Urip (Ora) Mung Mampir Ngguyu dan Cikal Apupus Limar:
Urip (Ora) Mung Mampir Ngguyu:
Oleh: Wong Edan Bagu.
Putera Rama Tanah Pasundan
Cirebon tgl 09-09-2000
BENARKAH urip ini juga mung mampir ngguyu? Jika demikian,
haruskah kita memiliki kesanggupan untuk ngguyu pada setiap waktu? Atau, untuk
‘’sekadar’’ ngguyu, juga harus angon wektu dan memerhatikan berbagai
pertimbangan lain agar tidak malah digeguyu atau bahkan dianggap subversif?
Pada Mbah Surip, penyanyi lagu ‘’Tak Gendong’’ itu, tawa
yang selalu memungkasi ucapannya telah menjelma sebagai ciri khas, di samping
model rambut gimbalnya. Pada tokoh Dursasana dalam jagad pewayangan, tawa pun
tak pernah lepas setiap kali ksatria golongan Kurawa itu menyudahi kata-kata
renyahnya.
Jika hendak diteruskan, tentu masih ada sederetan nama
yang telah menjadikan tawa sebagai bagian penting pembangun brand image. Lewat
tawa yang diproduksi alat ucapnya, yang ditopang oleh ekspresi wajah dan saraf
tawa tentunya, seseorang memang bisa mencitrakan diri sebagai sang periang.
Itulah kenapa, dalam berbagai kesempatan untuk
memperebutkan simpati khalayak, orang merasa tidak cukup dengan menebar senyum
—apalagi wajah dengan ekspresi datar-datar saja— tetapi juga tawa. Lewat tawa,
citra positif diyakini bakal terbangun.
Ada lagi orang yang hidupnya sangat bergantung pada tawa
banyak orang. Para pelawak atau dagelan contohnya. Tanpa sambutan tawa para
penonton, tak akan bisa dikatakan seorang pelawak berhasil menjalankan
pekerjaannya. Tanpa tawa penonton, seorang pelawak lebih pantas untuk meratapi
diri sendiri.
Dengan sambutan tawa para penonton setiap kali manggung,
bukan hanya bayaran sepadan yang pantas ia harap seusai pentas, tetapi juga
tanggapan-tanggapan lainnya setelah itu. Tawa adalah hidup-matinya pelawak.
Pada berbagai tontonan, lebih sering aspek lucu menjadi
kekuatan tersendiri kalaulah bukan yang utama. Yang menarik, tak jarang sebuah
tontonan ditakar dari kualitas kelucuannya. Itulah kenapa, di tengah-tengah
komunitas ketoprak Pati, dikenal jargon ‘’kethoprak sing rame tur akeh
lucune’’. Artinya, ketoprak yang menarik bagi para penonton adalah yang ramai
oleh perang fisik dan perang kata sekaligus banyak candanya.
Seorang komunikator yang baik, entah pembicara dalam
sebuah seminar ataupun guru yang sedang mengajar, kerap kali harus menyisipkan
lelucon. Dengan begitu, seberat dan seserius apa pun paparannya, diharapkan
para penyimaknya tetap dalam suasana cair.
Sebuah ungkapan klise juga menyebut ‘’tertawa itu
sehat’’. Ya, jika ingin sehat, tertawalah. Sekalipun demikian harus segera
diimbuhkan bahwa tertawa yang tidak pada tempatnya atau tertawa terus-terusan
justru hanya membuat seseorang pantas menghuni rumah sakit jiwa. Edan namanya.
Genetika Guyu;
Memang tertawa atau ngguyu tidak sekadar ngakak, menampakkan
barisan gigi, dengan harapan bukan hanya dirinya yang kelihatan senang tetapi
juga orang lain ikut bergembira. Ngguyu tidak bisa dilakukan pada setiap waktu,
juga tidak di setiap tempat. Ada waktu yang tepat untuk ngguyu ataupun
ngguyokake, ada tempat yang pener pula untuk ngguyu dan guyonan. Dengan
demikian, ada pula waktu dan tempat yang tidak tepat untuk ngguyu atau gumuyu,
apalagi ngguya-ngguyu dhewe.
Ketika akan mengekspresikan diri dengan guyu, orang yang
sudah menghayati rasa sudah pasti tidak hanya mempertimbangkan di mana
sesungguhnya ia ngguyu dan kapan ia ngguyu, tetapi juga siapa yang (akan)
diguyu. Sebab, tidak semua orang suka diguyu, tidak semua orang pantas diguyu
atas suatu tindakannya sekalipun mungkin lucu.
Bukan tidak mungkin, sebuah guyu yang pada mulanya hanya
sebagai respons atas sebuah kelucuan justru dianggap sebagai tindakan subversif
lantaran yang diguyu adalah sebuah kemapanan yang harus dijaga dari segala
guyonan.
Karena itu, guyu juga mengenal semacam genetika. Secara
umum, guyu selalu dioposisikan dengan tangis. Guyu dianggap sebagai ekspresi
kegembiraan, sedangkan tangis sebagai penanda kesedihan. Itu secara umum, sebab
tak jarang pula dalam kegembiraan justru sesorang bisa menitikkan air mata,
menangis. Sebaliknya, dalam kesedihan yang tak tertanggungkan, orang bisa
mengekspresikannya dalam bentuk guyu.
Karena itu, dalam soal ngguyu, aja waton ngguyu. Jangan
asal tertawa. Kenapa?
Bukannya orang lain jadi ikut senang karena guyu kita,
tetapi justru sebaliknya. Tragisnya, guyu yang dimaksudkan bisa memantik guyu
baru dari orang lain justru hanya digeguyu. Digeguyu, tentu tidak memiliki arti
yang berbobot positif, tetapi jelas negatif. Ini sepadan dengan dicibir.
Sebenarnya, bukan hanya guyu yang tidak tepat saja yang potensial
untuk digeguyu. Tindakan apa pun yang tergolong gonyak-ganyuk nglelingsemi,
yang dilakukan oleh orang yang tidak paham akan esem, semu, dan semon, sudah
tentu berhak untuk digeguyu.
Itulah kenapa, sebuah pertunjukan yang mengedepankan
aspek guyon tetap saja dilabeli sebagai guyon maton. Maksudnya jelas, agar
guyonan yang disajikan itu berdasar, sehingga yang tengah menebarkan guyonannya
tidak asal muni. Begitu pula yang disodori guyonan, tidak asal ngguyu, tetapi
juga —sebisa mungkin— menggunakan waton tertentu.
Dengan demikian, pada sebuah guyon juga sudah semestinya
bersemayam kesungguhan, keseriusan. Dengan begitu pula, setiap guyon juga tidak
boleh dianggap sebagai main-main belaka.
Sekalipun demikian, secara umum tetap perlu dimengerti
bahwa ngguyu atau gumuyu adalah sebuah semiotika kebahagiaan. Karena itulah, di
tengah-tengah derita banyak rakyat yang kian menjadi-jadi, terwujudnya ‘’wong
cilik bisa gumuyu’’ menjadi semacam mantra sakti yang menjanjikan. Dalam guyu
merekalah kebahagiaan dan ketercukupan itu terpanparkan.
Ya, boleh jadi urip mung mampir untuk bisa gumuyu. Bukan
waton gumuyu, tanpa memedulikan sapa atau apa sing diguyu, kapan olehe ngguyu,
dan ing ngendi anggone ngguyu. Sebab, jika itu yang terjadi, justru akan
berujung pada urip mung mampir digeguyu. Sungguh tragis! … He he he . . . Edan
Tenan. Salam Rahayu kanti Teguh Slamet Berkah Selalu Lurr… Semoga Bermanfa’at.
Amiin
Ttd: Wong Edan Bagu
Cikal Apupus Limar:
HIDUP sederhana selalu menjadi salah satu prinsip penting
dalam kehidupan masyarakat Jawa. Itu merupakan bagian dari tatanan paugeraning
ngaurip dalam budaya masyarakat agraris, yang harus menjalani dan mengisi hidup
dengan cara eling, prasaja lan sakmadia. Ini tidak dapat dilepaskan dari
hubungan manusia dengan lingkungan hidup, baik yang berupa persawahan, ladang,
semak maupun hutan. Intinya ada â€rasa alam†yang dibudidayakan dan dimanfaatkan. Dasar pertanian
masyarakat Jawa ialah budidaya beras dengan irigasi yang dilengkapi pelbagai
ladang palawija kering dan pemeliharaan pohon-pohon dan semak-semak hiasan.
Identifikasi penduduk desa dengan sebidang tanah, tidak
terbatas pada sebidang tanah yang diolah anggota masyarakat. Secara etnografis,
dikenal pola hak milik tanah yang bersifat individual maupun kolektif (termasuk
lahan tanah milik desa dan bengkok), yang memungkinkan pemilikan tanah desa
berdasarkan persaratan teritorial mengenai pelbagai macam sistem mata
pencaharian. Dinamika kehidupan sosial ekonomi petani ditunjukkan melalui
panen, termasuk hasil pekarangan, kerajinan dan perdagangan di pasar lokal.
Karena itu desa dengan kelompok padhukuhan, secara epigrafis merupakan unit
ekonomis dan politis terkecil yang dapat dilihat di dataran-dataran rendah Nusa
Jawa.
Dalam kehidupan demikian suatu rumah tangga (somah) harus
menjalin hubungan baik dengan tetangga, keluarga-keluarga se-dhukuh dan lain
desa. Hubungan dinyatakan dalam cara bergotong royong menurut sopan santun dan
kewajiban tertentu, dalam bentuk sambat sinambat, tetulung, layat, jagong,
slametan dan lain-lain. Kekerabatan memiliki asas kegunaan dalam pergaulan
sosial. Di samping rasa hangat dan keakraban, juga dapat memberikan semacam
identitas, yang dapat meninggikan kedudukan sosial dan gengsi, serta pelbagai
hal yang berkaitan dengan hak-hak pewarisan.
Karena itu klasifikasi simbolik orang Jawa tentang hidup,
menekankan corak kesembangan manusiawi yang melahirkan nilai-nilai keselarasan,
kesadaran sosial dan moral yang berpusat pada rasa-pangrasa. Kesadaran yang
dikaitkan rasa eling, prasaja lan sakmadia, menurut Serat Wulangreh juga
merupakan sarana untuk melatih hati agar lantip ing sasmita, mengingat orang
yang hidup berlebihan cenderung mengurangi kaprayitnaning batin.
Tradisi sosial yang paternalistik demikian, menurut
Prasasti Canggal (732) merupakan sumber corak hubungan kekuasaan Jawa kuno.
Setiap desa yang dipimpin oleh seorang rama, memegang tanggung jawab akan
keamanan dan kesejahteraan penduduk. Secara politik mereka bergabung dengan
desa sekelilingnya berdasar sistem mancapat-mancalima, yang dipimpin seorang
raka. Pola itu yang membangun konsep dasar tentang raja-raja Jawa, dengan asas
keratuan untuk menjadi pelindung kehidupan dunia dengan prinsip keadilan.
Hormat dan tunduk pada orang tua dan keluarga yang lebih tua, merupakan unsur yang
kuat dalam dalam hubungan antara anggota keluarga raja-raja Jawa. Manusia Jawa
tunduk pada masyarakat, dan sebaliknya masyarakat tunduk kepada
kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi dan halus, baik secara sosial maupun
kosmologi. Sejak dahulu, itu disimbolisasikan denganraja
gunung, yang dianggap pusat otoritas spiritual
nenek moyang dan merupakan pusat kehidupan alam semesta.
Pola organisasi politik di Jawa mempunyai kecenderungan
menjauhkan diri dari pusat (tendensi sentrifugal), dengan sifat memecah dan
desentralistik yang diperkuat susunan ekonomi swasembada. Pola tersebut
mendorong pangeran dianggap absah karena masih keturunan salah satu keluarga
yang dahulu berkuasa, untuk berinisiatif membangun kekuasaan. Itu, jika ia
memiliki jumlah pengikut memadai dan dukungan kelompok desa-desa yang setia,
dan juga memang memiliki alasan politik kuat.
Itu modal untuk membentuk kekuatan politik teritorial dan
suprastruktur Negara yang baru. Dalam sejarah, tokoh pembangun dinasti seperti
ini sering disebutrajakula.
Hal yang cukup menarik, mereka itu biasanya memembentuk kekuasaan secara
deklaratif dengan seremonial lokal di tempat-tempat yang jauh dari pusat
kekuasaan.
Di antara yang menonjol dialami oleh Dyan Wijaya. Setelah
mendapatkan dukungan dari penguasa wilayah timur (Madura dan ujung timur Nusa
Jawa), meski di bawah kontrol Jayakatwang, ia membangun pengaruh politiknya
dari wilayah Hutan Tarik yang sedang mulai dibangun untuk pemukiman baru. Oleh
para pengikutnya yang setia, ia ditasbihkan sebagai raja baru di negeri baru
yang dinamakan Majapahit, di atas kumpulan dedaunan dan ranting-ranting basah
yang telah diurug tanah, sedang di hadapannya yang jauhnya kurang dari 10
meter, masih dipenuhi tumpukan sampah yang menggunung.
Seremonial demikian bukan sekadar bentuk dari pembentukan
patronase politik yang baru, juga sebagai corak laku hamemayu hayuning bawana
yang diibaratkan cikal apupus limar. Tanaman kelapa muda yang berpucuk daun
kelor, sebagai simbolik seorang rajakula yang memperoleh berkah lebih besar
dari yang diharapkan. … He he he . . . Edan Tenan. Salam Rahayu kanti Teguh
Slamet Berkah Selalu Lurr…
Muga Bermanfa’at.
Salam Rahayu kanti Teguh Selamat Berkah Selalu
Ttd:
Wong Edan Bagu
Putera Rama Tanah Pasundan
http://putraramasejati.wordpress.com
http://wongedanbagu.blogspot.com
Post a Comment