TANDA-TANDA PENCAPAIAN NENG, NING, NUNG, NANG:
TANDA-TANDA PENCAPAIAN NENG, NING, NUNG, NANG
Oleh: Wong Edan Bagu.
Putera Rama Tanah Pasundan
TINGKAT. 1 (Neng;
sembah raga)
Jumeneng; menjalankan “syariat”.
Namun makna syariat di sini mempunyai dimensi luas. Yakni
dimensi “vertikal” individual kepada Tuhan, maupun dimensi sosial “horisontal”
kepada sesama makhluk. Neng, pada hakekatnya sebatas melatih dan membiasakan
diri melakukan perbuatan yang baik dan bermanfaat untuk diri pribadi, dan lebih
utama untuk sesama tanpa pilih kasih. Misalnya seseorang melaksanakan
sembahyang dan manembah kepada Tuhan dengan cara sebanyak nafasnya, guna
membangun sikap eling danwaspadha. Neng adalah tingkat dasar, barulah setara
“sembah raga” misalnya menyucikan diri dengan air, mencuci badan dengan cara
mandi, wudlu, gosok gigi, upacara jamasan, tradisi siraman dsb.
Termasuk mencuci pakaian dan tempat tinggal. Orang dalam
tingkat “neng”, menyebut dan “menyaksikan” Tuhan barulah melalui pernyataan dan
ucapan mulut saja. Kebaikan masih dalam rangka MELATIH diri mengendalikan hawa
nafsu negatif, dengan bermacam cara misalnya puasa, semadi, bertapa,
mengulang-ulang menyebut nama Tuhan dll. Melatih diri mengendalikan hawa nafsu
agar bersifat positif dengan cara misalnya sedekah, amal jariah, zakat, gotong
royong, peduli kasih, kepedulian sosial dll. Melatih diri untuk menghargai dan
mengormati leluhur, dengan cara ziarah kubur, pergi haji, mengunjungi
situs-situs sejarah, belajar dan memahami sejarah, dst. Melatih diri menghargai
dan menjaga alam semesta sebagai anugrah Tuhan, dengan cara upacara-upacara
ritual, ruwatan bumi, larung sesaji, dst. Tahapan ini dilakukan oleh raga kita,
namun BELUM TENTU melibatkan HATI dan BATIN kita secara benar dan tepat.
Kehidupan sehari-harinya dalam rangka latihan menggapai
tataran lebih tinggi, artinya harus berbuat apa saja yg bukan perbuatan melawan
rumus Tuhan. Tidak hanya berteori, kata kitab, kata buku, menurut pasal,
menurut ayat dst. Namun berusaha dimanifestasikan dalam perilaku dan perbuatan
kehidupan sehari-hari. Perbuatannya mencerminkan perilakusipat zat (makhluk)
yang selaras dengan sifat hakekat (Tuhan). Tanda pencapaiannya tampak pada
SOLAH. Solah artinya perilaku atau perbuatan jasadiah yang tampak oleh mata
misalnya; tidak mencelakai orang lain, perilaku dan tutur kata menentramkan,
sopan dan santun, wajah ramah, ngadi busanaatau cara berpakaian yang pantas dan
luwes menghargai badan. Akan tetapi perilaku tersebut belum tentu dilakukan
secara sinkron dengan BAWA-nya. BAWA yakni “perilaku” batiniah yang tidak
tampak oleh mata secara visual.
Titik Lemah;
Pada tataran awal ini meskipun seseorang seolah-olah
terkesan baik namun belum menjamin pencapaian tataran spiritual yang memadai,
dan belum tentu diberkahi Tuhan. Sebab seseorang melakukan kebaikan terkadang
masih diselimuti rahsaning karep atau nafsu negatif; rasa ingin diakui,
mendapat nama baik atau pujian. Bahkan seseorang melakukan suatu kebaikan agar
kepentingan pribadinya dapat terwujud. Maka akibat yang sering timbul biasanya
muncul rasa kecewa, tersinggung, marah, bila tidak diakui dan tidak mendapat
pujian. Kebaikan seperti ini boleh jadi bermanfaat dan mungkin baik di mata
orang lain. Akan tetapi dapat diumpamakan belum mendapat tempat di “hati”
Tuhan. Kredit point nya masih nihil. Banyak orang merasa sudah berbuat baik,
beramal, sodaqah, suka menolong, membantu sesama, rajin doa, sembahyang. Tetapi
sering dirundung kesialan, kesulitan, tertimpa kesedihan, segala urusannya
mengalami kebuntuan dan kegagalan. Lantas dengan segera menyimpulkan bahwa
musibah atau bencana ini sebagai cobaan (bagi orang-orang beriman).
Pada tataran ini, seseorang masih rentan dikuasai nafsu
ke-aku-an (api/nar/iblis). Diri sendiri dianggap tahu segala, merasa suci dan
harus dihormati. Siapa yang berbeda pendapat dianggap sesat dan kafir.
Konsekuensinya; bila memperdebatkan (kulit luarnya) ia menganggap diri paling
benar dan suci, lantas muncul sikap golek benere dewe, golek menange dewe,
golek butuhe dewe. Ini sebagai ciri seseorang yang belum sampai pada intisari
ajaran yang dicarinya. Durung becus keselak besus !
TINGKAT. 2 (Ning; sembah kalbu)
Wening atau hening; ibarat mati sajroning urip; kematian
di dalam hidup. Tataran ini sepadan dengan tarekat. Menggambarkan keadaan hati
yang selalu bersih dan batinnya selalu eling lan waspadha. Eling adalah sadar
dan memahami akan sangkan paraning dumadi (asal usul dan tujuan manusia) yang
digambarkan sebagai “kakangne mbarep adine wuragil” (lihat dalam posting;
Saloka Jati). Waspadha terhadap apa saja yang dapat menjadi penghalang dalam
upaya “menemukan” Tuhan (wushul). Yakni penghalang proses penyelarasan
kehidupan sehari-hari (sifat zat) dengan sifat hakekat (Tuhan).Ning dicapai
setelah hati dapat dilibatkan dalam menjalankan ibadah tingkat awal atau Neng;
yakni hati yg ikhlas dan tulus, hati yang sudah tunduk dan patuh kepada sukma
sejati yang suci dari semua nafsu negatif. Hati semacam ini tersambung dengan
kesadaran batin maupun akal budi bahwa amal perbuatan bukan semata-mata
mengaharap-harap upah (pahala) dan takut ancaman (neraka). Melainkan kesadaran
memenuhi kodrat Tuhan, serta menjaga keharmonisan serta sinergi aura magis
antara jagad kecil (diri pribadi) dan jagad besar (alam semesta). Tataran ini
dicapai melalui empat macam bertapa; tapa ngeli, tapa geniara, tapa banyuara,
tapa mendhem atau ngluwat.
1. Tapa ngeli; harmonisasi vertikal dan horisontal. Yakni
berserah diri dan menselaraskan dengan kehendak Tuhan. Lalu mensinergikan jagad
kecil (manusia) dengan jagad besar (alam semesta).
2. Tapa geniara; tidak terbakar oleh api (nar) atau nafsu
negatif yakni ke-aku-an. Karena ke-aku-an itu tidak lain hakekat iblis dalam
hati.
3. Tapa banyuara; mampu menyaring tutur kata orang lain,
mampu mendiagnosis suatu masalah, dan tidak mudah terprovokasi orang lain.
Tidak bersikap reaksioner (ora kagetan), tidak berwatak mudah terheran-heran
(ora gumunan).
4. Tapa mendhem; tidak membangga-banggakan kebaikan, jasa
dan amalnya sendiri. Terhadap sesama selalu rendah hati, tidak sombong dan
takabur. Sadar bahwa manusia derajatnya sama di hadapan Tuhan tidak tergantung
suku, ras, golongan, ajaran, bangsa maupun negaranya. Tapa mendhem juga berarti
selalu mengubur semua amal kebaikannya dari ingatannya sendiri. Dengan demikian
seseorang tidak suka membangkit-bangkit jasa baiknya. Kalimat pepatah Jawa sbb:
tulislah kebaikan orang lain kepada Anda di atas batu, dan tulislah kebaikan
Anda pada orang lain di atas tanah agar mudah terhapus dari ingatan.
Titik Lemah.
Jangan lekas puas dulu bila merasa sudah sukses
menjalankan tataran ini. Sebab pencapaian tataran kedua ini semakin banyak
ranjau dan lobang kelemahan yang kapan saja siap memakan korban apabila kita
lengah. Penekanan di sini adalah pentingnya sikap eling dan waspadha. Sebab
kelemahan manusia adalah lengah, lalai, terlena, terbuai, merasa lekas puas
diri. Tataran kedua ini melibatkan hati dalam melaksanakan segala kebaikan
dalam perbuatan baik sehari-hari. Yakni hati harus tulus dan ikhlas.
Namun..ketulusan dan keikhlasan ini seringkali masih menjadi jargon, karena
mudah diucapkan oleh siapapun, sementara pelaksanaannya justru keteteran. Dalam
falsafah hidup Kejawen, setiap saat orang harus selalu belajar ikhlas dan tulus
setiap saat sepanjang usia. Belajar ketulusan merupakan mata pelajaran yang tak
pernah usai sepanjang masa. Karena keberhasilan Anda untuk tulus ikhlas dalam
tiap-tiap kasus belum tentu berhasil sama kadarnya. Keikhlasan dipengaruhi oleh
pihak yang terlibat, situasi dan kondisi obyektifnya, atau situasi dan kondisi
subyek mental kita saat itu.
TINGKAT . 3 (Nung; sembah cipta)
Kesinungan ; yakni dipercaya Tuhan untuk mendapatkan
anugrah tertentu. Orang yang telah mencapai tataran Kesinungandialah yang
mendapatkan “hadiah” atas amal kebaikan yang ia lakukan. Ini mensyaratkan amal
kebaikan yang memenuhi syarat, yakni kekompakan serta sinkronisasi lahir dan
batin dalam mewujudkan segala niat baik menjadi tindakan konkrit. Yakni
tindakan konkrit dalam segala hal yang baik misalnya membantu & menolong
sesama. Syarat utamanya; harus dilakukan terus-menerus hingga menyatu dalam
prinsip hidup, dan tanpa terasa lagi menjadi kebiasaan sehari-hari.
Pencapaian tataran ini sama halnya laku hakekat. Laku
hakekat adalah meliputi keadaan hati dan batin; sabar, tawakal, tulus, ikhlas,
pembicaraannya menjadi kesejatian (kebenaran), yang sejati menjadi kosong,
hilang lenyap menjadi ada. Tataran ini ditandai oleh pencapaian kemuliaan yang
sejati, seseorang mendapatkan kebahagiaan dan kemuliaan di dunia dan kelak
setelah ajal. Pada tahap ini manusia sudah mengenal akan jati dirinya dan
mengenal lebih jauh sejatinya Tuhan. Manusia yang telah lebih jauh memahami
Tuhan tidak akan berfikir sempit, kerdil, sombong, picik dan fanatik. Tidak
munafik dan menyekutukan Tuhan. Ia justru bersikap toleran, tenggang rasa,
hormat menghormati keyakinan orang lain. Sikap ini tumbuh karena kesadaran
spiritual bahwa ilmu sejati, yang nyata-nyata bersumber pada Yang Maha Tunggal,
hakekatnya adalah sama. Cara atau jalan mana yang ditempuh adalah persoalan
teknis. Banyaknya jalan atau cara menemukan Tuhan merupakan bukti bahwa Tuhan
itu Mahaluas tiada batasnya. Ibarat sungai yang ada di dunia ini jumlahnya
sangat banyak dan beragam bentuknya; ada yang dangkal, ada yang dalam,
berkelok, pendek dan singkat, bahkan ada yang lebar dan berputar-putar. Toh
semuanya akan bermuara kepada Yang Tunggal yakni “samudra luas”.
NAH, orang seperti ini akan “menuai” amal kebaikannya.
Berkat rumus Tuhan di mana kebaikan akan berbuah kebaikan pula. Kebaikan yg
anda berikan, “buahnya” akan anda terima pula. Namun demikian kebaikan yang
anda terima belum tentu datang dari orang yang sama, malah biasanya dari pihak
lainnya. Kebaikan yang anda peroleh itu merupakan “buah” dari “pohon kebaikan”
yang pernah anda tanam sebelumnya. Selebihnya,kebaikan yang anda lakukan akan
menjadi pagar gaib yang selalu menyelimuti diri anda. Singkat kata, pencapaian
Nung, ditandai dengan diperolehnya kemudahan dan hikmah yang baik dalam segala
urusan. Pagar gaib itu akan membuat kita tidak dapat dicelakai orang lain.
Sebaliknya selalu mendapatkan keberuntungan. Dalam terminologi Jawa inilah yang
disebut sebagai “ngelmu beja”.
Untuk meraih tataran ini, terlebih dahulu kita harus
mengenal jati diri secara benar. Dalam diri manusia setidaknya terdapat 7 lapis
bumi yang harus diketahui manusia. Jika tidak diketahui maka menjadi manusia
cacad dan akan gagal mencapai tataran ini. Bumi 7 lapis tersebut adalah ;
retna, kalbu, jantung, budi, jinem, suksma, dan ketujuhnya yakni bumi rahmat.
1. Bumi Retna; jasad dan dada manusia sesungguhnya istana
atau gedung mulia.
2. Bumi Kalbu; artinya istana iman sejati.
3. Bumi Jantung; merupakan istana semua ilmu.
4. Bumi budi; artinya istana puji dan zikir.
5. Bumi Jinem; istananya kasih sayang sejati.
6. Bumi suksma; yakni istana kesabaran dan rasa sukur
kepada Tuhan; sukma sejati.
7. Bumi Rahmat; istana rasa mulia; rahsa sejati.
Titik Lemah.
Nung, setara dengan Hakekat, di sini ibarat puncak
kemuliaan. Semakin tinggi tataran spiritual, maka sedikit saja godaan sudah
dapat menggugurkan pencapaiannya. Maka, semakin tinggi puncak dan kemuliaan
seseorang ; maka semakin besar resiko tertiup angin dan jatuh. Seseorang yang
merasa sudah PUAS dan BANGGA dengan pencapaian hakekat ini bersiko terlena.
Lantas menganggap orang lain remeh dan rendah. Yang paling berbahaya adalah
menganggap tataran ini merupakan tataran tertinggi sehingga orang tidak perlu lagi
berusaha menggapai tataran yang lebih tinggi.
Tingkat. 4 (Nang; sembah rahsa)
Nang merupakan kemenangan. Kemenangan adalah anugrah yang
anda terima. Yakni kemenangan anda dari medan perang. Perang antara nafsu
negatif dengan positif. Kemenangan NUR (cahya sejati nan suci) mengalahkan NAR
(api; ke-aku-an/”iblis”). Manusia NAR adalah seteru Tuhan (iblis laknat).
SEBALIKNYA; manusia NUR adalah memenuhi janji atas kesaksian yg pernah ia
ucapkan di mulut dan hati. Manusia NUR memenuhi kodratnya ke dalam kodrat
Ilahi, sipat zat yg mengikuti sifat hakekat, menselaraskan gelombang batin
manusia dengan gelombang energi Tuhan. Sifat zat (manusia) menyatu dengan sifat
hakekat (Tuhan) menjadi “loroning atunggil“. Yang menjadi jumbuh(campur tak
bisa dipilah) antara kawula dengan Gusti. Inilahpertanda akan kemenangan
manusia dalam “berjihad” yang sesungguhnya. Yakni kemenangan terindah dalam
kemanunggalan; “manunggaling kawula-Gusti“. Bila Anda muslim, di situlah tatar
makrifat dapat ditemukan.
Muga Bermanfa’at.
Salam Rahayu kanti Teguh Selamat Berkah Selalu
Ttd:
Wong Edan Bagu
Putera Rama Tanah Pasundan
http://putraramasejati.wordpress.com
http://wongedanbagu.blogspot.com
Post a Comment