Sulung Mlebu Geni:

JIKA ditanya, apakah pada masa lalu di Jawa pernah terjadi ‘’pengadilan jalanan’’ yang sangat dramatis karena raja dan para pengadil tidak mampu berbuat apa-apa untuk memenuhi rasa keadilan rakyat, jawabnya mungkin akan sedikit berbeda dari yang diharapkan. Apalagi jika pengadilan jalanan yang dimaksud seperti  gerakan people power yang dilakukan Angkatan 66 ketika menumbangkan Orde Lama. Atau gerakan mahasiswa 1998/1999 yang bertujuan mematahkan kekuasaan Orde Baru. Atau gerakan-gerakan lain yang makin merebak pada masa reformasi sebagai wujud kekecewaan kelompok masyarakat tertentu terhadap realitas yang dinilai buruk/salah di sekitarnya. Seperti perusakan kelab malam, arena perjudian, perlawanan terhadap berbagai keputusan pengadilan serta kebijakan pemerintah, unjuk rasa di kota-kota, dan lain-lain.

Ketidakadilan seperti yang terjadi pada masa kini sebenarnya juga terdapat di masa lalu. Wujudnya saja yang berbeda. Namun, orang Jawa sangat menyadari posisinya waktu itu sehingga tidak gegabah dalam bertindak. Sebab, dalam  sistem monarki yang berkuasa dan menjadi pemilik negara (kerajaan) adalah raja, bukan rakyat (kawula alit) seperti dalam tatanan negara demokrasi. Maka tidak mengherankan jika konflik-konflik yang muncul kebanyakan dilatarbelakangi oleh perebutan kekuasaan maupun vested of interest individu di kalangan elite kerajaan, agama/kepercayaan, hingga masalah perempuan. Contohnya  ketika Ken Arok membunuh Tunggul Ametung dan merebut Ken Dedes, jelas bukan kepentingan rakyat, melainkan ambisi Ken Arok sendiri untuk menjadi penguasa.

Gambaran singkat ini sekadar untuk membuktikan bahwa gerakan people power di Jawa pada masa lalu hanya merupakan letikan-letikan kecil. Tidak pernah membara, apalagi menyala karena tidak memperoleh ruang sedikit pun untuk menyalakannya. Kekuatan rakyat yang digalang oleh rakyat untuk membela kepentingan rakyat jarang muncul ke permukaan.

Sebab, kondisi rakyat sangat ringkih. Hanya menjadi subordinasi kekuasaan yang sedemikian kokoh, mulai para raja, Kumpeni Belanda hingga demang/bekel/kamituwa di pedesaan. Lalu, apakah rakyat tidak pernah merasakan adanya ketidakadilan kepada mereka? Tentu ada. Buktinya, di Jawa pernah mencuat gerakan Ratu Adil yang dimotori ulama, pedagang, petani, namun selalu kandas dikalahkan oleh kekuasaan dan kekuatan kerajaan.

Menghadapi kokoh kuatnya kekuasaan, orang Jawa cenderung menerapkan filosofi: wani ngalah luhur wekasane. Di sini mengalah bukan berarti kalah, tetapi merupakan strategi untuk menyelamatkan diri. Soalnya, rakyat di Jawa waktu itu tidak dapat disamakan dengan mahasiswa di masa kini. Iklim sosial politik pun jauh berbeda dengan sekarang. Dewan Perwakilan Rakyat belum ada. Satu-satunya kekuatan yang dibanggakan dan diperhitungan hanyalah ‘’kesaktian’’ dan ulah kaprajuritan, yang justru sudah jadi monopoli prajurit kerajaan.  Misalnya, rakyat memiliki keris, keampuhannya kalah jauh dari pusaka para manggala yuda dan nayaka praja. Saat itu tidak ada hak milik atas tanah, karena seluruh tanah milik raja. Rakyat hanya nggadhuh sebagai kuli kenceng yang setiap panen harus menyetor upeti pada kerajaan. Keberadaan dirinya pun juga bukan orang ‘’merdeka’’, melainkan hamba sahaya. Ketika raja/penguasa membutuhkan tenaga mereka harus siap menyumbangkannya dengan suka-rela.

Jadi  orang Jawa pada masa lalu memang tidak mungkin mempraktikkan ‘’pengadilan jalanan’’. Misalnya terjadi ketidakadilan, mereka cenderung memperkuat ketahanan diri.  Bukan melawannya secara frontal karena melawan kekuatan besar seperti itu sama halnya: ‘’sulung mlebu geni’’ atau ‘’cebol nggayuh lintang’’. Sikap seperti ini tidak dapat disalahkan karena saat itu mereka benar-benar tidak memiliki bekal dan ‘’kesaktian’’ memadai melawan ketidakadilan yang terjadi dalam skala besar (makro).

Namun demikian, semangat melakukan pengadilan jalanan melawan ketidakadilan dengan cara apa pun (jika kepepet) sesungguhnya juga terdapat dalam pribadi dan sikap hidup  orang Jawa. Buktinya, di Jawa ada unen-unen: ditumpes sacindhile abang, sadumuk bathuk sanyari bumi ditohi pati, kudhi pacul singa landhepa, rawe-rawe rantas malang-malang putung, yen wani aja wedi-wedi yen wedi aja kumawani, dan lain-lain.

Sikap tersebut akan lebih jelas lagi jika dicermati dari  adanya tradisi yang masih sering terwariskan sampai hari ini, yaitu kecenderungan masyarakat yang suka main hakim sendiri ketika kampungnya kemasukan orang jahat, atau pencuri. Begitu tertangkap, pencuri itu dihajar  dulu ramai-ramai sampai puas. Sampai cacat pun tidak apa-apa, biar kapok. Yang penting, jangan mati. Sebab, kalau mati jelas akan berurusan dengan polisi.

Simpulannya, di balik sikap mengalah orang Jawa terdapat pula keberanian dan kenekatan yang membahayakan. Jika diperlakukan tidak adil, dizalimi, dijahati di rumah sendiri, mereka juga akan turun ke jalan membalasnya dengan kekuatan yang nggegirisi... He he he . . . Edan Tenan. Salam Rahayu kanti Teguh Slamet Berkah Selalu Lurr... 

Semoga Bermanfa’at. Amiin
Ttd: Wong Edan Bagu

Pengembara Tanah Pasundan