TENTANG PERSELINGKUHAN:
Perselingkuhan dalam Rumah Tangga, Salah Siapa?
Oleh: Wong Edan Bagu.
Putera Rama Tanah Pasundan
Jakarta sambu tgl 20 Sept 2014
AJARAN agama mana pun di dunia ini, pasti tak ada yang
membenarkan perselingkuhan dalam rumah tangga. Begitupun dengan norma-norma
yang berlaku di masyarakat, pasti memandang negatif perselingkuhan, termasuk di
negara-negara Barat sekalipun, yang terkenal dengan sekulerisme dan
hedonismenya. Pernikahan, benar-benar dianggap sebuah “wadah” yang harus steril
dari perselingkuhan, dan kesetiaan menjadi mutlak 100% bagi pasangan suami-istri,
tak peduli berapa pun umur pernikahannya, dan bagaimanapun kondisi
pernikahannya.
Akan tetapi, realitas hidup di masyarakat berkata lain.
Tanpa perlu data statistik yang resmi dan valid, kita pasti tahu betapa
mudahnya perselingkuhan dalam rumah tangga terjadi di masyarakat kita. Kita tak
perlu menonton sinetron, telenovela, atau infotainment di televisi untuk bisa
menyaksikan perselingkuhan, karena hal itu bisa kita temukan dalam kehidupan
sehari-hari, bahkan di depan mata kita. Perselingkuhan bisa dilakukan oleh
tetangga kita, kerabat kita, saudara kita, teman kita, teman kerja kita, atasan
kita, guru/dosen kita, sahabat dekat kita, orang tua kita, saudara kandung
kita, atau bahkan kita sendiri.
Perselingkuhan, dengan atau tanpa hubungan seks, meskipun
jelas-jelas haram menurut agama dan dicap buruk oleh masyarakat, pada
kenyataannya begitu mudah untuk ditemukan, bahkan untuk dilakukan.
Perselingkuhan pun bukan menjadi monopoli pihak tertentu. Perselingkuhan tak
kenal status sosial, tingkat pendidikan, jabatan, bidang profesi, domisili,
bahkan gender. Kemajuan media massa dan teknologi semakin memperparah
“mewabahnya” perselingkuhan. Istilah SII (selingkuh itu indah) seolah
menjadikan perselingkuhan sebagai tren yang populer di masyarakat. Kalau
kenyataannya seperti itu, kita jadi bertanya-tanya, ada apa di balik semua ini?
Apa yang salah? Dan… siapa yang salah?
Dipandang dari sudut agama, maraknya perselingkuhan bisa
dianggap sebagai indikasi menipisnya keimanan dan ketakwaan masyarakat kita,
yang katanya “masyarakat religius”. Di zaman globalisasi seperti sekarang ini,
memang hal-hal yang bersifat religi sering “terbenamkan” oleh hal-hal duniawi.
Tapi ternyata, permasalahannya tidak sesederhana itu.
Masalah perselingkuhan dalam rumah tangga adalah masalah yang sangat kompleks
dan pelik, meski kita “biasa” mendengarnya. Kita harus benar-benar berpikir
secara jernih, objektif, proporsional dan bijak dalam melihat masalah ini.
Memang ada banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut
bisa terjadi. Tapi yang jelas, kita tak bisa “menghakimi” media massa dan
teknologi sebagai pihak yang salah. Karena meskipun media massa melalui
televisi begitu rajin menyuguhkan acara-acara sinetron, telenovela dan
infotainment yang menceritakan tentang perselingkuhan, dan juga koran/tabloid
yang juga rajin memuat berita atau cerita tentang perselingkuhan, yang bisa
saja menjadi “contoh” dan “inspirasi” yang tidak baik kepada penonton dan
pembacanya, tapi media massa hanyalah mengangkat potret masyarakat kita yang
sebenarnya, dan bukan didasarkan pada imajinasi semata ataupun sebuah
propaganda.
Sedangkan teknologi, meskipun menghasilkan HP dengan
segala fasilitasnya, dan juga internet dengan segala fasilitasnya yang menjadi
booming di masyarakat kita bisa dijadikan “sarana” dan “media” selingkuh yang
mudah, cepat, efisien, dan efektif, tapi teknologi hanyalah “alat bantu”
manusia. Segala manfaat dan mudaratnya sangat bergantung pada manusia sebagai
subjek.
Secara simpel tentu saja perselingkuhan dalam rumah
tangga berkaitan langsung dengan pasutri yang bersangkutan. Salah satu pihak
pasutri yang berselingkuh pastilah dianggap sebagai pihak yang salah. Akan
tetapi, tanpa bermaksud “membela” pihak “peselingkuh” tersebut, kita juga harus
bisa melihat dan menilai secara objektif dan proporsional apa “latar belakang”
dan “penyebab” orang tersebut melakukan perselingkuhan. Kita tak bisa memberi
cap “peselingkuh” tersebut sebagai orang bejat, tidak bermoral, atau orang tak
beragama. Karena realitanya, tak sedikit “peselingkuh” tersebut termasuk tipe
suami/istri yang orang “baik-baik”, cukup taat beribadah, dan bukan tipe orang
yang “gatel”, yang senangnya kelayapan dan lihai mencari “mangsa”.
Ada banyak “motivasi” dan “latar belakang” pasutri
melakukan perselingkuhan, yang sebenarnya hal tersebut merupakan indikator
“ketidakberesan” di dalam rumah tangga mereka, walau sekecil apa pun. Berbagai
beban, tekanan, dan problem hidup yang menumpuk dan bervariasi yang dialami
pasutri di dalam rumah tangga mereka merupakan faktor utama; mulai dari masalah
ekonomi, masalah anak, masalah “keluarga besar” (bisa dari keluarga salah satu
pihak/malah kedua belah pihak), masalah psikis, komunikasi yang buruk, tempat
tinggal terpisah di kota yang berjauhan, masalah pekerjaan, perbedaan status
sosial dan pendidikan yang mencolok, perbedaan persepsi dan idealisme yang
mencolok, “terjebak” pada rutinitas, kejenuhan, masalah seksual, dan masih
banyak lagi.
Semua masalah itu membuat rumah tangga pasutri mana pun
menjadi rentan perselingkuhan, yang kalau dibiarkan begitu lama dan intens bisa
menjadi bom waktu, yang sewaktu-waktu bisa “meledak” dan menghancurkan semua
yang telah susah payah dibangun selama ini.
Kehadiran WIL (wanita idaman lain) atau PIL (pria idaman
lain), baik yang masih single, janda/duda, ataupun sama telah menikah, memang
banyak dituding sabagai biang kerok terjadinya perselingkuhan di dalam rumah
tangga. Tak sedikit istri yang langsung melabrak wanita selingkuhan suaminya,
ataupun suami yang langsung ngamuk kepada pria selingkuhan istrinya, begitu
mereka mengetahui perselingkuhan pasangannya. Tapi, benarkah semua “kesalahan”
itu harus ditimpakan kepada para WIL atau PIL? Kalau memang rumah tangga mereka
“baik-baik” saja, dan pasangan mereka pun “baik-baik” saja, kenapa sampai bisa
masuk “orang ketiga” di tengah-tengah mereka?
Kita tak bisa langsung memberi cap WIL atau PIL itu
sebagai “wanita/pria penggoda”, home broker (perusak rumah tangga orang), orang
brengsek, “gatel”, rendahan, tak bermoral, dsb. Karena meskipun banyak WIL atau
PIL yang berkarateristik seperti itu, tapi tak sedikit juga WIL atau PIL itu
yang orang “baik-baik”, cukup taat beribadah, berpendidikan, dan bukanlah tipe
orang yang “liar” atau “binal”.
Selain itu, kita juga tak bisa menuduh “motivasi” mereka
adalah materi ataupun faktor ekonomi. Karena meskipun banyak WIL atau PIL yang
memang pangeretan dan materialistik, yang bisanya hanya memanfaatkan uang atau
harta selingkuhannya, tapi tak sedikit pula WIL atau PIL yang “rela”
berselingkuh dengan suami atau istri orang lain yang jelas-jelas kere, boke,
ataupun miskin. Tapi kenapa mereka mau juga melakukan perselingkuhan itu?
Jelas, “motivasi” mereka bukanlah faktor materi.
Mungkin bisa jadi mereka sedang mengalami krisis
perhatian, kasih sayang, perlindungan, merasa benar-benar “kesepian”,
kekosongan, benar-benar butuh “sandaran”, dan “teman berbagi”. Atau bisa jadi
juga mereka menaruh suka, simpati, atau malah… jatuh hati. Bagaimana bila
ternyata suami atau istri yang berselingkuh itu sama-sama jatuh hati, atau
setidaknya sama-sama tertarik dengan WIL ataupun PIL-nya masing-masing?
Bukankah itu adalah masalah yang substansial?
Tapi… bukankah perasaan “cinta” kepada orang yang bukan
“pasangan sah” tidak akan tumbuh subur dan merajalela, apabila kita bisa
memupuk dan merawat cinta kepada “pasangan sah” kita? Dan itu tentu saja harus
dilakukan oleh kedua belah pihak, bukan hanya salah satu pihak. Kesetiaan,
kepercayaan, kejujuran, dan keterbukaan benar-benar harus menjadi “pilar” yang
kokoh dalam berumah tangga, dan dilakukan oleh pasangan suami istri atas dasar
keikhlasan, bukan karena “keharusan” dan “keterpaksaan” semata-mata.
Letak permasalahan topik ini bukan pada “siapa yang
salah”, karena hal tersebut justru akan menjadi polemik yang berkepanjangan dan
tak ada titik temu. Yang terpenting dalam masalah ini adalah, apa penyebab dan
latar belakang terjadinya perselingkuhan dalam rumah tangga tersebut, dan
bagaimana solusi terbaik untuk menyelesaikannya, yang dilakukan oleh pasangan
suami istri yang bersangkutan dan juga WIL/PIL-nya masing-masing, karena yang
paling tahu persis permasalahannya dan yang mengalaminya langsung adalah mereka
sendiri.
Seperti apa pun solusi yang mereka tempuh, atau seperti
apa pun ending dari perselingkuhan tersebut, sepatutnyalah dilakukan dengan cara-cara
yang bijak, dewasa, bermartabat dan untuk kebaikan semua. Bukan dengan
cara-cara yang barbar, kekanak-kanakan, arogan, dan egoistis. Jangan sampai
masalah perselingkuhan yang merupakan masalah “besar” dalam rumah tangga,
menjadi semakin “besar” dan “melebar” ke mana-mana, yang pada akhirnya bukan
hanya aib kita yang terekspos kepada umum, tapi juga masalah “inti”-nya tidak
akan terselesaikan, dan justru akan menyebabkan kehancuran, yang semakin
menambah penderitaan, luka, dan air mata.
Muga Bermanfa’at.
Salam Rahayu kanti Teguh Selamat Berkah Selalu
Ttd:
Wong Edan Bagu
Putera Rama Tanah Pasundan
http://putraramasejati.wordpress.com
Post a Comment