Tafsir Kisah Musa dan Khidir:
Tafsir Kisah Musa dan Khidir:
Oleh: Wong Edan Bagu.
Putera Rama Tanah Pasundan
“ Sesungguhnya, Khidir AS bukanlah sosok lain yang
terpisah sama sekali dari keberadaan manusia rohani. Apa yang disaksikan
sebagai tanah menjorok dengan lautan disebelah kanan dan kiri itu bukanlah
suatu tempat yang berada diluar diri manusia. Tanah itulah yang disebut
perbatasan (barzakh), dua lautan itu yang disebut lautan makna (bahr al ma’na )
perlambang alam tidak kasat mata ( alam ghaib ), dan lautan jisim ( bahr al
ajsam ) perlambang alam kasat mata ( alam asy-syahadat ). “ Sedangkan kawanan
udang adalah perlambang para penempuh jalan rohani (salik ) yang betujuan
mencari kebenaran, dan kawanan udang yang berenang sebelah kiri diantara
batu-batu merupakan perlambang para salik yang diliputi hasrat-hasrat dan
pamrih duniawi “. Ini semua bukan perjalanan manusia biasa tetapi perjalanan
rohani yang berlangsung dalam diri Nabi Musa AS sendiri.
Jika Nabi Musa As waktu itu melihat ikan dan yang
melingkupi ikan tersebut dari tempatnya berdiri yaitu di wilayah perbatasan dua
lautan, maka ikan itu berenang dalam alamnya yaitu lautan, dan sang ikan dapat
melihat segala sesuatu didalam lautan, kecuali air, maknanya adalah ikan hidup
dalam air, sekaligus dalam tubuhnya ada air, tapi ia tidak bisa melihat air,
dan tidak sadar jika dirinya hidup dalam air. Itulah sebabnya ikan tidak bisa
hidup tanpa air yang meliputi bagian luar dan bagian dalam tubuhnya, dimanapun
ikan berada ia selalu diliputi air yang tak bisa dilihatnya. Sedang apabila
ikan melihat Nabi musa maka ikan itu melihat bahwa Nabi Musa didalam dunia yang
diliputi udara kosong dan Nabi Musa AS akan merasa sama seperti ikan tersebut.
Sesungguhnya tempat dimana Nabi Musa AS berdiri dihadapan Khidir AS adalah
wilayah perbatasan antara alam kasat mata dan alam tidak kasat mata dan
sesungguhnya kawanan udang alah perlambang dari salik yang sudah berada di
perbatasan, jika itu terjadi sesungguhnya ia telah memasuki perbatasan alam
ghaib, dan sesungguhnya pemuda (al-fata) yang mendampingi Nabi Musa AS dan
membawakan bekal makanan adalah perlambang dari terbukanya pintu alam tidak
kasat mata dan sesungguhnya dibalik keberadaan pemuda itu tersembunyi hakikat
sang Pembuka ( al-Fattah ). Sebab hijab ghaib yang menyelubungi manusia dari
Kebenaran Sejati tidak akan bisa dibuka tanpa kehendak Dia, itu sebabnya saat
Nabi Musa AS bertemu dengan Khidir AS, pemuda itu tidak disebut-sebut lagi
karena sejatinya merupakan perlambang keterbukaan hijab ghaib.”
Adapun bekal makanan berupa ikan adalah perlambang pahala
perbuatan baik, yang hanya berguna untuk bekal menuju ke Taman Surgawi
(al-jannah). Namun bagi pencari Kebenaran Sejati pahala perbuatan baik itu
justru mempertebal gumpalan kabut penutup hati (ghain), itu kenapa sebabnya
sang pemuda mengaku dibuat lupa oleh setan hingga ikan bekalnya masuk ke dalam
lautan. Andaikata saat itu Nabi Musa AS memerintahkan si pemuda untuk mencari
bekal lain, apalagi sampai memburu bekal ikan yang telah masuk kelaut, niscaya
Nabi Musa AS dan si pemuda tentu akan masuk lautan jisim kembali dan setan
berhasil memperdaya Nabi Musa AS. Justru Nabi Musa berkata pada saat ikan
melompat ke laut bahwa itulah yang dicarinya sehingga tersingkapnya gumpalan
kabut dari kesadaran Nabi Musa AS saat itulah purnama rohani zawa’id berkilau
dan dapat melihat Khidir AS, hamba yang dilimpahi rahmat dan kasih sayangyang
memancar dari citra ar-rahman dan ar-rahim dan ilmu Ilahi (laduni) yang
memancar dari Sang Pengetahuan ( al-alim ).
Anugerah Ilahi dilimpahkan kepada Khidir AS karena dia
merupakan hambaNya yang telah mereguk Air Kehidupan (ma’alhayat) yang memancar
dari Sang Hidup (al Hayy). Itu sebabnya barang siapa yang bertemu Khidir AS
maka ditengah wilayah perbatasan dua lautan maka ia telah melihat
pengejawantahan Sang Hidup, Sang Pengetahuan, Sang Pengasih, Sang Penyayang,
dan Sebenarnya Nabi Khidir adalah tidak lain dan tidak bukan Ar-Roh al idlafi,
cahaya hijau terang yang tersembunyi di dalam diri manusia , “ sang penuntun “
anak keturunan Adam AS kejalan kebenaran sejati ( al Haqq) Dia sang mursyid
Yang Maha Menunjuki. Sesungguhnya perjalanan rohani menuju Kebenaran Sejati
penuh diliputi tanda kebesaran Ilahi yang hanya bisa diungkapkan dalam bahasa
perlambang, dan setiap manusia akan mengalami pengalaman yang berbeda sesuai
dengan pemahamannyadalam menangkap kebenaran demi kebenaran.
“ Setelah berada diwilayah perbatasan , Khidir AS dan
Musa AS melanjutkan perjalanan memasuki Lautan Makna, mereka kemudian
digambarkan menumpang perahu dan merupakan perlambang dari wahana syari’ah yang
lazimnya digunakan oleh orang awam untuk mencari ikan perlambang perbuatan baik
( amal sholeh), padahal perjalanan mengarungi Lautan Makna menuju Kebenaran
Sejati adalah Perjalanan yang sangat pribadi menuju Lautan Wujud. Itu kenapa
perahu harus dilubangi agar air dari Lautan Makna masuk kedalam perahu dan
penumpang perahu mengenal hakikat air yang mengalir dari lubang tersebut
sehingga akan timbul kesadaran bahwa lewat lubang inilah sesungguhnya akan
dapat masuk dalam Lautan makna yang merupakan permukaan Lautan Wujud dan bila
perahu tidak dilubangi maka akan terus berlayar dan tertangkap oleh Sang
Maharaja (malik al mulky) dan akan mengalami nasib yang sama dengan penumpang
lain yakni dijadikan hamba sahaya , dan bila Sang Maharaja menyukai hambanya
itu maka akan diangkat sebagai penghuni Taman (jannah) indah yang merupakan
pengejawantahan Yang Maha Indah (al-jamal). Kenapa wahana Syariah harus
dilubangi dan tidak lagi digunakan dalam perjalanan menembus alam ghaib menuju
Dia?
Adalah syariah adalah kendaraan bagi manusia yang hidup
dialam kasatmata untuk pedoman menuju ke Taman Surgawi, sedang alam tidak
kasatmata adalah alam yang tidak jelas batas-batasnya karena kekuatan akal
manusia yang mengikat tidak dapat berijtihad untuk menetapkan hukum yang
berlaku dialam ghaib. Itu sebabnya Khidir AS melarang nabi Musa AS bertanya
sesuatu dengan akalnya dalam perjalanan tersebut, dan apa yang dilakukan nabi
Khidir benar-benar bertentangan dengan ukum suci (syariat) dan akal sehat yang
berlaku di dunia yakni melubangi perahu, membunuh anak kecil tak bersalah dan
menegakkan tembok runtuh tanpa upah”. Jika wahana syariah tidak lagi bisa
dijadikan petunjuk, sebenarnya pedomannya tetaplah sama yaitu Kitabullah dan
Sunnah Rasul. Tetapi pemahamannya bukan dengan akal melainkan dzauq yaitu Cita
Rasa Rohani, inilah yang disebut Thariqah, disinil sang salik harus berjuang
keras dan pasrah kepada kehendakNya, maksudnya bila Tuhan tidak berkehendak
kita mengenalNya maka kitapun tidak akan bisa mengenalNya.
Tentang dibalik kisah Khidir AS membunuh anak kecil (
ghulam) adalah perlambang keakuan kerdil yang kekanak-kanakan. Kedewasaan
rohani seseorang yang teguh imannya bisa runtuh akibat terseret cinta kepada
keakuan kerdil tersebut. Sesungguhnya dalam perjalanan rohani menuju Kebenaran Sejati
selalu terjadi keadaan keakuan kerdil dari sang salik cenderung mengingkari
kehambaan dirinya terhadap Cahaya yang Terpuji ( Nur Muhammad) sebagai akibat
ia belum fana kedalam Sang Rasul. Ghulam cenderung durhaka dan ingkar terhadap
kehambaannya kepada Sang Rasul, dengan membunuhnya maka akan lahir ghulam yang
lain yang lebih baik dan lebih berbakti yang melihat dengan mata batin
(bashirah) bahwa dia sebenarnya adalah ‘hamba’ dari Sang Rasul, pengejawantahan
Cahaya Yang Terpuji ( Nur Muhammad ). Karena sesungguhnya keakuan yang kerdil
adalah perlambang dari keberadaan nafsu manusia yang cenderung ingkar dan
durhaka terhadap “ Sumbernya “. Sedang ghulam yang baik perlambang dari
keberadaan roh manusia yang cenderung setia dan berbakti kepada Sumbernya. Dan
kejadian ini sama dengan pada saat nabi Ibrahim AS akan menyembelih Nabi Ismail
AS adalah perlambang puncak dari keimanan mereka yang beriman ( mu’min )
Adapun dinding yang ditinggikan Khidir AS alah perlambang
Sekat Tertinggi ( al barzakh al ‘a’la) yang disebut juga Hijab Yang Maha
Pemurah dan merupakan pengejawantahan Yang Maha Luhur ( al jalil ), lantaran
itu dinding tersebut disebut Dinding Al jalal yang dibawahnya tersimpan
Khasanah Perbendaharaan ( Tahta al-Kanz) yang ingin di ketahui. Sedangkan 2
anak yatim pewaris dinding itu perlambang jati diri nabi Musa AS yang
keberadaannya terbentuk atas jasad ragawi dan roh ( rohani ), kegandaan diri
manusia ini baru tersingkap jika seseorang sudah berada dalam keadaan tidak
memiliki apa-apa, terkucil sendiri, dalam keadaan waktu tak berwaktu, 2 anak
kecil perlambang Nabi Musa AS dan bayangannya di depan Cermin Memalukan ( al
mir’ah al haya’i). Adapun gambaran tentang ‘ ayah yang salih ‘ dari kedua anak
yatim yakni ayah mewariskan khasanah perbendaharaan adalah perlambang dari Abu
Salih Sang Pembuka Hikmah yakni pengejawantahan Sang Pembuka, inilah perjalanan
Nabi Musa dalam diriny sendiri yang penuh dengan perlambang( isyarat ).
Keberadaan jati diri sesungguhnya adalah 2 yaitu pertama;
keberadaan sebagai ( al basyar ) anak Adam AS berasal dari anasir tanah yang
dicipta, dan keberadaannya sebagai roh anak Cahaya Yang Terpuji yang berasal
dari tiupan (nafakhtu) Cahaya diatas Cahaya ( Nurun ‘ala Nurin ). Maksudnya
sebagai al basyar keberadaan jasad ragawi Nabi Musa AS berasal dari Yang
Mencipta ( al khaliq ). Sehingga tidak akan terjadi perseteruan dalam
mempererbutkan Khasanan Perbendaharaan warisan ayahnya yang Shalih. Sebab pada
saat keduanya berdiri berhadap-hadapan didepan dinding jalal dan mendapati dinding
runtuh maka saat itu yang ada hanya satu anak yatim. Maksudnya saat itu
keberadaan al basyar anak Adam AS akan terserap ke dalam roh anak Muhammad,
Saat itulah sang anak sadar bahwa ia sejatinya berasal dari Cahaya di atas
Cahaya yang merupakan pancaran Khasanah Perbendaharaan. Dan ini tidak dapat
diuraikan dalam kaidah-kaidah nalar manusia karena akan membawa kesesatan, jadi
harus dijalani dan dialami sendiri sebagai pengalaman pribadi.
Penjelasan tentang Konsep Shiratal Mustaqim
“ Ini hanya akan memberi petunjuk yang bisa digunakan
untuk meniti jembatan ( shirat) ajaib ke arahNya, kenapa ajaib karena jembatan
ini bisa menjauhkan sekaligus mendekatkan jarak mereka yang meniti dengan
tujuan yang hendak dicapai “.
Kisah Musa AS mencari Khidir AS , jembatan ini memiliki
empat bagian matra yang masing-masing memiliki pintu. Pertama matra istighfar
yang berisi perlambang Nabi Musa AS bersama pemuda ( al-fatta) menjumpai Khidir
AS diperbatasan dua lautan. Kedua matra shalawat yang berisi perlambang Khidir
AS melubangi perahu. Ketiga matra dalil yang berisi perlambang Khidir AS
membunuh anak. Keempat matra nafs al-haqq yang berisi perlambang Khidir AS
menegakkan dinding yang di bawahnya tersembunyi perbendaharaan.
Pada kaum awam istighfar lazimnya dipahami sebagai upaya
memohon ampunan, tetapi bagi para salik istigfar adalah upaya memohon
pembebasan dari ‘belenggu’ keakuan kepada al ghaffar sehingga beroleh maghrifah
yang dibawahnya menyingkap tabir ghain yang menyelubungi manusia, Sesungguhnya
dalam al-ghaffar terdapat makna Maha Pengampun dan juga Maha Menutupi,
Menyembunyikan dan Menyelubungi. Karena kadang manusia terperangkap dalam
keinginan memperoleh karuniaNya semata ( karomah kewalian) maka ia hanya
berputar-putar di matra istighfar yang penuh diliputi gambar-gambaran indah
karuniaNya.
Air kehidupan yang memancar dari lubang perahu itulah
sesungguhnya sama dengan Air Kehidupan yang tergelar dihamparan Lautan Wujud,
dan bila sang salik tidak melalui air kehidupan yang mengalir maka tidak akan
mencapai air kehidupan yang di lautan wujud.
“ Matra Tahlil adalah matra Ke-Esaan, Matra Tauhid.
Inilah Matra Ke-Esaan Wujud, Lautan Wujud sama saja dengan Air kehidupan.
Iabarat ungkapan kesaksian tidak ada Ilah selain Allah, demikianlah disini
diungkapkan bahwa tidak ada air lain yang tergelar dihamparan Lautan Wujud
kecuali Air
Kehidupan yang mengalir dari Sang Hidup, inilah matra
yang ditegakkan oleh Khidir AS yang dibawahnya tersembunyi Perbendaharaan.
Ini merupakan Matra Rahasia yang tidak bisa diuraikan,
karena menyangkut Perbendaharaan Tersembunyi yang terdapat dibawah dinding, tak
satupun diantara makhluk yang mengetahui keberadaanNya, kecuali memang
dikehendakiNya. Jika Alqur’an saja tidak memberikan penjelasan tentang apa
sesungguhnya Perbendaharaan, tentunya manusia tidak boleh mengkhayal-khayal
tentang hal itu. Gambaran Nabi Musa AS yang berpisah dengan Khidir AS di matra
itu adalah kearifan dari sang pencerita untukm tidak mengungkapkan apa yang
tidak dapat dipahami pendengarNYa.
Muga Bermanfa’at.
Salam Rahayu kanti Teguh Selamat Berkah Selalu
Ttd:
Wong Edan Bagu
Putera Rama Tanah Pasundan
http://putraramasejati.wordpress.com
Post a Comment