Rambu-Rambu Mengkritik;
Rambu-Rambu Mengkritik;
Oleh: Wong Edan Bagu.
Putera Rama Tanah Pasundan
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan
salam semoga tercurah kepada penutup para rasul, kepada para keluarga dan
sahabat beliau.
Sidang pembaca yang dimuliakan Allah, sesungguhnya
kesalahan dan kekhilafan merupakan sifat yang melekat di diri anak cucu Adam.
Oleh karenanya, setiap orang bisa saja dikritik dan dibantah. Tidak ada seorang
pun yang ma’shum selain para nabi dan rasul. Meski demikian, terdapat beberapa
ketentuan dan etika yang patut diperhatikan oleh setiap pihak yang ingin
mengritik dan membantah seorang yang keliru dan menyelisihi kebenaran.
Berikut berbagai ketentuan dan etika tersebut:
Ikhlas dalam mengritik dan membantah. Setiap muslim wajib
mengharapkan Wajah Allah ta’ala dalam kritikan dan bantahan yang dilakukannya,
dia tidak boleh melancarkan kritikan dan bantahan dengan tujuan menonjolkan diri, tidakpula mencari
popularitas dan membalas dendam. Jangan sampai dia mengritik karena termotivasi
oleh hasad (kedengkian) atau berbagai tendensi tertentu, namun hendaknya yang
memotivasinya dalam mengritik adalah untuk menampakkan kebenaran dan
menjelaskan kesalahan yang ditopang keinginan memperoleh Wajah Allah ta’ala.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan.
“Wajib bagi setiap orang yang memerintahkan kebaikan dan
mengingkari kemungkaran berlaku ikhlas dalam tindakannya dan menyadari bahwa
tindakannya tersebut adalah ketaatan kepada Allah. Dia berniat untuk
memperbaiki kondisi orang lain dan menegakkan hujjah atasnya, bukan untuk
mencari kedudukan bagi diri dan kelompok, tidakpla untuk melecehkan orang
lain.”[1]
Bantahan harus ditopang di atas ilmu. Kritikus harus
mengetahui letak kesalahan dari pihak yang akan dibantah. Dia harus tahu
kandungan-kandungan perkataan pihak yang dibantah yang bertentangan dengan
nash-nash syari’at sehingga dirinya tidak mengingkari sesuatu yang ma’ruf dan
malah membenarkan kemungkaran, menyalahkan yang benar dan membenarkan yang
salah. Dengan demikian, tidak boleh mengritik dan membantah tanpa ilmu dan
bashirah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
يَنْبَغِي
لِمَنْ أَمَرَ بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَى
عَنْ الْمُنْكَرِ أَنْ يَكُونَ فَقِيهًا
فِيمَا يَأْمُرُ بِهِ فَقِيهًا فِيمَا
يَنْهَى عَنْهُ
“Hendaknya setiap orang yang
melakukan amar ma’ruf nahi mungkar adalah seorang yang ‘alim terhadap apa yang
dia perintahkan dan dia larang.”[2]
Adil. Ketahuilah, kritik dan bantahan merupakan vonis
hukum terhadap seseorang dan Allah telah mengingatkan hal ini dalam firman-Nya,
وَإِذَا
حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ
تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا
يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ
كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (٥٨)
Dan Allah (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
mendengar lagi Maha melihat. (An Nisa: 58). Oleh karena itu, seorang kritikus
tidak boleh berbuat zhalim, melampaui batas, menuduh, dan memaknai perkataan
dengan makna yang tidak dimaksud oleh pihak yang dibantah.
Berhusnuzhan tapi tetap kritis. Dengan demikian,
husnuzhan tersebut tidak kebablasan sehingga kita menganggap setiap kebatilan
diperbolehkan. Sebaliknya, tidak boleh bersuuzhan sehingga memahami perkataan
pihak yang dibantah dengan makna terburuk. Namun, hendaknya bersikap moderat
diantara kedua hal tersebut. Hal ini membutuhkan ketelitian. Oleh karenanya,
siapa yang tidak mampu menguasainya dengan baik, hendaknya dia menyerahkan hal
ini kepada ahlinya.
Lembut dan santun. Karena kelembutan dan kesantunan di
setiap perkara akan menghiasi dan memudahkan. Benar, terkadang di beberapa
kondisi dan untuk beberapa orang, kita perlu sikap tegas sebagaimana yang
dipraktekkan ulama salaf. Akan tetapi, bersikap lembut adalah hukum asal dalam
membantah dan mengritik, apalagi pihak yang dibantah merupakan seorang tokoh
yang memiliki pengikut, atau memiliki peluang besar untuk rujuk kepada
kebenaran. Cukuplah firman Allah bagi kita dalam hal ini, tatkala mengutus Musa
dan Harun kepada Fir’aun,
فَقُولا
لَهُ قَوْلا لَيِّنًا لَعَلَّهُ
يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى (٤٤)
Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata
yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut. (Thaha: 44).
Hanya menghukumi perkataan dan perbuatan lahiriah; tidak
masuk ke ranah batin dan niat yang tersembunyi karena hal itu hanya diketahui
oleh Allah semata. Hal ini sangat penting diperhatikan karena sering
dilalaikan. Acapkali kami ditemukan ikhwan yang berlebih-lebihan dalam
membantah ahli bid’ah sehingga mendorong dirinya untuk memvonis batin ahli
bid’ah tersebut.[3]
Boleh membantah secara tersembunyi atau terang-terangan,
sesuai kondisi. Seorang kritikus perlu bersikap hikmah, sehingga dia mampu menempuh
metode yang paling tepat sesuai kondisi pihak yang dikritik. Jika kesalahan
tersebut dipublikasikan secara luas, maka pada kondisi demikian bantahan dapat
dilancarkan dengan terang-terangan. Namun, apabila kesalahan tersebut bersifat
personal, maka hendaknya pengritik membantah dan mengingatkannya empat mata,
tanpa perlu dipublikasikan.
Tidak berpegang pada berbagai syarat dan kaidah yang
tidak berdalil. Sebagian orang berpendapat bahwa setiap orang yang salah, maka
setiap perkataannya tidak boleh diterima dan didengarkan, meski perkataannya
itu benar dan berdalilkan ayat Al Quran dengan istidlal (pendalilan) yang
benar. Sebagian lagi berpandangan dalam mengritik, jangan hanya membeberkan
kesalahan tapi juga harus menyebutkan kebaikan sehingga bisa bersikap muwazanah
(seimbang). Lainnya mengatakan jangan ingkari sebelum dinasehati terlebih
dahulu.
Semua pandangan di atas, meski terlihat baik, namun tidak
tepat, karena setiap kebenaran patut diterima dan didengar, sedangkan setiap
kebatilan patut dibantah, siapapun orangnya. Tidak ada pihak yang terbebas dari
kritikan dan bantahan setelah para nabi dan rasul.
Memvonis (menghukumi) perkataan bukan personal. Misal
seorang kritikus mengucapkan, “Perkataan ini merupakan kekufuran; bisa
menyebabkan murtad; kefasikan; batil; bid’ah; menyelisihi sunnah” atau ucapan
yang semisalnya sesuai dengan tingkat kesalahan yang dilakukan.
Kritikus tidak boleh mengucapkan, “Fulan telah kafir;
telah murtad; seorang yang fasik; mubtadi'” Mengapa tidak diperbolehkan? Karena
vonis kepada individu memiliki kaidah-kaidah tertentu yang digunakan oleh para
ulama dan hakim.
Contoh akan hal ini adalah perkataan sebagian ulama salaf
“Barangsiapa yang mengatakan bahwa Al Qur-an adalah makhluk, sungguh dia telah
kafir”. Mereka mengatakan ucapan tadi, meskipun demikian mereka tidak
serta-merta memvonis kafir orang yang mengucapkan hal tersebut. Perhatikanlah
hal ini, karena sangat penting.
Pihak yang mengritik berniat untuk menasehati. Dia
berharap dengan kritikannya tersebut, pihak yang salah kembali kepada kebenaran
dan bertaubat serta memperbaiki kesalahannya.
Kritik dan bantahan hukumnya fadhu kifayah. Dengan
demikian, semua orang tidak berkewajiban untuk menulis bantahan dan kritikan
kepada mereka yang menyelisihi ajaran syari’at. Namun, sebagaimana yang
ditegaskan di atas, cukup yang berkemampuan saja.
Demikianlah. Semoga bermanfaat bagi kami pribadi dan kaum
muslimin yang membacanya.
Waffaqaniyallahu wa iyyakum.
Muga Bermanfa’at.
Salam Rahayu kanti Teguh Selamat Berkah Selalu
Ttd:
Wong Edan Bagu
Putera Rama Tanah Pasundan
http://putraramasejati.wordpress.com
http://wongedanbagu.blogspot.com
Post a Comment