Ternyata Perasaan Tenang Itu Juga Berbahaya lo.:-)
Ternyata Perasaan Tenang Itu Juga Berbahaya lo.:-)
Oleh: Wong Edan Bagu
Putera Rama Tanah Pasundan
Brebes Rabu tgl 24
Des 2014
Ada satu persoalan yang akhir-akhir ini mengganggu saya.
Tanpa saya sadari, selama ini saya telah terbuai oleh kesibukan sehari-hari dan
merasa tenang-tenang saja dengan urusan Spiritual. Urusan yang sangat penting
sebenarnya. Hari ini barulah saya “ngeh” ternyata Perasa’an tenang itu sangat
berbahaya. Bagaimana tidak?
Karena merasa aman, saya pun lengah terhadap mara bahaya.
Karena merasa terlindungi, saya pun kurang berjaga-jaga. Karena merasa benar,
saya pun jarang bertaubat. Karena merasa sudah menjalankan ibadah rutin dan
sesuai dengan firman Tuhan, saya pun jarang menyucikan diri.
Waow... He he he . . . Edan Tenan.
Apakah Anda juga pernah mengalaminya?
Entahlah, yang jelas, biasanya perasaan seperti ini
memang tidak disadari secara sengaja.
Tapi mari kita mencoba merenung sejenak. Mari-mari kita
menela’ah apa yang selama ini tanpa sengaja telah kita percaya dan kita lakukan
secara otomatis begitu saja.
Pernahkah kita mempertanyakan paradigma-paradigma yang
selama ini kita pegang teguh?
Apakah paradigma kita itu sudah benar?
Mempelajari secara mendalam keyakinan-keyakinan kita?
Mempertanyakan kebenaran ibadah-ibadah kita?
Memeriksa kembali sikap-sikap mental kita?
Ah’... Itulah memang masalahnya. Kita nggak sempat lagi.
Sibuk oleh rutinitas kantor, urusan kuliah, cari uang, mengurus anak dan istri.
Setiap hari berlalu dalam lingkaran yang sama dan mesin kehidupan itu terus
berputar-putar meninabobokkan kita sampai akhirnya tak kita sadari, umur kita
udah makin tua, mendekati liyang kubur yang membuat kita tidak punya waktu
kesempatan lagi.
Tanpa kita sengaja secara sadar, jangan-jangan sebenarnya
selama ini kita beragama itu hanya ikut-ikutan saja, mewarisi
kebiasaan-kebiasaan yang telah dilatih sejak kecil. Saya merasa terpukul sekali
tak mampu menjawab pertanyaan ini. Apakah saya benar-benar mengenal Allah SWT?
Seberapa banyak yang saya tahu tentang Tuhan?
Apakah ketika saya Sembahyang/Shalat, Semedi/Meditasi
saya membayangkan “wajah” Tuhan? Wajah seperti apa yang dibayangkan?
Jangan-jangan selama ini, sebenarnya saya tengah
menyembah Tuhan yang berbeda, Tuhan yang kita reka!... He he he . . . Edan
Tenan.
Ketika mengucapkan “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin“,
“ Gusti Ingkang Moho Suci” apakah saya mengucapkannya datar, cepat atau mungkin
sambil menguap?
Adakah perasaan bahwa saat itu sedang berada di
hadapan-Nya, dan memohon, “Hanya pada Mu ya Allah kami beribadah, hanya kepada
Mu ya Allah, kami memohon pertolongan.” Apakah benar itu permintaan saya?
Mengapa rasanya biasa-biasa saja?
Ketika mengakhiri shalat, saya pun mengucap salam,
“Assalaamu’alaika ayyuhan nabiyyu wa
rahmatullahi wabarakatuh“,”Kulo Nyuwun Pangapuro Dumateng Gusti Ingkang Mh
Suci”. Mengapa saya tak menyadari bahwa saat itu saya sedang mengucapkan salam
kepada baginda Rasulullah SAW, yang saat itu juga pasti beliau membalas salam saya?
Bukankah saat itu tengah berada dalam sebuah majlis yang dihadiri oleh
Rasulullah saw dan ruh-ruh suci lainnya?
Mengapa saya abaikan pertemuan-pertemuan indah itu?
Ya Allah, sungguh selama ini kami telah banyak menzalimi
diri kami.
Tapi mengapa kok saya masih tetap saja merasa tenang?
Seolah-olah sudah yakin sekali bahwa akhir dari hidup
yang singkat ini pastilah surga?
Kenapa saya begitu yakin?
Apakah karena sudah melakukan shalat 5 waktu, puasa di
bulan Ramadhan, naik Haji, berzakat, melakukan amal-amal shaleh, lalu kita
merasa tenang dan yakin bahwa Allah ridha dengan kita?
Saya kira perasaan tenang yang seperti inilah yang memang
amat berbahaya. Karena kita segera akan terjebak pada dosa yang sangat besar,
yang bisa menghapuskan amal-amal shaleh kita. Muncullah perasaan takjub pada
diri sendiri, kagum dengan seluruh amal yang sudah kita lakukan dan merasa jauh
lebih baik dari orang-orang kebanyakan. Jatuhlah kita pada ‘ujub... He he he .
. . Edan Tenan... Naudzubillahi mindzalik.
Lalu saya coba membaca beberapa buku tentang ujub ini.
Ujub (al-’ujub) secara bahasa berarti kagum. Masuk ke dalam bahasa Indonesia
muncullah kata takjub. Menurut kamus bahasa Arab Munjid, ujub adalah suatu
keadaan kejiwaan yang sewaktu-waktu dapat kita ketemukan dalam diri kita.
Umumnya memiliki beberapa indikator atau tanda-tanda tertentu, antara lain
sombong, takabur, menolak dikritik orang, serta menganggap diri kita paling
baik dan benar.
Al-Fahri menerangkan, ujub dalam aqidah, berarti kita
merasa memiliki akidah yang paling benar. Orang lain yang berbeda akidah dengan
kita dianggap sesat. Ujub dalam akhlak, berarti kita merasa bahwa akhlak kita
jauh lebih mulia daripada akhlak orang lain. Dan ujub dalam amalan kita merasa
bangga dengan amal-amal kita dan benar-benar bersandar pada amal itu. Kita
yakin dengan amal itu kita dapat masuk surga.
Ternyata, ketiga jenis ujub seperti itu bisa
menghancurkan amal-amal kita dan menghilangkan seluruh pahala dari amal kita.
Firman Allah SWT, “Katakanlah, apakah akan Kami kabarkan
kepada kamu tentang orang-orang yang paling merugi amal perbuatannya? Itulah
orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, tetapi
mereka mengira mereka telah melakukan kebaikan. …… maka hapuslah amalan-amalan
mereka dan kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi amalan mereka pada hari
kiamat.” (QS. Al-Kahfi ayat 103 – 105)
Jangan-jangan saya termasuk orang beriman yang mengira
dengan iman dan amal saat ini saya sudah merasa cukup. Itulah sebabnya saya pun
merasa tenang. Jangan-jangan di dalam bawah sadar saya ada perasaan bahwa saya
benar-benar sudah beribadah kepada Allah, berbuat banyak untuk Allah, sudah
berbuat baik kepada Allah Ta’ala, lalu mengira dengan amal shaleh itu merasa
memiliki hak atas Allah SWT... He he he . . . Edan Tenan... Nauzubillah min
dzalik!
Mungkin itu pula sebabnya kita sering mempertanyakan,
“Mengapa doa-doa saya tidak dikabulkan Tuhan?!!”
Seolah-olah Tuhan berkewajiban memenuhi doa dan
hajat-hajat kita!!!
Betapa sering, ketika kita berdoa kita “memberi perintah”
kepada Tuhan! Dan Tuhan berkewajiban memenuhinya... Edan Tenan.
Sungguh betapa banyak kebodohan yang kita perbuat selama
ini. Bahkan untuk berdoa saja kita pun tak pernah belajar dengan benar. Bahkan
lebih parah lagi, betapa jarang kita mengucapkan nama-Nya dalam desahan napas
kita. Betapa jarang kita memohon taubat dan memohon ampun dari segala dosa.
Seolah-olah kita ini sudah benar-benar suci.
“Janganlah kamu anggap dirimu suci. Allah mengetahui yang
paling takwa diantara kamu.” (QS. An- Najm : 32)
Padahal Rasulullah SAW yang sungguh-sungguh secara nyata
sudah disucikan Allah, betapa beliau senantiasa beristighfar kepada Allah.
Diriwayatkan pada suatu malam, Ummu Salamah terbangun dari tidurnya. Ia
mendengar Nabi Muhammad sedang istighfar sambil menangis di sudut kamar. Ummu
Salamah bertanya, “Wahai Nabi Allah, mengapa engkau harus menangis dan merintih
seperti itu padahal Allah telah menyucikan dirimu?”
Nabi menjawab, “Bukankah aku belum menjadi hamba yang
bersyukur …”
Dalam salah satu doanya, Rasulullah saw berkata, “Ya
Allah, aku belum mengenal Engkau dengan pengenalan yang sebenar-benarnya. Aku
belum beribadah kepada-Mu dengan ibadah yang sebenar-benarnya.”
Ach! Sungguh malu sekali rasanya. Mengapa kita masih bisa
tenang-tenang saja? Hanya karena dasar alasan tersebut? Hanya dengan Rasa “ANA
APA-APA KUNCI LANGKA APA-APA KUNCI” kita bisa tau tentang iya dan tidaknya.
Hanya dengan Laku Hakekat Hidup:
“GALILAH RASA YANG MELIPUTI SELURUH TUBUHMU. DI DALAM TUBUHMU. ADA FIRMAN TUHAN
YANG MENJAMIN HIDUP MATI DAN DUNIA AKHERATMU” kita bisa ngerti sudah dan
belumnya. Maka... Rnungkanlah.
Semuga Postingan ini bermanfa’at baik untuk siapapun yang
membacanya. Kususnya anak-anak didik saya. Salam Rahayu kanti Teguh Slamet
Berkah Selalu dari saya untukmu Sekalian yang senantiasa di Ridhoi Azza wa
Jalla. Jalla Jalaluhu.
Ttd: Wong Edan Bagu
Putera Rama Tanah Pasundan
http://webdjakatolos.blogspot.com
Brebes Selasa tgl
23 Des 2014
Post a Comment