
diam, dan perbuatannya terwarnai oleh perbuatan Ilahi. Seluruh perbuatan
merupakan manifestasi kodrat dan perbuatan Tuhan, hal ini identik dengan makna
"Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila
dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam."[9]
b. Fana dalam sifat, bermakna bahwa seluruh sifat
terpancar dari sifat Tuhan, dan segala yang indah, cantik, mulia, dan berilmu
merupakan manifestasi dari kesempurnaan Tuhan. Dalam makna "Alhamdulillah"
(Segala Puji bagi Allah) dikatakan bahwa segala rasa syukur dan pujian hanya
milik dan untuk Tuhan.
c. Fana dalam Tuhan, bermakna bahwa seluruh alam
merupakan murni hubungan dan korelasi dari Tuhan, maka dari itu tak ada wujud
yang bersifat mandiri selain-Nya. Tingkatan ini identik dengan makna, "Dan
kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah
wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha
mengetahui"[10].[11]
Hakikat Jiwa dalam Al-Quran;
Al-Quran menganggap bahwa jiwa manusia merupakan sebuah
hakikat yang berada di luar badan dan di luar mekanisme organ-organ tubuh.
Setelah nutfah berkembang menjadi janin dan memiliki tulang-tulang dan
urat-urat bersusunan rumit, maka jiwa akan terwujud darinya. Dengan kehadiran
jiwa ini, tubuh tersebut memiliki kehidupan awal manusia dan akan menghasilkan
potensi-potensi yang tak berkesudahan, tubuh ini kemudian akan menjadi media
bagi tumbuhnya bakat dan kemampuan istimewa yang kelak bisa dimanfaatkan pada
aktifitas manusia masa mendatang. "Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dari suatu saripati (yang berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan
saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian
air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan
segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu
tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging, kemudian Kami jadikan dia
makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling
baik."[12]
Poin yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa
"makhluk lain" pada ayat di atas bukan berasal dari proses darah,
daging, dan tulang seperti yang terjadi pada penciptaan tubuh manusia. Oleh
karena itu, al-Quran mencoba memahamkan bahwa "makhluk baru" (baca:
jiwa manusia) memiliki hakikat yang lain, akan tetapi tentunya hakikat tersebut
tidak lepas dari proses tubuh, dan bisa juga bermakna bahwa jiwa tersebut
terwujud bersamaan dengan proses penciptaan tubuh, jiwa tidak menyatu dengan
tubuh dan juga tidak lepas dari tubuh. Namun ketika ruh dan jiwa
"keluar" dari tubuh, maka tubuh akan berubah menjadi jasad tak hidup
dan tidak lagi disebut tubuh manusia. Jadi, penyerapan, pertumbuhan, gerak,
aksi, reaksi, dan aktifitas yang dilakukan oleh tubuh terjadi dengan perantara
dimensi non-materi manusia, yaitu jiwa. Demikian juga, kesempurnaan manusia
dalam ilmu, perbuatan, dan keimanan seluruhnya berada di bawah pengaruh
mekanisme ruh sedemikian sehingga secara bertahap ruh akan membentuk seluruh
hakikat manusia dan mengantarkannya pada puncak tahapan eksistensi.
Pada dasarnya kedirian yang tetap pada manusia karena
faktor ruh dan jiwa, misalnya seorang anak tujuh tahun setelah melewati tujuh
puluh tahun walaupun secara umur berbeda, tapi kediriannya tetap sama, yakni
Muhammad diumur 7 tahun tetap Muhammad pada umur 70 tahun.
Yang menarik di sini, al-Quran menganggap kematian
manusia sebagai terangkatnya ruh ke alam malakut, Allah berfirman,
"Katakanlah: "Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu
akan mematikanmu, kemudian hanya kepada Tuhanmulah kamu akan
dikembalikan."[13] yaitu malaikat akan membawamu bersamanya, dan pada ayat
yang lain berfirman, "Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan
(memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; …" [14], yaitu
ketika engkau mati Tuhan akan mengembalikan jiwamu kepada-Nya.
Pada ayat pertama, jiwa manusia tak lain adalah
"kum" yang merupakan kata ganti subyek yang bermakna kamu, maksud
dari "kamu" di sini tak lain adalah "jiwa non-materi".
Salah satu keajaiban yang dimiliki oleh jiwa, sebagaimana
yang diungkapkan dalam al-Quran adalah bahwa melupakan jiwa dan melalaikannya
akan menyebabkan Tuhan pun melalaikannya, "Allah berfirman:
"Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu
melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun akan dilupakan"[15].
Ayat-ayat Tuhan adalah jiwa manusia itu sendiri.
Dimensi yang belum Diketahui;
Manusia memiliki dimensi-dimensi lain selain apa yang
tersebut di atas. Sebagaimana al-Quran menyebutkan adanya dua mata lahiriah,
dua telinga lahiriah, dan sebuah jantung lahiriah untuk manusia, dengan nada
yang sama al-Quran juga mengatakan adanya dua mata batin, dua telinga batin,
dan satu kalbu batin di dalam diri manusia. Melihat Tuhan dengan mata lahiriah
merupakan sebuah persoalan yang mustahil terjadi, akan tetapi manusia bisa
menyaksikan Tuhannya dengan mata batin. Mata hati merupakan dimensi lain yang
dimiliki oleh manusia untuk menemukan jalan menuju Tuhannya. Oleh karena itu,
ketika seseorang bertanya kepada Imam Ali as, "Apakah engkau melihat
Tuhan?", beliau menjawab, "Lam a'bud rabban lam arahu (Aku tidak
menyembah Tuhan yang tidak aku lihat)", dan selanjutnya bersabda,
"Tuhan tidak bisa dilihat dengan mata kepala yang merupakan organ tubuh
manusia, tetapi Dia bisa dilihat dengan mata yang berhubungan dengan hakikat
keimanan". Al-Quran memberikan perumpamaan untuk sebagian orang,
"Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai
hati yang dengannya mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengannya
mereka dapat mendengar? Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, akan tetapi
yang buta adalah mata hati yang ada di dalam dada"[16]. Pada ayat yang
lain berfirman, "Sesungguhnya telah datang dari Tuhanmu bukti-bukti yang
terang; barang siapa melihat (kebenaran itu) maka (manfaatnya) ada bagi dirinya
sendiri; dan barang siapa buta (tidak melihat kebenaran itu), maka
kemudharatannya akan kembali kepada dirinya sendiri."[17]
Jelaslah bahwa mata dan telinga yang disebutkan di dalam
al-Quran ini tidak ada hubungannya dengan mekanisme fisikal manusia. Tema ini
mirip dengan seseorang yang menemui Einstein lalu menceritakannya kepada orang
lain dengan mengatakan, "Aku melihat Einstein sebagai seorang yang sangat
pandai dan cerdas". Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, apakah orang
tersebut menyaksikan ilmu dan kecerdasan Einstein dengan kedua mata kepalanya,
yaitu dia memperoleh informasi ini dengan proses fisikal, ataukah dia memahami
hal tersebut melalui metode yang lain? Apabila penyaksiannya adalah penyaksian
fisik, maka setiap orang yang bertemu dengan Einstein harusnya juga mengetahui
tingkat kepandaian dan kecerdasan ilmunya, padahal yang terjadi tidaklah
demikian, hanya orang yang mengenalnya bisa memastikan kejeniusan dan
ketinggian ilmunya, dan hanya penyaksian batin yang setelah melakukan sekian
waktu penelitian, mampu mengenal ketinggian ilmu Einstein. Menjadi jelas bahwa
penyaksian orang ini, bukan penyaksian yang berbentuk lahiriah.
Sayangnya, dunia saat ini lebih sering mengesampingkan
satu dimensi yang sangat agung ini, melainkan mereka malah hidup dalam keadaan
jahil dan tak memiliki informasi tentangnya. Kebanyakan dari mereka lebih
menginginkan melihat segala sesuatunya dengan visi dan pandangan material,
sehingga mereka mengobservasi seluruh hakikat-hakikat makrifat yang sangat
tinggi di dalam laboratorium-laboratorium empirik, lalu menegaskan bahwa setiap
eksistensi yang bisa diindera secara lahiriah yang memiliki keberadaan, dengan
pernyatan ini sebenarnya mereka secara tak sengaja mengakui dimensi
rasionalitas yang notabene adalah realitas non-inderawi dan non-materi. Sebagai
contoh, apabila mereka mempelajari kitab yang ditulis oleh seorang ilmuwan
besar, mereka akan mengatakan bahwa aku telah menemukan seorang ilmuwan besar,
sementara apa yang dia temukan adalah merupakan hasil dari dimensi non-materi
(yakni pengetahuan dan informasi dari kitab yang dibacanya). Dengan demikian,
secara yakin bisa dikatakan bahwa manusia telah dilengkapi dengan dimensi yang
sangat agung dan paling berharga, dan manusia harus berusaha dan berupaya untuk
menganalisanya secara lebih mendetail lagi.
Ilmu bersifat Non-Materi;
Filsafat telah membuktikan bahwa pemahaman dan
rasionalitas bersifat non-materi dan berada di luar mekanisme materi. Begitu
pula ilmu dan pengetahuan bersifat non-materi, karena ilmu dan pemahaman
manusia tidak memiliki satupun dari karakteristik-karakteristik alam materi.
Oleh karena itu, ilmu tidak bisa dibagi dan tidak pula mengalami perubahan.
Realitas yang ada di dalam pikiran sama sekali tidak bisa
dibagi menjadi dua bagian. Apabila kita membayangkan satu meter, maka bayangan
ini sama sekali tidak akan bisa kita bagi, apabila kita mampu membaginya, maka
yang akan muncul adalah dua buah setengah meteran, dan itu tak lain adalah satu
meter yang awal yang tetap berada di tempatnya.
Ketika kanak-kanak, kita mempelajari dan mengalami begitu
banyak persoalan. Ketika usia kita bertambah sekian puluh tahun dan mengalami
begitu banyak perubahan pada tubuh dan otak, gambaran dan kenangan kanak-kanak
yang ada dalam benak kita tetap konstan dan tak berubah.
Ringkasnya, meskipun apa yang dikatakan oleh para
fisiolog mengenai otak dan ilmu manusia adalah benar, tapi haruslah dipahami bahwa
otak sebenarnya alat untuk memahami, bukan merupakan pemahaman dan ilmu itu
sendiri. Sel-sel yang ada di dalam otak praktis bertindak sebagai alat untuk
memahami, sedangkan pemahaman itu sendiri merupakan dimensi non-materi yang tak
bisa dilihat.
Ibnu Sina sepakat bahwa di dunia ini, manusia kadangkala
bisa sampai pada suatu tingkatan sehingga mampu memisahkan ruh dari tubuhnya,
hal ini muncul karena adanya bimbingan, riyadhah dan latihan, yaitu meskipun
dia masih mengenakan pakaian, pada hakikatnya dia telah berubah menjadi sebuah
realitas non-materi, misalnya dia bisa berhubungan dan bercakap dengan
orang-orang yang telah mati.
Ibarat yang dikatakan oleh Ibnu Sina adalah sebagai
berikut, "Di kehidupan dunia ini terdapat tingkatan khusus yang dimiliki
oleh para arif yang tidak diketahui oleh selainnya. Dia tetap memiliki tubuh,
namun telah keluar dari efek tubuh dan berubah menjadi realitas non-materi yang
kemudian berkelana di alam yang lebih tinggi. Kaum arif memiliki
rahasia-rahasia yang sangat tersembunyi yang tidak diketahui oleh orang
lain".[18]
Khayalan dan Kelezatan Tinggi;
Potensi lain yang dimiliki oleh manusia adalah daya
khayal. Khayal[19] merupakan perantara antara mekanisme tubuh dan akal. Apabila
potensi ini tidak dibimbing ke arah yang benar dan tidak berada di bawah
pengawasan akal, hal ini akan mengantarkan manusia pada kebebasan mutlak yang
akan muncul dalam bentuk kekuatan yang merusak. Akan tetapi apabila berada
dalam pengawasan akal dan bergerak pada jalan yang benar, maka dia akan berubah
menjadi kekuatan yang bisa diandalkan dalam membantu aktifitas akal. Dan
apabila berada tidak terarah dan liar, maka dia akan berjalan ke arah manapun
yang ia kehendaki dan bertindak di luar control akal, ia akan senantiasa
dipenuhi oleh beragam bentuk khayalan sehingga seluruh waktu luang yang ada
akan terbuang sia-sia dan dadanya dipenuhi dengan khayalan kotor dan merusak,
yang hal ini akan menghilangkan ketenangan pikiran pemiliknya, dalam sebuah
hadist dikatakan bahwa kalbu seorang mukmin merupakan tempat suci Tuhan, maka
janganlah kalian menempatkan selain Tuhan di tempat suci Tuhan.
Kelezatan hakiki dunia ini akan menjadi milik seseorang
yang telah sampai secara aktual pada tingkatan akal dan telah terlepas dari
belenggu khayal, dengan itu dia mampu mendominasi dan mengatur seluruh dimensi
dan kecenderungan wujudnya sedemikian sehingga ia tak menginginkan sesuatu
selain yang benar dan suci, tidak melihat sesuatu selain kebaikan, dan tidak
berfikir selain yang bermanfaat, dia menutup saluran benak dan kalbunya dari
segala yang batil dan menjerumuskan, karena itulah sehingga dia akan mampu
memahami dan memanfaatkan potensi batinnya dengan semakin baik.
Oleh karena itu, selama kita tidak berusaha mengembangkan
potensi-potensi akhlak, dan selama kita belum menjauhkan dan membersihkan
kotoran-kotoran dan khayalan-khayalan merusak dari kejernihan benak kita, maka
benak tersebut tidak akan pernah merefleksikan hakikat sebagaimana cermin yang
memantulkan cahaya, dan kita tidak akan pernah menemukan kecintaan abadi. Jadi,
manusia harus merasakan kelezatan khayal dalam jiwa suci, dengan akal menguasai
khayalan tersebut dan mengontrolnya dari setiap kecenderungan liar dan sia-sia.
B. Karakter Alami Manusia
Kehendak Tak Terbatas;
Manusia memiliki kapasitas yang tak terbatas. Potensi,
keinginan, dan bakatnya tidak berhenti pada batas yang tertentu. Seberapapun
yang diberikan padanya, ia masih akan mengatakan, "apakah masih ada yang
lain?" Untuk memperoleh keinginannya, kadangkala ia rela berjalan hingga
pada batas yang membahayakan jiwa, akan tetapi ketika keinginannya tersebut
telah berada dalam genggamannya, ia akan menemukan bahwa ternyata keinginannya
lebih besar dan lebih tinggi dari apa yang telah diperolehnya saat ini, dan apa
yang berada dalam genggamannya tersebut tidak seperti apa yang ia inginkan
sebelumnya.
Manusia memiliki keinginan tak terbatas dalam mencari
segala kesempurnaan. Sebagai contoh, seorang pemilik harta, betapapun banyaknya
ia memiliki harta simpanan tetap saja tidak merasa cukup. Demikian juga, orang
yang memiliki kekuasaan, ia masih tetap akan mencari jalan untuk memperoleh
kekuasaan yang lebih. Bahkan misalnya, meskipun telah ditambahkan planet bumi
ke dalam kekuasaannya, ia masih akan mencari planet Mars supaya jatuh ke
tangannya dan ketamakannya terhadap kekuasaan tidak akan berhenti sampai di
sini, keinginan berkuasa yang dimilikinya akan membawanya untuk menguasai
planet-planet lainnya. Sama halnya dengan orang yang mencari ilmu, keinginannya
untuk memperoleh ilmu yang lebih banyak tidak akan pernah ada habisnya.
Dikatakan, pada suatu zaman terdapat seorang ilmuwan besar yang sedang sakit
keras dan telah tiba pada batas hidupnya, ketika sahabatnya yang juga seorang
alim datang menjenguknya, ia menghadapkan mukanya pada sang alim tersebut lalu
bertanya tentang sebuah persoalan geometri yang hingga saat itu belum bisa ia
temukan jawabannya. Sang alim mengatakan, "Ini bukan waktu yang tepat
untuk menanyakannya", dan sang ilmuwan besar berkata, "Menurutmu, aku
mengetahui persoalan ini lalu mati, adalah lebih baik, ataukah aku meninggalkan
dunia ini dalam keadaan tidak mengetahui jawabannya?"
Walhasil, manusia memiliki potensi dan keinginan yang
tiada batas. Maksudnya bukanlah bahwa ia tidak mungkin sampai pada keinginan
tak terbatasnya tersebut, karena sampai pada yang tak terbatas, pada dasarnya
sama sekali tidak bermakna dan tidak akan pernah berkesudahan, akan tetapi bisa
dikatakan dengan istilah lain yaitu melangkah dan bergerak ke arah tak
terbatas.
Poin penting yang terletak pada pembahasan ini adalah,
bahwa memenuhi segala keinginan tak terbatas ini, hanya bisa dilakukan ketika
sampai pada hal yang sesuai dengan yang tak terbatas, lalu jiwanya dipenuhi
dengan Sumber Tak Terbatas.
Manusia di antara Tak Terbatas;
Allah swt dalam salah satu ayat al-Quran berfirman,
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya"[20], yaitu tidak ada makhluk selain manusia yang memiliki
bentuk dan struktur lebih baik dari yang dimiliki oleh manusia, dan pada
kelanjutan ayat berfirman, "Kemudian Kami akan kembalikan ia ke tempat
yang serendah-rendahnya (neraka)"[21], yaitu manusia yang memiliki
sebaik-baik bentuk ini akan Kami kirim ke tempat yang serendah-rendahnya. Kata
"ahsan" dan "asfal" keduanya bermakna "paling baik
atau sebaik-baiknya" dan "paling rendah atau
serendah-rendahnya". Realitas ini merupakan dalil bahwa kedudukan manusia
yang berada di antara ketakterbatasan, dengan makna bahwa dia mampu menjangkau
tingkatan yang bahkan lebih tinggi dari tingkatan para malaikat dan manusia
juga bisa jatuh terjerumus ke tingkatan paling rendah dan paling buruknya
tempat yang dimiliki oleh binatang dan setan.
Al-Quran juga memberikan isyaratnya tentang dua
perjalanan tak terbatas ini pada ayat-ayat yang berlainan. Dalam salah satu
ayat-Nya, Allah berfirman, "Sesungguhnya binatang (makhluk) yang
seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah; orang-orang yang pekak dan tuli yang
tidak mengerti apa-apapun"[22]. Dan pada ayat yang lain tentang perjalanan
lain, Allah berfirman, "Tahukah kamu Apakah 'Illiyyin itu? (yaitu) kitab
yang bertulis, yang disaksikan oleh malaikat-malaikat yang didekatkan (kepada
Allah)"[23].
Kecintaan Diri;
Salah satu hal paling prinsipil yang bisa ditemukan dalam
karakter manusia adalah kecintaannya kepada dirinya sendiri. Kecintaan ini
merupakan faktor penggerak yang sangat penting dalam keseluruhan perbuatannya,
dengan makna bahwa seluruh kesenangan yang diraihnya berpijak pada kecintaan
pada zatnya. Kecintaannya kepada anak, kehidupan, dan lain sebagainya bersumber
dari motivasi ini. Kecintaan kepada diri akan membuat manusia menjelajahi
setiap jalan dan mengambil segala hal yang ia anggap akan membawanya menuju
kesempurnaan, dan untuk memperoleh hal tersebut, dia akan memaksa dirinya untuk
bersusah payah.
Dan sebagaimana yang telah kami singgung sebelumnya,
untuk memuaskan instink ini, manusia tidak akan pernah merasa puas dengan
seluruh tingkatan yang telah diperolehnya, dan dia tidak akan pernah
menghalangi keinginan-keinginannya, melainkan akan senantiasa mencari
keuntungan untuk dirinya. Tabiat dan karakternya, keinginannya, egonya, dan
seluruh kemampuannya, akan ia gunakan untuk membawa dirinya kepada tujuan yang
hendak diperolehnya, dan semangat mencari keuntungan dirinya tidak akan pernah
padam, demikian juga ia akan terikat dengan keinginan esensinya.
Bermasyarakat;
Salah satu dimensi wujud manusia yang lain adalah
membentuk suatu peradaban. Peradaban memiliki makna kehidupan bermasyarakat dan
bersosial. Kehidupan manusia pada awal penciptaannya, hampir bisa dikatakan
mempunyai kehidupan yang bersifat individual dan perorangan, dengan makna bahwa
ia sendiri yang membuat bibit tanaman, menanamnya, memanen, memasak lalu
memakannya, dan ia sendiri pula yang menyediakan pakaian, ia sendiri yang
bertanggung jawab terhadap pekerjaan-pekerjaannya, dan ia sendiri yang berusaha
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Lalu secara bertahap mereka memahami
bahwa apabila ingin mengarungi kehidupan ini dengan lebih mudah dan santai,
mereka harus meninggalkan kehidupan individu dan berjalan menuju kehidupan
sosial dan bermasyarakat yang sebagaimana makhluk-makhluk hidup lainnya.
Sebagai contoh, merpati yang senantiasa muncul dengan
pakaian alaminya yang bersih, dengannya badan mereka telah cukup terjaga dari
udara panas maupun dingin. Mereka juga tidak perlu terlalu bersusah payah untuk
menyediakan makanan, karena mereka tidak perlu menanam, memanen, ataupun
memasak makanannya, melainkan dimanapun mereka menemukan biji-bijian, maka
biji-bijian tersebut telah menjadi makanan instant yang siap disantap. Setiap
kali merasakan haus, mereka bisa memanfaatkan setiap air yang mereka dapatkan.
Perkawinan, berumah tangga, dan regenerasi pun tidak juga memerlukan terlalu
banyak pendahuluan, mereka dengan gampang akan memilih pasangannya, bertelur
lalu mengeraminya.
Hewan-hewan lainnya pun memiliki jalan kehidupan yang
serupa, akan tetapi manusia untuk memenuhi setiap kebutuhannya ia tidak akan
pernah bisa menemukan cara yang semudah ini. Untuk menyediakan bahan makanan
saja, mereka harus menanam, memanen, dan memasaknya dengan rasa yang sesuai
selera, demikian juga untuk memasak bahan tersebut, mereka masih harus
menyiapkan peralatan-peralatan dapur sebagai alat memasak. Untuk mempersiapkan
baju dan pakaian, mereka harus menanam kapas terlebih dahulu atau memelihara
domba supaya bisa memanfaatkan bulunya. Lalu kapas dan bulu domba inipun harus
diubah terlebih dahulu menjadi benang, kemudian ditenun menjadi kain, setelah
itu masih harus dipotong, baru kemudian dijahit, dan banyak lagi
pekerjaan-pekerjaan lainnya.
Seandainya manusia hendak hidup sendirian, maka ia juga
harus menjadi tukang batu untuk membangun rumahnya, menjadi tukang kayu untuk
membuat perabot rumah tangga, menjadi petani untuk memenuhi kebutuhan dapur,
menjadi pande besi, dokter, guru, penjahit, koki, dan profesi lainnya. Oleh
karena itu, manusia lalu paham bahwa mereka harus memulai kehidupan mereka
dengan saling bermasyarakat, bersosial, dan bergotong royong dengan sesamanya.
Dalam kehidupan sosial atau bermasyarakat, setiap orang akan bertanggung jawab
terhadap pekerjaan yang dilakukannya. Salah satu dari mereka akan menjadi
dokter, satunya lagi menjadi koki, yang lainnya menjadi tukang batu, ada lagi
yang menjadi tukang kayu, tukang sampah, penjahit, dan demikian seterusnya
sehingga dengan hal seperti ini tidak ada lagi pekerjaan di muka bumi yang
tertinggal. Mereka bekerja secara bersama-sama dan setiap orang mengangkat
beban sesuai dengan kemampuannya, sehingga dengan demikian semuanya mempunyai
peran dalam mengatur kehidupan. Sebagai contoh, guru mengajar anak tukang roti,
dan tukang roti membuat roti untuk kebutuhan makanan sang guru. Para ilmuwan
pun menyerahkan hasil dari jerih payahnya selama berpuluh-puluh tahun ke
telapak tangan masyarakat untuk bisa dimanfaatkan. Dalam kehidupan gotong royong
semacam ini masing-masing pihak akan menikmati hasil jerih payah dari pihak
yang lain, dan setiap orang dalam batas kemampuannya akan memberikan jasa dan
penghidmatannya kepada masyarakat. Gaji yang diperoleh oleh setiap orang
sebagai hasil keringat dalam melakukan pekerjaan, merupakan contoh dari adanya
hubungan keterkaitan dan timbal balik dari penghidmatan dalam kehidupan
bermasyarakat ini. Kehidupan semacam ini dinamakan kehidupan yang berperadaban,
dan hal ini sesuai dengan tabiat dan karakter manusia.
Kebutuhan Manusia atas Hukum;
Dengan memperhatikan dua karakter yang dimiliki oleh
manusia yaitu berperadaban dan kecintaan kepada dirinya, menjadikan kebutuhan
manusia akan aturan dan hukum menjadi semakin jelas, hal ini dikarenakan
keuntungan individual di dalam masyarakat senantiasa saling berbenturan dan
akhirnya akan menimbulkan sengketa. Dan dengan adanya hukum, sengketa dan
perselisihan yang terjadi di dalam masyarakat bisa dihindari. Hukum dibuat
sebagai menjadi penentu dan batasan-batasan hak setiap individu yang ada di
masyarakat, hal ini untuk keuntungan manusia sendiri. Oleh karena itu, hanya
mekanisme yang berpijak pada hukum dan aturan yang bisa berlanjut secara terus
menerus demi menjaga keseimbangan masyarakat. Masyarakat yang tidak memiliki
hukum dan aturan akan menjadi lemah dan senantiasa berada di bawah kekuasaan
"hukum rimba", yang hal ini berarti berada dalam ambang kemusnahan.
SALAM RAHAYU KANTI TEGUH SLAMET BERKAH SELALU
SAUDARA-SAUDARIKU SEMUANYA TANPA TERKECUALI... SEMOGA POSTINGAN SAYA INI
BERMANFA’AT SEBAGAI WAWASAN DAN PENGALAMAN TAMBAHAN KITA.
Ttd: Wong Edan Bagu
Putera Rama Tanah Pasundan
http://putraramasejati.wordpress.com
http://webdjakatolos.blogspot.com
Post a Comment