Pangan, Mangan,Wareg hingga Kemlekaren:
DENGAN mangan, orang bisa bertahan untuk hidup, meski hidup
bukan hanya urusan perut. Karena mangan, jadilah wareg. Tapi jangan sampai
kewaregen, apalagi kemlekaren. Sebab hanya dengan tanpa melampaui batas wareg
yang bisa membuat tetap waras-wiris. Juga hanya dengan ketahanan pangan, ana
dina ana upa akan terus terwujud.
Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa kehidupan itu
disangga oleh pangan. Tanpa pangan, musykil orang bisa hidup. Tidak hanya
manusia, tapi semua yang tergolong makhluk hidup. Semua butuh pangan.
Karena pangan merupakan kebutuhan mendasar, ia pun
dimasukkan dalam kebutuhan yang paling primer. Baru setelah itu sandhang dan
papan. Karena itu, sekalipun kebutuhan lain terpenuhi, tapi kalau urusan pangan
masih belum terselesaikan, sungguh tiada artinya. Beras pun jauh bermakna
ketimbang sebuah pesawat terbang yang paling mutakhir sekalipun ketika perut
harus segera terurus.
Lebih-lebih bagi sebuah negeri agraris negeri yang
menjadikan gemah rimah loh jinawi sebagai gambaran ideal, negeri yang
mengidamkan segenap rakyatnya merasakan murah pangan kalawan sandhang,
tercukupinya boga-wastra. Tidak ada yang paling membanggakan untuk disebut
pertama kecuali prestasi dalam hal wulu wetu tetanen.
Itulah kenapa, secara simbolik-ritual, Dewi Sri sangat
dipuja oleh orang Jawa tradisional. Dialah Dewi Padi. Kenapa padi? Karena padi
merupakan makanan pokok orang Jawa, sejak dulu hingga kini. Jagung, ketela,
gandum, dan yang lainnya hanyalah dianggap sebagai pelengkap. Kadang pula jadi
komplementernya.
Maka dari itu, ungkapan yang berkaitan dengan pangan
senantiasa menjadikan padi dengan segenap turunannya sebagai ikon. Misalnya ana
dina ana upa. Pada ungkapan itu memang tergambar sikap pasrah terhadap keadaan
yang kadang-kadang dituding sebagai penunjuk ke arah kemalasan. Tapi di balik
itu, sebenarnya bersemayam pula spirit optimisme. Optimistis untuk menghadapi
waktu yang terus bergerak maju. Optimistis bahwa setiap ada matahari bersinar
pastilah akan ada yang bisa dimakan, ya upa itu tadi.
Sekalipun demikian, ada ungkapan yang menuntut setiap orang
untuk berupaya agar memperoleh upa, yakni ora obah ora mamah. Tapi semestinya
obah itu tidak besifat temporal atau insidental, melainkan berkesinambungan dan
sistematis. Sebab dengan begitu, kendhil ora ngguling dan terciptalah ketahanan
pangan.
Ketahanan Pedaringan;
Ketahanan pangan, sebagaimana dikemukakan pada awal tulisan
ini, memang merupkan hal mendasar yang mesti dipenuhi. Pemenuhannya pun harus
dimulai dari unit terkecil dalam sebuah kehidupan bermasyarakat-bernegara,
yakni keluarga.
Pada masa lampau, bahkan hingga kini, pada masyarakat Jawa
tradisional, setiap rumah senantiasa terdapat senthong khusus untuk menyimpan
pangan. Padi terutama, baik dalam wujud gabah maupun gebangan. Tempat itu biasa
disebut pedaringan.
Ada gugon tuhon yang berkembang di sekitar pengelolaan
pedaringan. Konon, ora ilok jika beras yang ada di pedaringan dihabiskan hingga
tandas. Sesedikit apa pun harus ada yang tersisa.
Mudah dipahami bahwa itu merupakan anjuran secara tersamar
bahwa memang sebaiknya setiap rumah tidak menghabiskan pangan-nya. Ia harus
selalu memiliki cadangan, sebab ada banyak hal yang tak terduga esok hari. Demi
agar kendhil ora ngguling. Juga demi agar bisa masih bisa bertanam dengan bibit
yang disisakan.
Jika di setiap rumah ada pedaringan, maka di setiap unit di
atasnya mesti ada lumbung. Lumbung padi yang paling jamak, dan itu adanya di
level pedukuhan atau desa. Di situlah setiap warga pada saat panen tiba
menyetor padi masing-masing. Sebaliknya, ketika paceklik datang, dari
lumbunglah mereka bisa berharap mendapatkan sambungan hidup, meski upaya lain
misalnya dengan melahap sega aking, nasi jagung, ataupun tiwul juga ditempuh.
Dari lumbung pula mereka bisa mendapatkan benih terpilih.
Dengan lumbung, sebenarnya juga tercipta kebersamaan dan
termekarkan sikap simpati dan empati terhadap sesama dalam urusan pangan. Bukan
asal bisa mangan wareg dhewe sementara pada saat yang bersamaan ada yang
keluwen njengking. Sebab salah satu implementasi hidup bersama dalam suasana
tolong-menolong adalah bisa asung boga marang kang kaluwen.
Mangan Wareg;
Jika sebagai kebutuhan primer, pangan itu benar-benar
terpenuhi, lantas bagaimana menikmatinya? Apakah mangan itu sekadar sebagai
pemenuhan kebutuhan primer? Apakah mangan itu juga sekadar untuk mengisi perut
kosong agar tidak keroncongan?
Pada mulanya, makan hanyalah upaya agar perut terisi. Namun
sudah semestinyalah jika manusia makan itu hanya dengan gigi atau lidah demi
mengisi perut belaka. Sebab jika sebatas itu, yang terjadi sekadar wareg, wedi
luwe, bahkan kemudian bisa-bisa kemlekaren.
Idealnya, yang makan adalah saranduning jiwa-raga, dambaan,
juga cita-citanya. Keseluruhan pribadi dan riwayat hidup serta suasana jiwanya
ikut makan dan memberikan arti kepada makan, ungkap YB Mangunwijaya dalam
Ragawidya Religiositas Hal-hal Sehari-hari (1986) ketika menuliskan refleksi
tentang makan.
Lebih lanjut dia memberikan penekanan pada makan bersama.
Sebab, justru di situlah dilihat ciri kemanusiaan seseorang: bagaimana ia
bersikap dan dengan apa ia makan, makan bersama. Dalam bersantap bersama,
sebenarnya dicerminkan pernyataan hatinya, dari satu periuk kita makan bersama.
Dari nasi dan lauk pauk serta minuman satu tumpeng satu ceret, semoga tumbuhlah
daging, darah, tulang, dan saraf-saraf kita. Semoga dengan demikian kita
sepaham, sejalan pikiran, sehati seperasaan, senasib, secita-cita. Satu
tumpeng, satu meja, satu tikar, satu keluarga, satu doa....
Pendapat tersebut kiranya paralel dengan ungkapan mangan ora
mangan kumpul. Itulah ungkapan yang secara konkret teraktualisasi dalam tradisi
kendhuren. Saat kajatan itulah sing mangan atau yang kaya dan sing ora kuwat
mangan atau yang kaya berkumpul: duduk bersama, berdoa, dan melahap makanan
yang sama. Semua bersatu untuk menyenyahkan kemungkinn crah agawe bubrah seraya
menegakkan rukun agawe santosa.
Kiranya, masih dalam semangat kebersamaan, makan kumpul
merupakan pola kuliner yang paling menikmatkan bagi orang Jawa. Kiranya makan
bareng-bareng jauh lebih nikmat ketimbang sendirian, selezat apa pun dan
sebergizi apa pun makanan itu. Namun di balik itu, makan kumpul juga sebagai
pengingat kepada semua orang agar ketika makan tidak tampak rakus, tidap
melahap apa saja, apalagi tak wareg-wareg, sehingga tak sampai kemlekaren. ...
He he he . . . Edan Tenan. Salam Rahayu kanti Teguh Slamet Berkah Selalu
Lurr...
Semoga Bermanfa’at. Amiin
Ttd: Wong Edan Bagu
Pengembara Tanah Pasundan
Post a Comment