Tak Ada Gading yang Tak Retak.1-2
Tak Ada Gading yang Tak Retak.1
Oleh: Wong Edan Bagu.
Putera Rama Tanah Pasundan
Setiap kita mempunyai kesalahan dan kekurangan. Manusia
tidak bisa lari dengan menutup diri terhadap kekurangannya. Yang harus
dilakukan adalah introspeksi dan menghisab diri sendiri untuk sebuah perbaikan.
Umar bin Khaththab rahdiyallahu ‘anhu pernah berpesan,
“Hisablah dirimu sebelum diri kamu sendiri dihisab, dan timbanglah amal
perbuatanmu sebelum perbuatanmu ditimbang.”
Berikut ini beberapa hal yang dapat membantu seseorang
untuk introspeksi diri dan memperbaiki berbagai kekurangannya:
Mengakui kekurangan dirinya. Ibnu Hazm berkata,
“Seandainya orang yang kurang itu mengetahui kekurangan dirinya, niscaya ia
menjadi sempurna.” Beliau melanjutkan, “Manusia itu tidak luput dari
kekurangan, dan orang yang berbahagia adalah orang yang sedikit aibnya.” (Al Akhlaq
wa As Siyar)
Menyadari kekurangan yang ada pada dirinya sebagai
kekurangan. Ada beberapa orang yang mengetahui suatu kekurangan ada pada
dirinya tapi dia tidak menganggap hal itu sebagai sebuah kekurangan.
Pengetahuan terhadap kekurangan dirinya nyaris tidak mendatangkan manfaat
apa-apa untuk perbaikan. Hal ini bisa disebabkan karena dia memandang dirinya
dengan kacamata dirinya sendiri dan tidak memperhatikan kacamata orang lain
dalam menilai dirinya. Disinilah perlunya kita membuka diri sendiri terhadap
pandangan dan penilaian dari orang lain, terutama orang yang alim.
Kita harus mengetahui dan mencari kekurangan diri kita.
Sebab mengetahui penyakit itu dapat menolong seseorang untuk menentukan
obatnya. Ibnu Al Muqaffa’ mengatakan, “Salah satu aib manusia terbesar ialah ia
tidak mengetahui kekurangan dirinya. Karena orang yang tidak mengetahui aib
dirinya, maka ia pun tidak mengetahui kebaikan orang selainnya. Barangsiapa
yang tidak mengetahui aib dirinya dan kebaikan orang lain, maka ia tidak bisa menghilangkan
aib yang dia sendiri tidak mengetahuinya dan tidak akan mendapatkan
kebaikan-kebaikan orang lain yang tidak pernah ia lihat selamanya.” (Al Adab
Ash Shaghir wa Al Adab Al Kabir). Mahmud Al Waraq mengatakan “Manusia yang
paling sempurna ialah yang paling tahu kekurangan dirinya dan yang paling dapat
mengalahkan syahwat dan keinginannya” (Aqwal Ma’tsurah wa Kalimat Jamilah, Dr
Muhammad Ash Shabbagh)
Tidak memandang orang lain dengan pandangan yang remeh
sehingga dia bisa melihat kebaikan yang ada pada orang lain dan mendapat
manfaat darinya.
Tidak memandang diri sendiri dengan penuh kekaguman dan
merasa dirinya yang paling baik. Rasa ujub ini seringkali disisipkan iblis ke
dalam hati kita tanpa kita sadari sehingga akhirnya kita larut dan terbawa.
Selain merupakan dosa, rasa ujub menghalangi seseorang untuk mencari kekurangan
yang ada pada dirinya sendiri sehingga dia terhalang dari perbaikan dan terus
berkubang pada kekurangan. Ibnu Hazm mengatakan, “Ketahuilah dengan penuh
keyakinan bahwa manusia itu tidak bisa luput dari kekurangan, kecuali para
nabi. Barangsiapa yang tidak mengetahui berbagai kekurangan dirinya, maka ia
akan menjadi orang yang hina, lemah akal, dan sedikit pemahamannya, yang mana
ia merasa bukan sebagai orang yang hina dan tidak merasa bahwa tempat
berpijaknya adalah kehinaan.
Karena itu, ia tidak sudi mencari kekurangan dirinya dan
tidak sudi menyibukkan diri dengan hal itu bahkan dia merasa kagum dengan
dirinya sendiri dan sibuk dengan aib orang lain yang tidak membahayakan diriny
a baik di dunia maupun di akhirat.” (Al Akhlaq wa As Siyar)
Senantiasa berusaha menghilangkan kekurangan-kekurangan
itu. Tidak cukup sekedar mengetahui kekurangan-kekurangan diri, tetapi harus
pula berusaha menghilangkannya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang
artinya),” Beruntunglah orang yang membersihkan diri.” (Qs. Al A’la: 14). “
Sungguh beruntung orang yang membersihkan dirinya.” (Qs.
Asy Syams:9).
Ibnu Hazm berkata, “Orang yang berakal adalah orang yang
dapat menentukan aib dirinya, lalu mengalahkannya dan berusaha menundukkannya.
Sedangkan orang yang dungu adalah orang yang tidak mengetahui aib dirinya, baik
karena kurang pengetahuan dan akalnya serta lemah pikirannya maupun karena ia
menilai bahwa aibnya tersebut adalah perangainya. Dan ini adalah aib terbesar
di muka bumi ini.” (Al Akhlaq wa As Siyar)
Berjanji kepada diri sendiri untuk menjadi baik terhadap
dirinnya. Ibnu Muqaffa’ mengatakan, “Hendaklah kamu berjanji terhadap dirimu
sendiri untuk menjadi baik, sehingga dengan hal itu ia akan menjadi ahli
kebajikan. Sebab jika anda melakukan demikian, maka kebajikan akan datang
mencarimu sebagaimana air mengalir mencari tempat yang curam.” (Al Adab Ash
Shaghir wa Al Adab Al Kabir). Ibnu Hazm berkata, “Mengabaikan sesaat dapat
merusak setahun” (Al Akhlaq wa As Siyar).
Kita tidak boleh menjadikan keburukan kemarin sebagai
pembenaran untuk mengerjakan keburukan hari ini dan tidak pula menjadikan
keburukan seseorang sebagai pembenaran untuk kita berbuat keburukan. Ibnu Hazm
mengatakan, “Saya tidak melihat iblis lebih bodoh, lebih buruk dan lebih dungu
daripada dua kalimat yang dilontarkan oleh propagandisnya:Pertama, alasan orang
yang berbuat keburukan bahwa si fulan juga telah mengerjakan keburukan itu
sebelumnya; kedua, seseorang menganggap remeh keburukannya hari ini karena ia
telah berbuat keburukan itu kemarin, atau ia melakukan keburukan dalam suatu
hal karena ia telah berbuat keburukan dalam hal lainnya. Akhirnya kedua kalimat
tersebut menjadi alasan yang memudahkan untuk berbuat keburukan dan
mengkategorikan keburukan tersebut dalam batas yang diakui, dianggap baik, dan
tidak diingkari.” (Al Akhlaq wa As Siyar)
Menelaah sesuatu yang bermanfaat yang dapat membantu
perbaikan diri terutama ilmu syar’i. Dengan ilmu syar’ilah seseorang dapat mengetahui
mana yang baik dan mana yang buruk. Dengan ilmu syar’i dia memiliki parameter
yang tepat untuk menimbang segala sesuatu. Ini adalah poin yang sangat penting.
Maraji’:
Ma’al Mu’allimin, Muhammad bin Ibrahim Al Hamd, terj.
Bersama Para Pendidik Muslim.
Al Ilmam fii Asbaabi Dha’fi Al Iltizaam, Husain Muhammad
Syamir, terj. 31 Sebab Lemahnya Iman.
***
Tak Ada Gading yang Tak Retak.2
Oleh: Wong Edan Bagu.
Putera Rama Tanah Pasundan
Kata pepatah tak ada gading yang tak retak, tidak ada
satupun yang sempurna. Tentunya kecuali Allah yang maha sempurna.
Memang demikianlah setiap orang mesti pernah berbuat
salah tanpa kecuali baik orang biasa atau para nabi sekalipun. Hal ini
dijelaskan Rasululloh :
كُلُّ
ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَ
خَيْرُ الخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ
Setiap bani adam melakukan kesalahan dan sebaik-baiknya
yang salah adalah yang bertaubat.[1]
Sampai-sampai Rasululloh bersabda:
لَوْ
أَنَّ الْعِبَادَ لَمْ يُذْنِبُوْا لَخَلَقَ
اللهُ خَلْقًا يُذْنِبُوْنَ ثُمَّ
يَغْفِرُ لَهُمْ وَ هُوَ
الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Seandainya seluruh hamba tidak berbuat dosa (sama
sekali), tentulah Allah menciptakan makhluk lain yang berbuat dosa kemudian
Allah mengampuni mereka dan Ia maha pengampun lagi maha penyayang.[2]
Oleh karena itu kita perlu solusi tepat untuk selamat.
Solusinya;
Solusinya hanya satu yaitu dengan bertaubat yang
sungguh-sungguh dan memenuhi syaratnya. Sebab taubat menjadi salah satu sebab
pengampunan Allah
Syarat taubat;
Para ulama menjelaskan syarat- syarat taubat yaitu:
1. Islam, tidak
sah taubat dari dosa dan kemaksiatan kecuali dari seorang muslim, sebab
taubatnya orang kafir adalah masuk islam. Hal ini dijelaskan Allah dalam
firmanNya:
وَلَيْسَتِ
التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّىٰ إِذَا حَضَرَ
أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ
الْآنَ وَلَا الَّذِينَ يَمُوتُونَ
وَهُمْ كُفَّارٌ ۚ أُولَٰئِكَ أَعْتَدْنَا
لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati
sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan
siksa yang pedih. (QS. 4:18)
2. Ikhlas. Tidak sah taubat seseorang kecuali dengan
ikhlas dengan cara menujukan taubatnya tersebut semata mengharap wajah Allah,
ampunan dan penghapusan dosanya. Rasululloh bersabda:
إٍِنَّ
اللهَ لاَ يَقْبَلُ مِنَ
الْعَمَلِ إلاَّ مَا كَانَ
خَالِصًا وَ ابْتَغَي بِهِ
وَجْهَ اللهِ
Sesungguhnya Allah tidak menerima satu amalan kecuali
dengan ikhlas dan mengharap wajahNya.[3] Sehingga seorang yang bertaubat atau
meninggalkan perbuatan dosa karena bakhil atas hartanya atau takut dicela orang
atau tidak mampu melakukannya tidak dikatakan bertaubat secara syar’I menurut
kesepakatan para ulama. Oleh karena itu kata taubat dalam Al Qur’an mendapat
tambahan kata ‘kepada Allah’, seperti firman Allah:
إِن
تَتُوبَآ إِلَى اللهِ فَقَدْ
صَغَتْ قُلُوبُكُمَا
Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka
sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); (QS.
66:4)
3. Mengakui dosanya. Tidak sah taubat kecuali setelah
mengetahui, mengakui dan memohon keselamatan dari akibat jelek dosa yang ia
lakukan, sebagaimana disampaikan Rasululloh kepada A’isyah dalam kisah Ifku:
َ أَمَّا بَعْدُ يَا
عَائِشَةُ فَإِنَّهُ قَدْ بَلَغَنِي عَنْكِ
كَذَا وَكَذَا فَإِنْ كُنْتِ
بَرِيئَةً فَسَيُبَرِّئُكِ اللَّهُ وَإِنْ كُنْتِ
أَلْمَمْتِ بِذَنْبٍ فَاسْتَغْفِرِي اللَّهَ وَتُوبِي إِلَيْهِ
فَإِنَّ الْعَبْدَ إِذَا اعْتَرَفَ بِذَنْبِهِ
ثُمَّ تَابَ إِلَى اللَّهِ
تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ
Amma ba’du, wahai A’isyah sungguh telah sampai kepadaku
berita tentangmu bagini dan begitu. Apabila kamu berlepas (dari berita
tersebut) maka Allah akan membersihkanmu dan jika kamu berbuat dosa tersebut,
maka beristighfarlah kepada Allah dan bertaubatlah kepadaNya. Karena seorang
hamba bilamengakui dosanya kemudian bertaubat kepada Allah niscaya Allah akan
menerima taubatnya. (HR Al Bukhori).
4. Menyesali perbuatan dosa yang pernah dilakukannya.
Penyesalan memberikan tekad, kemauan dan pengetahuan kepada pelakunya bahwa
kemaksiatan yang dilakukannya tersebut akan menjadi penghalang dari Rabbnya,
lalu ia bersegera mencari keselamatan dan tidak ada jalan keselamatan dari
adzab Allah kecuali berlindung kepadaNya, sehingga muncullah taubat dalam
dirinya. Oleh karena itu tidak terwujud taubat kecuali dari penyesalan, sebab
tidak menyesali perbuatannya adalah dalil keridhoan terhadap kemaksiatan
tersebut, seperti disabdakan Rasululloh:
النَّدَمُ
تَوْبَةٌ
Penyesalam adalah taubat.[4]
5. Berlepas dan meninggalkan perbuatan dosa tersebut
apabila kemaksiatannya adalah pelanggaran larangan Allah dan bila
kemaksiatannya berupa meninggalkan kewajiban maka cara meninggalkan perbuatan
dosanya adalah dengan melaksanakannya. Ini termasuk syarat terpenting taubat.
Dalilnya adalah firman Allah:
وَالَّذِينَ
إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ
ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ
وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ
يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا
وَهُمْ يَعْلَمُونَ
Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan
keji atau menganiaya diri sendiri mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun
terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari
pada Allah – Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka
mengatahui. (QS. 3:135)
Al Fudhail bin Iyaadh menyatakan: Istighfar tanpa
meninggalkan kemaksiatan adalah taubat para pendusta.[5]
6. Berazam dan bertekad tidak akan mengulanginya dimasa
yang akan datang.
7. Taubat dilakukan pada masa diterimanya taubat. Apa
bila bertaubat pada masa ditolaknya seluruh taubat manusia, maka tidak berguna
taubatnya. Masa tertolaknya taubat ini di tinjau dari dua sisi:
a. Dari pelaku itu
sendiri, maka waktu taubatnya sebelum kematian. Apabila bertaubat setelah sakaratul
maut, maka taubatnya tidak diterima. Hal ini dijelaskan Allah dalam firmanNya :
وَلَيْسَتِ
التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّىٰ إِذَا حَضَرَ
أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ
الْآنَ وَلَا الَّذِينَ يَمُوتُونَ
وَهُمْ كُفَّارٌ ۚ أُولَٰئِكَ أَعْتَدْنَا
لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang
yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang
di antara mereka, (barulah) ia mengatakan: “Sesungguhnya saya bertaubat
sekarang” Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka
di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih.
(QS. 4:18)
Hal inipun disampaikan Rasululloh dalam sabdanya:
إِنَّ
اللهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْد مَا لَمْ يُغَرغِرْ
Sesungguhnya Allah menerima taubat hambaNya selama belum
sakaratulmaut.[6] Oleh karena itu Allah tidak menerima taubat Fir’aun ketika
tenggelam, seperti dikisahkan dalam firmanNya:
وَجَاوَزْنَا
بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتْبَعَهُمْ فِرْعَوْنُ وَجُنُودُهُ بَغْيًا وَعَدْوًا ۖ
حَتَّىٰ إِذَا أَدْرَكَهُ الْغَرَقُ
قَالَ آمَنْتُ أَنَّهُ لَا
إِلَٰهَ إِلَّا الَّذِي آمَنَتْ
بِهِ بَنُو إِسْرَائِيلَ وَأَنَا
مِنَ الْمُسْلِمِينَ
آلْآنَ
وَقَدْ عَصَيْتَ قَبْلُ وَكُنْتَ مِنَ
الْمُفْسِدِينَ
فَالْيَوْمَ
نُنَجِّيكَ بِبَدَنِكَ لِتَكُونَ لِمَنْ خَلْفَكَ آيَةً
ۚ وَإِنَّ كَثِيرًا
مِنَ النَّاسِ عَنْ آيَاتِنَا لَغَافِلُونَ
Dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu
mereka diikuti oleh Fir’aun dan bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan
menindas (mereka); hingga bila Fir’aun itu telah hampir tenggelam berkatalah
dia:”Saya percaya bahwa tidak ada Ilah melainkan yang dipercayai oleh Bani
Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”.
Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka
sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. Maka pada
hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi
orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia
lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami. (QS. 10:90-92)
b. Dari manusia secara umum. Rasululloh menyatakan :
الْهِجْرَةُ
لاَ تَنْقَطِعُ حَتَّى تَنْقَطِعَ الْتَوْبَةُ
وَلاَ تَنْقَطِعُ الْتَوْبَةُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَمْسُ
مِنْ مَغْرِبِهَا
hijroh tidak terputus sampai terputusnya taubah dan
taubat tidak terputus sampai matahari terbit dari sebelah barat.[7]
Dan sabda beliau :
إِنَّ
اللهَ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوْبَ
مُسِيئُ النَّهَارِ وَيَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوْبَ
مُسِيئُ اللَّيْلِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ
مِنْ مَغْرِبِهَا.
“Sesungguhnya Allah Ta’ala selalu
membuka tangan-Nya di waktu malam untuk mene-rima taubat orang yang melakukan
kesalahan di siang hari, dan Allah membuka tangan-Nya pada siang hari untuk
menerima taubat orang yang melakukan kesalahan di malam hari. Begitulah, hingga
matahari terbit dari barat.” [8]
Apabila matahari telah terbit dari barat maka taubat
seorang hamba tidak bermanfaat, sebagaimana ditegaskan Allah dalam firmanNya :
هَلْ
يَنْظُرُونَ إِلَّا أَنْ تَأْتِيَهُمُ
الْمَلَائِكَةُ أَوْ يَأْتِيَ رَبُّكَ
أَوْ يَأْتِيَ بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ
ۗ يَوْمَ يَأْتِي
بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لَا
يَنْفَعُ نَفْسًا إِيمَانُهَا لَمْ
تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ
أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيمَانِهَا خَيْرًا
ۗ قُلِ انْتَظِرُوا
إِنَّا مُنْتَظِرُونَ
Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan
malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka), atau kedatangan Rabbmu
atau kedatangan sebagian tanda-tanda Rabbmu tidaklah bermanfa’at lagi iman
seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum)
mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah:”Tunggulah olehmu
sesungguhnya kamipun menunggu(pula)”. (QS. 6:158)
8. Khusus yang berhubungan dengan orang lain maka ada
tambahan berlepas dari hak saudaranya,
apabila itu berupa harta atau sejenisnya, maka mengembalikannya kepadanya dan
bila berupa hukuman menuduh (zina) maka memudahkan hukuman atau memohon maaf
darinya dan bila nerupa ghibah, maka memohon dihalalkan dari ghibah tersebut.
Syeikh Ibnu Utsaimin berkata: Adapun bila dosa tersebut
antara kamu dengan manusia, apabila berupa harta, harus menunaikannya kepada
pemiliknya dan tidak diterima taubtanya kecuali dengan menunaikannya. Contohnya
kamu mencuru harta dari seseorang lalu kamu bertaubat dari hal itu, maka kamu
harus menyerahkan hasil curian tersebut kepada pemiliknya. Juga contoh lain,
kamu mangkir dari hak seseorang, seperti kamu punya tanggungan hutang lalu
mangkir darinya, kemudian kamu bertaubat, maka kamu harus pergi kepada orang
yang bersangkutan dan memeberikan pengakuan dihadapannya sehingga ia mengambil
haknya. Apabila orang tersebut telah meninggal dunia, maka kamu berikan kepada
ahli warisnya. Apabila tidak tahu atau ia menghilang darimu dan kamu tidak
mengetahui keberadaannya maka bersedekahlah dengan harta tersebut atas namanya
agar bebas dari (kewajiban) tersebut dan Allahlah yang mengetahui dan
menyampaikannya kepadanya. Apabila kemaksiatan yang kamu lakukan terhadap orang
lain berupa pemukulan atau sejenisnya, maka datangilah ia dan mudahkanlah ia
untuk membalas memukul kamu seperti kamu memukulnya. Apa bila yang dipukul
punggung maka punggung yang dipukul dan bila kepala atau bagian tubuh lainnya
maka hendaklah ia membalasnya. Hal ini didasarkan pada firman Allah:
وَجَزَاءُ
سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا ۖ فَمَنْ عَفَا
وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ ۚ
إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ
Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa,
(QS. 42:40)
Dan firmanNya:
الشَّهْرُ
الْحَرَامُ بِالشَّهْرِ الْحَرَامِ وَالْحُرُمَاتُ قِصَاصٌ ۚ فَمَنِ
اعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ
ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ
الْمُتَّقِينَ
Oleh sebab itu barang siapa yang menyerang kamu, maka
seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu.(QS. 2:194)
Apabila berupa perkataan (menyakitinya dengan perkataan),
seperti kamu mencela, menjelek-jelekinya dan mencacinya dihadapan orang banyak,
maka kamu harus mendatanginya dan meminta maaf darinya dengan apa saja yang
telah kamu berdua sepakati, sampai-sampai seandainya ia tidak memaafkan kamu
kecuali dengan sejumlah uang maka berilah. Sedang yang keempat adalah apabila
hak orang lain tersebut berupa ghibah, yaitu kamu pernah membicarakannya tanpa
sepengetahuan nya dan kamu menjelek-jelekkannya dihadapan orang banyak ketika
ia tidak ada. Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat. Ada yang
menyatakan ia harus mendatanginya dengan menyatakan: Wahai fulan saya pernah
merumpis (menggibahi) kamu dihadapan orang maka saya mohon kamu memaafkan saya
dan menghalalkannya. Sebagian ulama menyatakan: Tidak menemuinya namun harus
diperinci permasalahannya.
Apabila orang tersebut telah mengetahui perbuatan ghibah
tersebut, maka harus menemuinya dan minta dimaafkan. Namun bila tidak
mengetahuinya maka jangan berangkat menemuinya namun cukup memintkan ampunan
untuknya dan menyampaikan kebaikan-kebaikannya dimajlis-majlis yang kamu pernah
gunakan dalam menggibahinya, karena kebaikan-kebaikan menghapus kejelekan.
Inilah pendapat yang rojih.[9]
Sedangkan syeikh Saalim bin Ied Al Hilali memberikan
syarat bila tidak menimbulkan mafsadat yang lebih besar lagi. Beliau berkata:
Apabila dosa itu berupa ghibah maka ia meminta dihalalkan (dimaafkan) selama
tidak mebnimbulkan mafsadat lain akibat dari permintaan maaf itu sendiri.
Apabila menimbulkan maka yang wajib baginya adalah mencukupkan dengan mendoakan
kebaikan untuknya.[10]
Mudah-mudahan bermanfaat.
Salam Rahayu kanti Teguh Selamat Berkah Selalu
Ttd:
Wong Edan Bagu
Putera Rama Tanah Pasundan
http://putraramasejati.wordpress.com
Post a Comment