TUHAN DALAM HAKEKAT HIDUP (KUNCI) Part-2
RUMUS TAZKIYAH (HAKEKAT HIDUP/KUNCI)
Oleh: Wong Edan Bagu.
Putera Rama Tanah Pasundan
Jakarta Selasa tgl 02-09-2014
ZIKIR & SHOLAWAT;
Qod aflaha man tazakka.
Sungguh beruntung orang yang membersihkan hati dan jiwa
raganya dari segala noda (kotoran).
“Gusti ingkang maha suci. Kula nyuwun pangapura dumateng
gusti ingkang maha suci. Sirolah datolah sipatolah. Kula sejatine sateriya.
Nyuwun wicaksana nyuwun panguasa. Kangge tumindake sateriya sejati. Kula nyuwun
kangge hanyirna’ake tumindak ingkang luput”.
Wa dzikara isma robbihi fa sholla.
Dan kemudian berzikir dengan menyebutkan nama tuhannya
ALLAH, dan kemudian bersalawat (QS. Al-Alaa ayat 14-15)
“Siji-siji Loro-loro Telu-telonana. Siji sekti-loro
dadi-telu pandita. Siji wahyu-loro gratrahina-Telu rejeki”.
Cinta Pada Guru Gerbang Cinta Pada Rasul;
Didalam ajaran tasawuf, adab kepada guru Mursyid adalah
sesuatu yang utama dan pokok, karena hampir seluruh pengajaran tasawuf itu
berisi tantang pembinaan akhlak manusia menjadi akhlak yang baik, menjadi
akhlak yang mulia sebagaimana akhlak Rasulullah SAW. Seorang murid harus selalu
bisa memposisikan (merendahkan) diri di depan Guru, harus bisa melayani Guru
nya dengan sebaik-baiknya.
Abu yazid al-Bisthami terkenal dengan ketinggian
hadapnya. Setiap hari selama bertahun-tahun Beliau menjadi khadam (pelayan)
melayani gurunya sekaligus mendengarkan nasehat-nasehat yang diberikan gurunya.
Suatu hari Guru nya menyuruh Abu Yazid membuang sampah ke jendela.
Buang sampah ini ke jendela, dengan bingung Abu Yazid
berkata, Jendela yang mana guru?
Bertahun-tahun engkau bersamaku, tidak kah engkau tahu
kalau di belakangmu itu ada jendela
Abu Yazid menjawab, Guru, bagaimana aku bisa melihat
jendela, setiap hari pandanganku hanya kepada mu semata, tidak ada lain yang
kulihat.
Begitulah adab syekh Abu Yazid Al-Bisthami kepada
gurunya, bertahun-tahun Beliau tidak pernah memalingkan pandangan dari Guru
nya, siang malam yang di ingat hanyalah gurunya, lalu bagaimana dengan kita
yang selalu dengan bangga menyebut diri sebagai murid seorang Saidi Syekh?
Banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari cerita Abu
Yazid. Kalau Abu Yazid tidak pernah memalingkan pandangan dari guru nya, kalau
kita jauh panggang dari api, ketika Guru sedang memberikan fatwa masih sempat
ber-SMS ria, masih sempat bermain game (kalau ponselnya punya game), masih
sempat ketawa ketiwi. Kalau Abu Yazid tidak pernah tahu dimana letak jendela,
kalau kita malah bisa tahu berapa jumlah jendela dirumah Guru sekalian warna
gordennya, mungkin juga kita tahu jumlah pot bunga di ruangannya.
Kita bukanlah Syekh Abu Yazid, atau bukan juga Syekh
Burhanuddin Ulakan yang mau masuk kedalam WC (Septictank) mengambil cicin
gurunya (Syekh Abduraauf as-Singkily/Syiah Kuala) yang jatuh saat buang hajat,
kita bukan juga Imam al-Ghazali yang mau membersihkan kotoran gurunya dengan
memakai jenggotnya, kita bukan juga Sunan Kalijaga yang dengan sabar menjaga
tongkat guru nya dalam waktu yang sangat lama. Kita juga bukan Syekh Abdul
Wahab Rokan yang selalu membersihkan WC guru nya (syekh Sulaiman Zuhdi q.s)
dengan memakai tangannya.
Kita bukanlah Beliau-beliau yang sangat mulia itu yang
selalu merendahkan dirinya dengan serendah-rendahnya dihadapan gurunya. Kita
bukan mereka, tapi paling tidak banyak hal yang bisa dijadikan contoh dari
kehidupan mereka agar kita berhasil dalam berguru.
Merendahkan diri dihadapan guru bukanlah tindakan bodoh,
akan tetapi merupakan tindakan mulia. Dalam diri guru tersimpan Nur Ala Nurin
yang pada hakikatnya terbit dari zat dan fiil Allah SWT yang merupakan zat yang
Maha Positif. Karena Maha Positif maka mendekatinya harus dengan negatif. Kalau
kita dekati yang Maha Positif dengan sikap positif maka rohani kita akan
ditendang, keluar dari Alam Rabbani.
Disaat kita merendahkan diri dihadapan guru, disaat itu
pula Nur Allah mengalir kedalam diri kita lewat guru, saat itulah kita sangat
dekat dengan Tuhan, seluruh badan bergetar dan air mata pun tanpa terasa
mengalir membasahi pipi. Hilang semua beban-beban yang selama ini memberatkan
punggung kita, menyesakkan dada kita, dan yang bersarang dalam otak kita. Ruh
kita terasa terbang melayang meninggalkan Alam Jabarut melewati Alam Malakut
sambil memberikan salam kepada para malaikat-Nya dan terus menuju ke Alam
Rabbani berjumpa dengan SANG PEMILIK BUMI DAN LANGIT. Pengalaman beberapa orang
yang berhadapan dengan Guru Mursyid yang Kamil Mukamil Khalis Mukhlisin
menceritakan bahwa jiwanya terasa melayang, tenang dan damai, seakan-akan badan
tidak berada di bumi, inilah yang disebut fanabillah, seakan-akan disaat itu
Tuhan hadir dihadapannya dan seakan-akan telah mengalami apa yang disebut
dengan Lailatul Qadar.
Semoga Allah Swt menjadikan kita semua Hamba yang kenal
dan cinta kepada Rosul Nya. Dan demikianlah sedikit penjabaran saya mengenai
sistem KETUHANAN DALAM HAKEKAT HIDUP (KUNCI): TAMAT.
Muga Bermanfa’at.
Salam Rahayu kanti Teguh Selamat Berkah Selalu
Ttd:
Wong Edan Bagu
Putera Rama Tanah Pasundan
http://putraramasejati.wordpress.com
http://wongedanbagu.blogspot.com
Post a Comment