MANUSIA DALAM TIGA KEHIDUPAN Bagian.02

MANUSIA DALAM TIGA KEHIDUPAN Bagian.02
Oleh: Wong Edan Bagu
Putera Rama Tanah Pasundan
Jakarta. Rabu tgl. 3 Des 2014

Manusia Dalam Tiga Kehidupan Bagian.02;
Sambungan dari Manusia Dalam Tiga Kehidupan Bagian.01;
“Nismatul ‘Adamiyah” ketika sedang mengalami tahapan kehidupan pada dimensi alam jismul mahsusah, hidup di alam rahim dan di alam kehidupan dunia, maka keadaan “nismatul ‘adamiyah” itu mengikuti sebagaimana sunah yang ada di dalam jismul mahsusah. Jati diri manusia itu mengikuti hukum alam lahir dengan segala gravitasi yang ada, maka saat itu “hakekat kehidupan manusia” itu berarti sedang terkurung oleh hukum jasad kasarnya yang terdiri dari daging dan tulang dengan segala instrumen kehidupan yang ada, seperti nafsu dan akal beserta segala kandungan di dalamnya.

Meskipun demikian, jati diri manusia itu suatu saat sebenarnya mendapatkan kesempatan untuk terbang tinggi memasuki alam ghaib, yakni ketika keadaan jismul mahsusah itu sedang lemah—orang sedang tidur misalnya—maka “nismatul ‘adamiyah” itu sedikit demi sedikit meninggalkan alam dimensi jismul mahsusah untuk memasuki alam dimensi jismul lathif. Saat itu kadang-kadang ia memasuki dimensi alam ruh (alam malakut), menerobos sekat rahasia alam Lauh mahfudz, maka jati diri manusia yang jasadnya sedang tidur itu kadang-kadang dapat melihat keadaan yang sudah terjadi dan juga membaca situs-situs tentang keadaan yang akan terjadi. Bahkan memasuki dimensi alam barzah, maka ia bertemu dan berdialog dengan teman-temannya yang sudah mati. Inilah bagian dari rahasia alam mimpi, sehingga disabdakan dalam sebuah hadits bahwa mimpi orang yang beriman adalah seper empat puluh alam kenabian.

Seperti contoh orang yang sedang sakit keras misalnya, dalam puncak merasakan rasa sakit itu, antara sadar dan tidak, kadang-kadang manusia seakan-akan terbang ke awang-awang. Yang demikian itu sejatinya “nismatul ‘adamiyah” itu yang sedang terbang meninggalkan gravitasi jismul mahsusah, bahkan melewati batas titik kulminasi antara dua dimensi alam tersebut, maka orang itu mengalami sebagaimana yang dialami orang mimpi. Oleh karena itu, di dalam keadaan antara sadar dan tidak sadar itu kadang-kadang orang yang sedang sakit itu dapat merasakan kehadiran makhluk-makhluk lain di sekitarnya, dan bahkan melihat orang-orang yang sudah mati yang pernah dikenal saat hidupnya.

Kalau seandainya matahati orang yang sedang sakit itu cemerlang, penuh dengan “nur iman” dan “nur yakin”, maka dengan izin Allah ia akan mengetahui dengan pasti keadaan yang dipersiapkan untuknya setelah matinya. Dan ketika saat itu yang dilihat adalah kebun surga maka ia akan mati dengan tenang dan damai, mati di dalam keadaan hati yang selamat, sesuai FirmaNYA... He he he . . . Edan Tenan.  Itulah yang disebut dengan mati “husnul khotimah” (akhir yang baik), cara mati yang sangat diidam-idamkan oleh orang-orang yang beriman. Semoga dengan pertolongan dan izin-Nya pula kita mampu menggapainya.

Allah membongkar rahasia keadaan itu dengan firman-Nya:
Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, padahal kamu ketika itu melihat dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu, Tetapi kamu tidak melihat” (QS. al-Waqi’ah; 83-85)

Ketika “kehidupan manusia” (nismatul ‘adamiyah) itu berada pada tahapan alam rahim ia juga mengikuti proses perkembangan keadaan janin yang ada. Yang asalnya saripati air mani kemudian selama empat puluh hari menjadi segumpal darah, empat puluh hari lagi sebagai segumpal daging dan kemudian empat puluh hari lagi sebagai tulang yang dibungkus daging. Ketika kejadian itu sudah sempurna, maka Allah memerintahkan Malaikat Ruh untuk meniupkan Ruh kehidupan kepadanya, sehingga sejak saat itu “nismatul adamiyah” itu menjadi hidup di alam dunia sebagai janin yang kemudian akan menjadi manusia sempurna dengan dibungkus jismul mahsusah ketika janin itu sudah dilahirkan oleh ibunya ke dunia.

Ketika manusia mati untuk pertama kalinya di dunia, maka Ruh yang ditiupkan oleh Malaikat ruh di dalam rahim itu dicabut kembali, namun itu bukan oleh Malaikat Ruh yang pertama kali meniupkannya di alam rahim, tetapi oleh malaikat Izra’il yang memang ditugaskan untuk mencabut nyawa manusia. Setelah ruh tersebut dicabut, maka jasad kasar atau jismul mahsusah yang selama ini menjadi tempat tinggal ‘nismatul ‘adamiyah’ menjadi kaku dan mati dan selanjutnya dikubur dan kembali menjadi tanah. Adapun “nismatul ‘adamiyah” tidak ikut mati tetapi tetap hidup dan berangsur-angsur masuk alam barzah kemudian alam akhirat dengan menempati jasad baru, yaitu jasad halus yang disebut dengan jismul lathif untuk mempertanggung jawabkan segala yang pernah diperbuatnya di dunia.

Walhasil... Ruh yang ditiupkan Malaikat Ruh di alam rahim tersebut bukan ”hakekat manusia” atau jati diri manusia sebagaimana yang banyak diyakini oleh beberapa kalangan, melainkan sekedar Ruh yang menghidupi jismul mahsusah selama di dunia. Ruh itu seperti baterai yang menghidupkan robot, ketika baterai itu di ambil maka robot itu mati. Oleh karena itu, orang yang mati disebut dicabut Ruhnya. Padahal keadaan yang sebenarnya tidaklah demikian, jati diri manusia itu tidak mati, melainkan pindah alam untuk melanjutkan kehidupannya yang lebih panjang.

Dengan Ruh yang ditiupkan dalam rahim tersebut, janin—sebagai jasad kasar pembungkus jati diri manusia, yang asalnya mati menjadi hidup. Dengan hidupnya daging dan tulang itu, jati diri manusia atau nismatul adamiyah selanjutnya dapat mengaktualkan kehidupannya kepada dunia luar dengan menggunakan instrumen kehidupan—seperti mata, telinga dan otak—yang tersedia di dalam jasad kasar tersebut.

Allah menyatakan hal ini dengan firmanNya:
Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh) nya Ruh (ciptaan) -Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur”. (QS.as-Sajadah;32/9)

Oleh karena itu, jika salah satu dari instrumen kehidupan jasad kasar itu kebetulan terlahir dalam keadaan tidak sempurna, seperti tuli misalnya, maka kehidupan manusia tersebut juga berjalan tidak sempurna. Hal itu disebabkan, karena nismatul adamiyah yang menghidupi daging dan tulang itu tidak mampu mengaktualkan kehidupannya secara sempurna. Terkadang jasad kasar manusia itu malah dihidupi oleh makhluk jin, seperti keadaan orang yang kesurupan jin. Hal itu bisa terjadi, karena saat itu jin sedang dapat menguasai jati diri manusia, sehingga instrumen kehidupan jasad kasar tersebut dijadikan sarana oleh jin untuk mengaktualkan kehidupannya di alam manusia.

Disaat manusia menjalani tahapan alam kehidupan dunia, maka “nismatul adamiyah” itu mengikuti sunnah yang berlaku pada alam jismul mahsusah. Jati diri manusia itu mengikuti proses perkembangan mendewasakan hidupnya mengikuti kemampuan instrument kehidupan jasad kasar tersebut. Ketika anak manusia itu harus melengkapi dirinya dengan ilmu pengetahuan, lalu ilmu itu diamalkan, dan selanjutnya membentuk menjadi karakter, dimana seharusnya manusia saat itu mampu berma’rifat atau mengenal, yang pertama kepada dirinya sendiri, kemudian lingkungannya dan selanjutnya supaya dapat berma’rifat kepada Tuhannya. Keadaan yang dialami jati diri manusia itu seperti perangkat komputer yang harus diinstall dengan program-program, betapa canggihnya perangkat keras computer tersebut tanpa perangkat lunak yang canggih, komputer itu tidak akan mampu membawa kemanfaatan yang berarti.

Adapun alam jismul lathif dan alam jismul mahsusah, atau alam batin dan alam lahir, kedua alam itu hakekatnya satu, hanya saja antara keduanya dibatasi dengan ruangan (barzah). Keadaan itu bagaikan dua samudera yang dipisahkan oleh daratan, namun suatu saat dengan ilmu Allah, kedua samudera itu dibiarkan dapat bertemu. Atau seperti bumi yang dibatasi atmosfir, maka sunnah yang ada di dalam atmosfir itu berbeda dengan sunnah yang ada diluarnya, padahal dua ruangan itu sama-sama di dalam ruangan alam yang satu.

Allah memberikan isyarat dengan firman-Nya:
Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya”. (QS. al-Anfal (8); 24).

Dan lebih jelas lagi firman Allah.
Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu,(*)antara keduanya ada batas yang tidak dapat dilampaui oleh masing-masing.(QS.ar-Rahman (55); 19-20).

Uraian tentang tiga tahap kehidupan manusia beserta rahasia alamnya, yaitu alam jismul lathif dan alam jismul mahsusah di atas, merupakan konsep dasar yang Pernah saya pelajari sewaktu mendalami ilmu agama di pesantren,,,, tempoe doeloe..... Sekali. Lalu di akhir-akhir Laku ini saya padukan antar ayat yang tersurat yang pernah saya pelajari dulu dengan ayat yang tersirat yang sedang saya pelajari sa’at sekarang ini. dalam rangka beristimbat untuk mencari makna dan menta’wilkan firman-firman Allah tersebut di atas. Pamrih saya... Uraian tersebut hendaknya dijadikan dasar pijakan bagi para pembaca untuk menindaklanjuti  uraian-uraian Spiritual Selanjutnya di manapaun dan kabapanpun berikutnya. SELESAI:

SALAM RAHAYU KANTI TEGUH SLAMET BERKAH SELALU... Dari saya untukmu sekalian.
Ttd:
Wong Edan Bagu
Putera Rama Tanah Pasundan

http://webdjakatolos.blogspot.com