Petuah Bijak Prabu Pajajaran Uga Wangsit Siliwangi dan Wasiat Prabu Siliwangi;
Petuah Bijak Prabu Pajajaran Uga Wangsit Siliwangi dan Wasiat
Prabu Siliwangi;
Oleh: Wong Edan Bagu.
Petuah Bijak Prabu Pajajaran Uga Wangsit Siliwangi, makna,
arti
Berikut adalah makna atau arti dalam bentuk terjemahan bebas
dari petuah bijak seorang raja pajajaran yaitu Prabu Siliwangi , yang dikenal
dengan istilah Uga Wangsit Siliwangi. Saya post disini barangkali bisa menjadi
inspirasi danmotivasi.
Uga Wangsit Siliwangi
Prabu Siliwangi berpesan pada warga Pajajaran yang ikut
mundur pada waktu beliau sebelum menghilang :
“Perjalanan kita hanya sampai disini hari ini, walaupun
kalian semua setia padaku! Tapi aku tidak boleh membawa kalian dalam masalah
ini, membuat kalian susah, ikut merasakan miskin dan lapar. Kalian boleh
memilih untuk hidup kedepan nanti, agar besok lusa, kalian hidup senang kaya
raya dan bisa mendirikan lagi Pajajaran! Bukan Pajajaran saat ini tapi
Pajajaran yang baru yang berdiri oleh perjalanan waktu! Pilih! aku tidak akan
melarang, sebab untukku, tidak pantas jadi raja yang rakyatnya lapar dan
miskin.”
Dengarkan! Yang ingin tetap ikut denganku, cepat memisahkan
diri ke selatan! Yang ingin kembali lagi ke kota yang ditinggalkan, cepat
memisahkan diri ke utara! Yang ingin berbakti kepada raja yang sedang berkuasa,
cepat memisahkan diri ke timur! Yang tidak ingin ikut siapa-siapa, cepat
memisahkan diri ke barat!
Dengarkan! Kalian yang di timur harus tahu: Kekuasaan akan
turut dengan kalian! dan keturunan kalian nanti yang akan memerintah saudara
kalian dan orang lain. Tapi kalian harus ingat, nanti mereka akan memerintah
dengan semena-mena. Akan ada pembalasan untuk semua itu. Silahkan pergi!
Kalian yang di sebelah barat! Carilah oleh kalian Ki
Santang! Sebab nanti, keturunan kalian yang akan mengingatkan saudara kalian
dan orang lain. Ke saudara sedaerah, ke saudara yang datang sependirian dan
semua yang baik hatinya. Suatu saat nanti, apabila tengah malam, dari gunung
Halimun terdengar suara minta tolong, nah itu adalah tandanya. Semua keturunan
kalian dipanggil oleh yang mau menikah di Lebak Cawéné. Jangan sampai
berlebihan, sebab nanti telaga akan banjir! Silahkan pergi! Ingat! Jangan
menoleh kebelakang!
Kalian yang di sebelah utara! Dengarkan! Kota takkan pernah
kalian datangi, yang kalian temui hanya padang yang perlu diolah. Keturunan
kalian, kebanyakan akan menjadi rakyat biasa. Adapun yang menjadi penguasa
tetap tidak mempunyai kekuasaan. Suatu hari nanti akan kedatangan tamu, banyak
tamu dari jauh, tapi tamu yang menyusahkan. Waspadalah!
Semua keturunan kalian akan aku kunjungi, tapi hanya pada
waktu tertentu dan saat diperlukan. Aku akan datang lagi, menolong yang perlu,
membantu yang susah, tapi hanya mereka yang bagus perangainya. Apabila aku
datang takkan terlihat; apabila aku berbicara takkan terdengar. Memang aku akan
datang tapi hanya untuk mereka yang baik hatinya, mereka yang mengerti dan satu
tujuan, yang mengerti tentang harum sejati juga mempunyai jalan pikiran yang
lurus dan bagus tingkah lakunya. Ketika aku datang, tidak berupa dan bersuara
tapi memberi ciri dengan wewangian. Semenjak hari ini, Pajajaran hilang dari
alam nyata. Hilang kotanya, hilang negaranya. Pajajaran tidak akan meninggalkan
jejak, selain nama untuk mereka yang berusaha menelusuri. Sebab bukti yang ada
akan banyak yang menolak! Tapi suatu saat akan ada yang mencoba, supaya yang
hilang bisa diteemukan kembali. Bisa saja, hanya menelusurinya harus memakai
dasar. Tapi yang menelusurinya banyak yang sok pintar dan sombong. dan bahkan
berlebihan kalau bicara.
Suatu saat nanti akan banyak hal yang ditemui,
sebagian-sebagian. Sebab terlanjur dilarang oleh Pemimpin Pengganti! Ada yang
berani menelusuri terus menerus, tidak mengindahkan larangan, mencari sambil
melawan, melawan sambil tertawa. Dialah Anak Gembala. Rumahnya di belakang
sungai, pintunya setinggi batu, tertutupi pohon handeuleum dan hanjuang. Apa
yang dia gembalakan? Bukan kerbau bukan domba, bukan pula harimau ataupun
banteng. Tetapi ranting daun kering dan sisa potongan pohon. Dia terus mencari,
mengumpulkan semua yang dia temui. Tapi akan menemui banyak sejarah/kejadian,
selesai jaman yang satu datang lagi satu jaman yang jadi sejarah/kejadian baru,
setiap jaman membuat sejarah. setiap waktu akan berulang itu dan itu lagi.
Dengarkan! yang saat ini memusuhi kita, akan berkuasa hanya
untuk sementara waktu. Tanahnya kering padahal di pinggir sungai Cibantaeun
dijadikan kandang kerbau kosong. Nah di situlah, sebuah nagara akan pecah,
pecah oleh kerbau bule, yang digembalakan oleh orang yang tinggi dan memerintah
di pusat kota. semenjak itu, raja-raja dibelenggu. Kerbau bule memegang
kendali, dan keturunan kita hanya jadi orang suruhan. Tapi kendali itu tak
terasa sebab semuanya serba dipenuhi dan murah serta banyak pilihan.
Semenjak itu, pekerjaan dikuasai monyet. Suatu saat nanti
keturunan kita akan ada yang sadar, tapi sadar seperti terbangun dari mimpi.
Dari yang hilang dulu semakin banyak yang terbongkar. Tapi banyak yang tertukar
sejarahnya, banyak yang dicuri bahkan dijual! Keturunan kita banyak yang tidak
tahu, bahwa jaman sudah berganti! Pada saat itu geger di seluruh negara. Pintu
dihancurkan oleh mereka para pemimpin, tapi pemimpin yang salah arah!
Yang memerintah bersembunyi, pusat kota kosong, kerbau bule
kabur. Negara pecahan diserbu monyet! Keturunan kita enak tertawa, tapi tertawa
yang terpotong, sebab ternyata, pasar habis oleh penyakit, sawah habis oleh
penyakit, tempat padi habis oleh penyakit, kebun habis oleh penyakit, perempuan
hamil oleh penyakit. Semuanya diserbu oleh penyakit. Keturunan kita takut oleh
segala yang berbau penyakit. Semua alat digunakan untuk menyembuhkan penyakit
sebab sudah semakin parah. Yang mengerjakannya masih bangsa sendiri. Banyak
yang mati kelaparan. Semenjak itu keturunan kita banyak yang berharap bisa
bercocok tanam sambil sok tahu membuka lahan. mereka tidak sadar bahwa jaman
sudah berganti cerita lagi.
Lalu sayup-sayup dari ujung laut utara terdengar gemuruh,
burung menetaskan telur. Riuh seluruh bumi! Sementara di sini? Ramai oleh
perang, saling menindas antar sesama. Penyakit bermunculan di sana-sini. Lalu
keturunan kita mengamuk. Mengamuk tanpa aturan. Banyak yang mati tanpa dosa,
jelas-jelas musuh dijadikan teman, yang jelas-jelas teman dijadikan musuh.
Mendadak banyak pemimpin dengan caranya sendiri. Yang bingung semakin bingung.
Banyak anak kecil sudah menjadi bapa. Yang mengamuk tambah berkuasa, mengamuk
tanpa pandang bulu. Yang Putih dihancurkan, yang Hitam diusir. Kepulauan ini
semakin kacau, sebab banyak yang mengamuk, tidak beda dengan tawon, hanya
karena dirusak sarangnya. seluruh nusa dihancurkan dan dikejar. Tetapi…ada yang
menghentikan, yang menghentikan adalah orang sebrang.
Lalu berdiri lagi penguasa yang berasal dari orang biasa.
Tapi memang keturunan penguasa dahulu kala dan ibunya adalah seorang putri
Pulau Dewata. Karena jelas keturunan penguasa, penguasa baru susah dianiaya!
Semenjak itu berganti lagi jaman. Ganti jaman ganti cerita! Kapan? Tidak lama,
setelah bulan muncul di siang hari, disusul oleh lewatnya komet yang terang
benderang. Di bekas negara kita, berdiri lagi sebuah negara. Negara di dalam
negara dan pemimpinnya bukan keturunan Pajajaran.
Lalu akan ada penguasa, tapi penguasa yang mendirikan
benteng yang tidak boleh dibuka, yang mendirikan pintu yang tidak boleh
ditutup, membuat pancuran ditengah jalan, memelihara elang dipohon beringin.
Memang penguasa buta! Bukan buta pemaksa, tetapi buta tidak melihat, segala
penyakit dan penderitaan, penjahat juga pencuri menggerogoti rakyat yang sudah
susah. Sekalinya ada yang berani mengingatkan, yang diburu bukanlah penderitaan
itu semua tetapi orang yang mengingatkannya. Semakin maju semakin banyak penguasa
yang buta tuli. memerintah sambil menyembah berhala. Lalu anak-anak muda salah
pergaulan, aturan hanya menjadi bahan omongan, karena yang membuatnya bukan
orang yang mengerti aturan itu sendiri. Wajar saja bila kolam semuanya
mengering, pertanian semuanya puso, bulir padi banyak yang diselewengkan, sebab
yang berjanjinya banyak tukang bohong, semua diberangus janji-janji belaka,
terlalu banyak orang pintar, tapi pintar kebelinger.
Pada saat itu datang pemuda berjanggut, datangnya memakai
baju serba hitam sambil menyanding sarung tua. Membangunkan semua yang salah
arah, mengingatkan pada yang lupa, tapi tidak dianggap. Karena pintar
kebelinger, maunya menang sendiri. Mereka tidak sadar, langit sudah memerah,
asap mengepul dari perapian. Alih-alih dianggap, pemuda berjanggut ditangkap
dimasukan kepenjara. Lalu mereka mengacak-ngacak tanah orang lain, beralasan
mencari musuh tapi sebenarnya mereka sengaja membuat permusuhan.
Waspadalah! sebab mereka nanti akan melarang untuk
menceritakan Pajajaran. Sebab takut ketahuan, bahwa mereka yang jadi gara-gara
selama ini. Penguasa yang buta, semakin hari semakin berkuasa melebihi kerbau
bule, mereka tidak sadar jaman manusia sudah dikuasai oleh kelakuan hewan.
Kekuasaan penguasa buta tidak berlangsung lama, tapi karena
sudah kelewatan menyengsarakan rakyat yang sudah berharap agar ada mukjizat
datang untuk mereka. Penguasa itu akan menjadi tumbal, tumbal untuk
perbuatannya sendiri, kapan waktunya? Nanti, saat munculnya anak gembala! di
situ akan banyak huru-hara, yang bermula di satu daerah semakin lama semakin
besar meluas di seluruh negara. yang tidak tahu menjadi gila dan ikut-ikutan
menyerobot dan bertengkar. Dipimpin oleh pemuda gendut! Sebabnya bertengkar?
Memperebutkan tanah. Yang sudah punya ingin lebih, yang berhak meminta
bagiannya. Hanya yang sadar pada diam, mereka hanya menonton tapi tetap
terbawa-bawa.
Yang bertengkar lalu terdiam dan sadar ternyata mereka
memperebutkan pepesan kosong, sebab tanah sudah habis oleh mereka yang punya
uang. Para penguasa lalu menyusup, yang bertengkar ketakutan, ketakutan
kehilangan negara, lalu mereka mencari anak gembala, yang rumahnya di ujung
sungai yang pintunya setinggi batu, yang rimbun oleh pohon handeuleum dan
hanjuang. Semua mencari tumbal, tapi pemuda gembala sudah tidak ada, sudah
pergi bersama pemuda berjanggut, pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné!
Yang ditemui hanya gagak yang berkoar di dahan mati.
Dengarkan! jaman akan berganti lagi, tapi nanti, Setelah Gunung Gede meletus,
disusul oleh tujuh gunung. Ribut lagi seluruh bumi. Orang sunda
dipanggil-panggil, orang sunda memaafkan. Baik lagi semuanya. Negara bersatu
kembali. Nusa jaya lagi, sebab berdiri ratu adil, ratu adil yang sejati.
Tapi ratu siapa? darimana asalnya sang ratu? Nanti juga
kalian akan tahu. Sekarang, cari oleh kalian pemuda gembala.
Inilah Wasiat Prabu Siliwangi;
Sri Baduga Maharaja (Ratu Jayadewata) mengawali pemerintahan
zaman Pajajaran, yang memerintah selama 39 tahun (1482-1521).
Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya. Di
Jawa Barat Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Di akhir
masa pemerintahannya, Prabu Siliwangi dikabarkan menghilang, dan sampai
sekarang masih merupakan misteri dimanakah beliau berada, sebelum itu beliau
meninggalkan pesan-pesan untuk pengikutnya.
Pesan-pesan inilah yang dipercaya sebagai ramalan Prabu
Siliwangi untuk kejadian yang akan terjadi dimasa yang akan datang.
Beginilah pesan-pesannya :
Pun, sapun kula jurungkeun
Mukakeun turub mandepun
Nyampeur nu dihandeuleumkeun
Teundeun poho nu baréto
Nu mangkuk di saung butut
Ukireun dina lalangit
Tataheun di jero iga!
Saur Prabu Siliwangi ka balad Pajajaran anu milu mundur dina
sateuacana ngahiang : “Lalakon urang ngan nepi ka poé ieu, najan dia kabéhan ka
ngaing pada satia! Tapi ngaing henteu meunang mawa dia pipilueun, ngilu hirup
jadi balangsak, ngilu rudin bari lapar. Dia mudu marilih, pikeun hirup ka
hareupna, supaya engké jagana, jembar senang sugih mukti, bisa ngadegkeun deui
Pajajaran! Lain Pajajaran nu kiwari, tapi Pajajaran anu anyar, nu ngadegna
digeuingkeun ku obah jaman! Pilih! ngaing moal ngahalang-halang. Sabab pikeun
ngaing, hanteu pantes jadi Raja, anu somah sakabéhna, lapar baé jeung
balangsak.”
Artinya :
Prabu Siliwangi berpesan pada warga Pajajaran yang ikut
mundur pada waktu beliau sebelum menghilang :
“Perjalanan kita hanya sampai disini hari ini, walaupun
kalian semua setia padaku! Tapi aku tidak boleh membawa kalian dalam masalah
ini, membuat kalian susah, ikut merasakan miskin dan lapar. Kalian boleh
memilih untuk hidup kedepan nanti, agar besok lusa, kalian hidup senang kaya
raya dan bisa mendirikan lagi Pajajaran! Bukan Pajajaran saat ini tapi
Pajajaran yang baru yang berdiri oleh perjalanan waktu! Pilih! aku tidak akan
melarang, sebab untukku, tidak pantas jadi raja yang rakyatnya lapar dan
miskin.”
Daréngékeun! Nu dék tetep ngilu jeung ngaing, geura misah ka
beulah kidul! Anu hayang balik deui ka dayeuh nu ditinggalkeun, geura misah ka
beulah kalér! Anu dék kumawula ka nu keur jaya, geura misah ka beulah wétan!
Anu moal milu ka saha-saha, geura misah ka beulah kulon!
Artinya:
Dengarkan! Yang ingin tetap ikut denganku, cepat memisahkan
diri ke selatan! Yang ingin kembali lagi ke kota yang ditinggalkan, cepat
memisahkan diri ke utara! Yang ingin berbakti kepada raja yang sedang berkuasa,
cepat memisahkan diri ke timur! Yang tidak ingin ikut siapa-siapa, cepat
memisahkan diri ke barat!
Daréngékeun! Dia nu di beulah wétan, masing nyaraho:
Kajayaan milu jeung dia! Nya turunan dia nu engkéna bakal maréntah ka dulur
jeung ka batur. Tapi masing nyaraho, arinyana bakal kamalinaan. Engkéna bakal
aya babalesna. Jig geura narindak!
Artinya:
Dengarkan! Kalian yang di timur harus tahu: Kekuasaan akan
turut dengan kalian! dan keturunan kalian nanti yang akan memerintah saudara
kalian dan orang lain. Tapi kalian harus ingat, nanti mereka akan memerintah
dengan semena-mena. Akan ada pembalasan untuk semua itu. Silahkan pergi!
Dia nu di beulah kulon! Papay ku dia lacak Ki Santang! Sabab
engkéna, turunan dia jadi panggeuing ka dulur jeung ka batur. Ka batur urut
salembur, ka dulur anu nyorang saayunan ka sakabéh nu rancagé di haténa. Engké
jaga, mun tengah peuting, ti gunung Halimun kadéngé sora tutunggulan, tah éta
tandana; saturunan dia disambat ku nu dék kawin di Lebak Cawéné. Ulah sina
talangké, sabab talaga bakal bedah! Jig geura narindak! Tapi ulah ngalieuk ka
tukang!
Artinya:
Kalian yang di sebelah barat! Carilah oleh kalian Ki
Santang! Sebab nanti, keturunan kalian yang akan mengingatkan saudara kalian
dan orang lain. Ke saudara sedaerah, ke saudara yang datang sependirian dan
semua yang baik hatinya. Suatu saat nanti, apabila tengah malam, dari gunung
Halimun terdengar suara minta tolong, nah itu adalah tandanya. Semua keturunan
kalian dipanggil oleh yang mau menikah di Lebak Cawéné. Jangan sampai
berlebihan, sebab nanti telaga akan banjir! Silahkan pergi! Ingat! Jangan
menoleh kebelakang!
Dia nu marisah ka beulah kalér, daréngékeun! Dayeuh ku dia
moal kasampak. Nu ka sampak ngan ukur tegal baladaheun. Turunan dia, lolobana
bakal jadi somah. Mun aya nu jadi pangkat, tapi moal boga kakawasaan. Arinyana
engké jaga, bakal ka seundeuhan batur. Loba batur ti nu anggang, tapi batur anu
nyusahkeun. Sing waspada!
Artinya:
Kalian yang di sebelah utara! Dengarkan! Kota takkan pernah
kalian datangi, yang kalian temui hanya padang yang perlu diolah. Keturunan
kalian, kebanyakan akan menjadi rakyat biasa. Adapun yang menjadi penguasa
tetap tidak mempunyai kekuasaan. Suatu hari nanti akan kedatangan tamu, banyak
tamu dari jauh, tapi tamu yang menyusahkan. Waspadalah!
Sakabéh turunan dia ku ngaing bakal dilanglang. Tapi, ngan
di waktu anu perelu. Ngaing bakal datang deui, nulungan nu barutuh, mantuan anu
sarusah, tapi ngan nu hadé laku-lampahna. Mun ngaing datang moal kadeuleu; mun
ngaing nyarita moal kadéngé. Mémang ngaing bakal datang. Tapi ngan ka nu
rancagé haténa, ka nu weruh di semu anu saéstu, anu ngarti kana wangi anu
sajati jeung nu surti lantip pikirna, nu hadé laku lampahna. Mun ngaing datang;
teu ngarupa teu nyawara, tapi méré céré ku wawangi. Ti mimiti poé ieu,
Pajajaran leungit ti alam hirup. Leungit dayeuhna, leungit nagarana. Pajajaran
moal ninggalkeun tapak, jaba ti ngaran pikeun nu mapay. Sabab bukti anu kari,
bakal réa nu malungkir! Tapi engké jaga bakal aya nu nyoba-nyoba, supaya anu
laleungit kapanggih deui. Nya bisa, ngan mapayna kudu maké amparan. Tapi anu
marapayna loba nu arieu-aing pang pinterna. Mudu arédan heula.
Artinya:
Semua keturunan kalian akan aku kunjungi, tapi hanya pada
waktu tertentu dan saat diperlukan. Aku akan datang lagi, menolong yang perlu,
membantu yang susah, tapi hanya mereka yang bagus perangainya. Apabila aku
datang takkan terlihat; apabila aku berbicara takkan terdengar. Memang aku akan
datang tapi hanya untuk mereka yang baik hatinya, mereka yang mengerti dan satu
tujuan, yang mengerti tentang harum sejati juga mempunyai jalan pikiran yang
lurus dan bagus tingkah lakunya. Ketika aku datang, tidak berupa dan bersuara
tapi memberi ciri dengan wewangian. Semenjak hari ini, Pajajaran hilang dari
alam nyata. Hilang kotanya, hilang negaranya. Pajajaran tidak akan meninggalkan
jejak, selain nama untuk mereka yang berusaha menelusuri. Sebab bukti yang ada
akan banyak yang menolak! Tapi suatu saat akan ada yang mencoba, supaya yang
hilang bisa diteemukan kembali. Bisa saja, hanya menelusurinya harus memakai
dasar. Tapi yang menelusurinya banyak yang sok pintar dan sombong. dan bahkan
berlebihan kalau bicara.
Engké bakal réa nu kapanggih, sabagian-sabagian. Sabab
kaburu dilarang ku nu disebut Raja Panyelang! Aya nu wani ngoréhan terus terus,
teu ngahiding ka panglarang; ngoréhan bari ngalawan, ngalawan sabari seuri.
Nyaéta budak angon; imahna di birit leuwi, pantona batu satangtungeun,
kahieuman ku handeuleum, karimbunan ku hanjuang. Ari ngangonna? Lain kebo lain
embé, lain méong lain banténg, tapi kalakay jeung tutunggul. Inyana jongjon
ngorehan, ngumpulkeun anu kapanggih. Sabagian disumputkeun, sabab acan wayah ngalalakonkeun.
Engke mun geus wayah jeung mangsana, baris loba nu kabuka jeung raréang ménta
dilalakonkeun. Tapi, mudu ngalaman loba lalakon, anggeus nyorang: undur jaman
datang jaman, saban jaman mawa lalakon. Lilana saban jaman, sarua jeung waktuna
nyukma, ngusumah jeung nitis, laju nitis dipinda sukma.
Artinya:
Suatu saat nanti akan banyak hal yang ditemui,
sebagian-sebagian. Sebab terlanjur dilarang oleh Pemimpin Antar Waktu! Ada yang
berani menelusuri terus menerus, tidak mengindahkan larangan, mencari sambil
melawan, melawan sambil tertawa. Dialah Anak Gembala. Rumahnya di belakang
sungai, pintunya setinggi batu, tertutupi pohon handeuleum dan hanjuang. Apa
yang dia gembalakan? Bukan kerbau bukan domba, bukan pula harimau ataupun
banteng. Tetapi ranting daun kering dan sisa potongan pohon. Dia terus mencari,
mengumpulkan semua yang dia temui. Tapi akan menemui banyak sejarah/kejadian,
selesai jaman yang satu datang lagi satu jaman yang jadi sejarah/kejadian baru,
setiap jaman membuat sejarah. setiap waktu akan berulang itu dan itu lagi.
Daréngékeun! Nu kiwari ngamusuhan urang, jaradi rajana ngan
bakal nepi mangsa: tanah bugel sisi Cibantaeun dijieun kandang kebo dongkol.
Tah di dinya, sanagara bakal jadi sampalan, sampalan kebo barulé, nu diangon ku
jalma jangkung nu tutunjuk di alun-alun. Ti harita, raja-raja dibelenggu. Kebo
bulé nyekel bubuntut, turunan urang narik waluku, ngan narikna henteu karasa,
sabab murah jaman seubeuh hakan.
Artinya:
Dengarkan! yang saat ini memusuhi kita, akan berkuasa hanya
untuk sementara waktu. Tanahnya kering padahal di pinggir sungai Cibantaeun
dijadikan kandang kerbau kosong. Nah di situlah, sebuah nagara akan pecah,
pecah oleh kerbau bule, yang digembalakan oleh orang yang tinggi dan memerintah
di pusat kota. semenjak itu, raja-raja dibelenggu. Kerbau bule memegang
kendali, dan keturunan kita hanya jadi orang suruhan. Tapi kendali itu tak
terasa sebab semuanya serba dipenuhi dan murah serta banyak pilihan.
Ti dinya, waluku ditumpakan kunyuk; laju turunan urang aya
nu lilir, tapi lilirna cara nu kara hudang tina ngimpi. Ti nu laleungit, tambah
loba nu manggihna. Tapi loba nu pahili, aya kabawa nu lain mudu diala! Turunan
urang loba nu hanteu engeuh, yén jaman ganti lalakon ! Ti dinya gehger
sanagara. Panto nutup di buburak ku nu ngaranteur pamuka jalan; tapi jalan nu
pasingsal!
Artinya:
Semenjak itu, pekerjaan dikuasai monyet. Suatu saat nanti
keturunan kita akan ada yang sadar, tapi sadar seperti terbangun dari mimpi.
Dari yang hilang dulu semakin banyak yang terbongkar. Tapi banyak yang tertukar
sejarahnya, banyak yang dicuri bahkan dijual! Keturunan kita banyak yang tidak
tahu, bahwa jaman sudah berganti! Pada saat itu geger di seluruh negara. Pintu
dihancurkan oleh mereka para pemimpin, tapi pemimpin yang salah arah!
Nu tutunjuk nyumput jauh; alun-alun jadi suwung, kebo bulé
kalalabur; laju sampalan nu diranjah monyét! Turunan urang ngareunah seuri,
tapi seuri teu anggeus, sabab kaburu: warung béak ku monyét, sawah béak ku
monyét, leuit béak ku monyét, kebon béak ku monyét, sawah béak ku monyét,
cawéné rareuneuh ku monyét. Sagala-gala diranjah ku monyét. Turunan urang sieun
ku nu niru-niru monyét. Panarat dicekel ku monyet bari diuk dina bubuntut.
Walukuna ditarik ku turunan urang keneh. Loba nu paraeh kalaparan. ti dinya,
turunan urang ngarep-ngarep pelak jagong, sabari nyanyahoanan maresék
caturangga. Hanteu arengeuh, yén jaman geus ganti deui lalakon.
Artinya:
Yang memerintah bersembunyi, pusat kota kosong, kerbau bule
kabur. Negara pecahan diserbu monyet! Keturunan kita enak tertawa, tapi tertawa
yang terpotong, sebab ternyata, pasar habis oleh penyakit, sawah habis oleh
penyakit, tempat padi habis oleh penyakit, kebun habis oleh penyakit, perempuan
hamil oleh penyakit. Semuanya diserbu oleh penyakit. Keturunan kita takut oleh
segala yang berbau penyakit. Semua alat digunakan untuk menyembuhkan penyakit
sebab sudah semakin parah. Yang mengerjakannya masih bangsa sendiri. Banyak
yang mati kelaparan. Semenjak itu keturunan kita banyak yang berharap bisa
bercocok tanam sambil sok tahu membuka lahan. mereka tidak sadar bahwa jaman
sudah berganti cerita lagi.
Laju hawar-hawar, ti tungtung sagara kalér ngaguruh
ngagulugur, galudra megarkeun endog. Génjlong saamparan jagat! Ari di urang ?
Ramé ku nu mangpring. Pangpring sabuluh-buluh gading. Monyét ngumpul ting
rumpuyuk. Laju ngamuk turunan urang; ngamukna teu jeung aturan. loba nu paraéh
teu boga dosa. Puguh musuh, dijieun batur; puguh batur disebut musuh.
Ngadak-ngadak loba nu pangkat nu maréntah cara nu édan, nu bingung tambah
baringung; barudak satepak jaradi bapa. nu ngaramuk tambah rosa; ngamukna teu
ngilik bulu. Nu barodas dibuburak, nu harideung disieuh-sieuh. Mani sahéng
buana urang, sabab nu ngaramuk, henteu beda tina tawon, dipaléngpéng keuna
sayangna. Sanusa dijieun jagal. Tapi, kaburu aya nu nyapih; nu nyapihna urang
sabrang.
Artinya:
Lalu sayup-sayup dari ujung laut utara terdengar gemuruh,
burung menetaskan telur. Riuh seluruh bumi! Sementara di sini? Ramai oleh
perang, saling menindas antar sesama. Penyakit bermunculan di sana-sini. Lalu
keturunan kita mengamuk. Mengamuk tanpa aturan. Banyak yang mati tanpa dosa,
jelas-jelas musuh dijadikan teman, yang jelas-jelas teman dijadikan musuh.
Mendadak banyak pemimpin dengan caranya sendiri. Yang bingung semakin bingung.
Banyak anak kecil sudah menjadi bapa. Yang mengamuk tambah berkuasa, mengamuk
tanpa pandang bulu. Yang Putih dihancurkan, yang Hitam diusir. Kepulauan ini
semakin kacau, sebab banyak yang mengamuk, tidak beda dengan tawon, hanya
karena dirusak sarangnya. seluruh nusa dihancurkan dan dikejar. Tetapi…ada yang
menghentikan, yang menghentikan adalah orang sebrang.
Laju ngadeg deui raja, asalna jalma biasa. Tapi mémang
titisan raja. Titisan raja baheula jeung biangna hiji putri pulo Dewata. da
puguh titisan raja; raja anyar hésé apes ku rogahala! Ti harita, ganti deui
jaman. Ganti jaman ganti lakon! Iraha? Hanteu lila, anggeus témbong bulan ti
beurang, disusul kaliwatan ku béntang caang ngagenclang. Di urut nagara urang,
ngadeg deui karajaan. Karajaan di jeroeun karajaan jeung rajana lain teureuh
Pajajaran.
Artinya:
Lalu berdiri lagi penguasa yang berasal dari orang biasa.
Tapi memang keturunan penguasa dahulu kala dan ibunya adalah seorang putri
Pulau Dewata. Karena jelas keturunan penguasa, penguasa baru susah dianiaya!
Semenjak itu berganti lagi jaman. Ganti jaman ganti cerita! Kapan? Tidak lama,
setelah bulan muncul di siang hari, disusul oleh lewatnya komet yang terang
benderang. Di bekas negara kita, berdiri lagi sebuah negara. Negara di dalam
negara dan pemimpinnya bukan keturunan Pajajaran.
Laju aya deui raja, tapi raja, raja buta nu ngadegkeun
lawang teu beunang dibuka, nangtungkeun panto teu beunang ditutup; nyieun
pancuran di tengah jalan, miara heulang dina caringin, da raja buta! Lain buta
duruwiksa, tapi buta henteu neuleu, buaya eujeung ajag, ucing garong eujeung
monyét ngarowotan somah nu susah. Sakalina aya nu wani ngageuing; nu diporog
mah lain satona, tapi jelema anu ngélingan. Mingkin hareup mingkin hareup, loba
buta nu baruta, naritah deui nyembah berhala. Laju bubuntut salah nu ngatur,
panarat pabeulit dina cacadan; da nu ngawalukuna lain jalma tukang tani. Nya
karuhan: taraté hépé sawaréh, kembang kapas hapa buahna; buah paré loba nu teu
asup kana aseupan……………………….. Da bonganan, nu ngebonna tukang barohong; nu
tanina ngan wungkul jangji; nu palinter loba teuing, ngan pinterna kabalinger.
Artinya:
Lalu akan ada penguasa, tapi penguasa yang mendirikan
benteng yang tidak boleh dibuka, yang mendirikan pintu yang tidak boleh
ditutup, membuat pancuran ditengah jalan, memelihara elang dipohon beringin.
Memang penguasa buta! Bukan buta pemaksa, tetapi buta tidak melihat, segala
penyakit dan penderitaan, penjahat juga pencuri menggerogoti rakyat yang sudah
susah. Sekalinya ada yang berani mengingatkan, yang diburu bukanlah penderitaan
itu semua tetapi orang yang mengingatkannya. Semakin maju semakin banyak penguasa
yang buta tuli. memerintah sambil menyembah berhala. Lalu anak-anak muda salah
pergaulan, aturan hanya menjadi bahan omongan, karena yang membuatnya bukan
orang yang mengerti aturan itu sendiri. Wajar saja bila kolam semuanya
mengering, pertanian semuanya puso, bulir padi banyak yang diselewengkan, sebab
yang berjanjinya banyak tukang bohong, semua diberangus janji-janji belaka,
terlalu banyak orang pintar, tapi pintar kebelinger.
Ti dinya datang budak janggotan. Datangna sajamang hideung
bari nyorén kanéron butut, ngageuingkeun nu keur sasar, ngélingan nu keur
paroho. Tapi henteu diwararo! Da pinterna kabalinger, hayang meunang sorangan.
Arinyana teu areungeuh, langit anggeus semu beureum, haseup ngebul tina
pirunan. Boro-boro dék ngawaro, malah budak nu janggotan, ku arinyana ditéwak
diasupkeun ka pangbérokan. Laju arinyana ngawut-ngawut dapur batur, majarkeun
néangan musuh; padahal arinyana nyiar-nyiar pimusuheun.
Artinya:
Pada saat itu datang pemuda berjanggut, datangnya memakai
baju serba hitam sambil menyanding sarung/gembolan kain tua. Membangunkan semua
yang salah arah, mengingatkan pada yang lupa, tapi tidak dianggap. Karena
pintar kebelinger, maunya menang sendiri. Mereka tidak sadar, langit sudah
memerah, asap mengepul dari perapian. Alih-alih dianggap, pemuda berjanggut
ditangkap dimasukan kepenjara. Lalu mereka mengacak-ngacak tanah orang lain,
beralasan mencari musuh tapi sebenarnya mereka sengaja membuat permusuhan.
Sing waspada! Sabab engké arinyana, bakal nyaram Pajajaran
didongéngkeun. Sabab sarieuneun kanyahoan, saenyana arinyana anu jadi gara-gara
sagala jadi dangdarat. Buta-buta nu baruta; mingkin hareup mingkin bedegong,
ngaleuwihan kebo bulé. Arinyana teu nyaraho, jaman manusa dikawasaan ku sato!
Artinya:
Waspadalah! sebab mereka nanti akan melarang untuk
menceritakan Pajajaran. Sebab takut ketahuan, bahwa mereka yang jadi gara-gara
selama ini. Penguasa yang buta, semakin hari semakin berkuasa melebihi kerbau
bule, mereka tidak sadar jaman manusia sudah dikuasai oleh kelakuan hewan.
Jayana buta-buta, hanteu pati lila; tapi, bongan kacarida
teuing nyangsara ka somah anu pada ngarep-ngarep caringin reuntas di alun-alun.
Buta bakal jaradi wadal, wadal pamolahna sorangan. Iraha mangsana? Engké, mun
geus témbong budak angon! Ti dinya loba nu ribut, ti dapur laju salembur, ti
lembur jadi sanagara! Nu barodo jaradi gélo marantuan nu garelut, dikokolotan
ku budak buncireung! Matakna garelut? Marebutkeun warisan. Nu hawek hayang
loba; nu boga hak marénta bagianana. Ngan nu aréling caricing. Arinyana mah
ngalalajoan. Tapi kabarérang.
Artinya:
Kekuasaan penguasa buta tidak berlangsung lama, tapi karena
sudah kelewatan menyengsarakan rakyat yang sudah berharap agar ada mukjizat
datang untuk mereka. Penguasa itu akan menjadi tumbal, tumbal untuk
perbuatannya sendiri, kapan waktunya? Nanti, saat munculnya anak gembala! di
situ akan banyak huru-hara, yang bermula di satu daerah semakin lama semakin
besar meluas di seluruh negara. yang tidak tahu menjadi gila dan ikut-ikutan
menyerobot dan bertengkar. Dipimpin oleh pemuda gendut! Sebabnya bertengkar?
Memperebutkan tanah. Yang sudah punya ingin lebih, yang berhak meminta
bagiannya. Hanya yang sadar pada diam, mereka hanya menonton tapi tetap
terbawa-bawa.
Nu garelut laju rareureuh; laju kakara arengeuh; kabéh gé
taya nu meunang bagian. Sabab warisan sakabéh béak, béakna ku nu nyarekel
gadéan. Buta-buta laju nyarusup, nu garelut jadi kareueung, sarieuneun
ditempuhkeun leungitna nagara. Laju naréangan budak angon, nu saungna di birit
leuwi nu pantona batu satangtung, nu dihateup ku handeuleum ditihangan ku
hanjuang. Naréanganana budak tumbal. sejana dék marénta tumbal. Tapi, budak
angon enggeus euweuh, geus narindak babarengan jeung budak anu janggotan; geus
mariang pindah ngababakan, parindah ka Lebak Cawéné!
Artinya:
Yang bertengkar lalu terdiam dan sadar ternyata mereka
memperebutkan pepesan kosong, sebab tanah sudah habis oleh mereka yang punya
uang. Para penguasa lalu menyusup, yang bertengkar ketakutan, ketakutan
kehilangan negara, lalu mereka mencari anak gembala, yang rumahnya di ujung
sungai yang pintunya setinggi batu, yang rimbun oleh pohon handeuleum dan
hanjuang. Semua mencari tumbal, tapi pemuda gembala sudah tidak ada, sudah
pergi bersama pemuda berjanggut, pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné!
Nu kasampak ngan kari gagak, keur ngelak dina tutunggul.
Daréngékeun! Jaman bakal ganti deui. tapi engké, lamun Gunung Gedé anggeus
bitu, disusul ku tujuh gunung. Génjlong deui sajajagat. Urang Sunda disarambat;
urang Sunda ngahampura. Hadé deui sakabéhanana. Sanagara sahiji deui. Nusa
Jaya, jaya deui; sabab ngadeg ratu adil; ratu adil nu sajati.
Artinya:
Yang ditemui hanya gagak yang berkoar di dahan mati.
Dengarkan! jaman akan berganti lagi, tapi nanti, Setelah Gunung Gede meletus,
disusul oleh tujuh gunung. Ribut lagi seluruh bumi. Orang sunda
dipanggil-panggil, orang sunda memaafkan. Baik lagi semuanya. Negara bersatu
kembali. Nusa jaya lagi, sebab berdiri ratu adil, ratu adil yang sejati.
Tapi ratu saha? Ti mana asalna éta ratu? Engké ogé dia
nyaraho. Ayeuna mah, siar ku dia éta budak angon!
Artinya:
Tapi ratu siapa? darimana asalnya sang ratu? Nanti juga
kalian akan tahu. Sekarang, cari oleh kalian pemuda gembala.
Jig geura narindak! Tapi, ulah ngalieuk ka tukang!
Artinya:
Silahkan pergi, ingat jangan menoleh kebelakang!
He he he . . . Edan Tenan.
Muga Bermanfa’at.
Salam Rahayu kanti Teguh Selamat Berkah Selalu
Ttd:
Wong Edan Bagu
Putera Rama Tanah Pasundan
http://putraramasejati.wordpress.com
http://wongedanbagu.blogspot.com
Post a Comment