Ndilalah, Beja, dan Wahyu Kuwasa:
KALAU dalam hal kemampuan tidak tampak begitu istimewa,
kalau dalam hal paras juga bergolong biasa-biasa saja, tak perlu berkecil hati.
Masih ada momentum untuk meraih puncak kuwasa. Nantikanlah untuk (seolah-olah)
dikuya-kuya dan bersamaan dengan itu tumurun wahyu beja dan ndilalah.
Dalam perspektif Jawa yang telah mentradisi, di luar
kewahyon, kuwasa juga dianggap mengandung unsur ndilalah dan beja. Orang boleh
saja bersusah payah dan melengkapi diri dengan segala kemampuan sehingga tampak
pinunjul dari yang lain, tapi kalau tidak dikaruniai beja, ndilalahe ada-ada
saja aralnya. Berkebalikan dengan itu, kalau memang sudah beja, ndilalahe
dihalangi seperti apa pun tetap sarwa kepeneran.
Barangkali di antara berbagai cerita, kisah Pandawalah yang
masih menjadi primadona dalam bawah sadar orang Jawa. Ya, Pandawalah yang hidup
tanpa ayah semenjak kecil. Di bawah asuhan seorang ibu bernama Kunti Nalibrata,
lima ksatria belia itu harus nunut hidup di istana Astina. Itulah istana yang
semestinya mereka terima sebagai warisan, sebagaimana amanat pendahulu, tetapi
kemudian dititipkan kepada sang paman, Destarata.
Namun bukan kamukten yang mereka cecap, melainkan perlakuan
penuh ketakadilan terutama oleh anak-anak Destarata, Kurawa. Oleh Kurawa,
Pandawa senantiasa dikuya-kuya, mulai dari peristiwa di paguron Sokalima, Bale
Sigala-gala, hingga dadu yang berujung pada kekalahan hingga pembuangan mereka
selama belasan tahun di hutan.
Dikuya-kuya dan diupayakan agar tersingkir bukan membuat
Pandawa kian lemah ataupun binasa. Pandawa justru makin sentosa dan dewasa oleh
tempaan cobaan demi cobaan. Dukungan pun terus mengalir, mulai dari Prabu
Matswapati dan segenap anak-anaknya yang telah memberikan semacam suaka bagi
mereka.
Puncaknya, pada saat Baratayuda pecah, dukungan demi
dukungan terus mengalir. Bukan hanya dari mereka yang jelas-jelas berada di
kubu Pandawa, tetapi juga mereka yang berada di barisan Kurawa. Derita dan
kebaikan budi Pandawa rupa-rupanya telah menjadi pemantik empati bagi sosok
semacam Resi Bisma dan Prabu Salya, yang jelas-jelas keduanya maju ke medan
laga sebagai panglima perang bala Kurawa.
Tak pelak, walau secara wadak Pandawa senantiasa
dikuya-kuya, ndilalahe mereka selalu selamat dan nemu beja. Mereka pun akhirya
berhasil memenangi sebuah pertempuran dahsyat dan meraih kuwasa atas Astina
—sebuah negeri yang sebenarnya telah habis kekayaannya akibat ketamakan
Kurawa.
Begitu memesona kisah Pandawa hingga cerita-cerita yang
lebih baru, jika itu menyangkut lara lapa, menderita akibat dikuya-kuya, serta
bagaimana kemenangan dan kuasa teraih, selalu pantas menjadi rujukan.
Heroisitas Damarwulan —seorang pemuda dari desa Paluamba, yang mampu menembus
takhta Majapahit bahkan kemudian menggenggamnya sebagai Prabu Brawijaya, adalah
sebuah kisah yang nyaris semodel dengan jalan yang ditempuh Pandawa.
Ndilalah;
Untuk meraih kekuasaan, tentu harus dekat dengan kuwasa itu
sendiri, baik dengan ikut menggenggamnya maupun dengan minimal dengan dengan
yang punya kuwasa.
Dari sini bisa dipahami, mengapa Damarwulan rela menjadi
seorang pekathik di kepatihan Majapahit, padahal sejak dari desa ia ingin
menjadi prajurit. Meski hanya berada di kandang kuda, sesungguhnya ia telah
mendekatkan diri pada kuasa Majapahit. Dengan berada di sana, ia bukan saja
dapat bercinta dengan Anjasmara, putri Patih Logender, tetapi juga ikut
mendengar resonansi dinamika kekuasaan dari ring pertama Majapahit.
Begitu pula yang diupayakan Ken Arok. Demi menembus takhta
Tumapel, dan kelak Singasari, serta demi mengemban amanat dari para brahmana
yang dikomandani Dahyang Logawe, dia harus masuk dalam lingkaran kuasa Akuwu
Tunggul Ametung.
Bukankah para Pandawa, ketika berada dalam pembuangan di
hutan, juga telah menyamar sebagai abdi di lingkungan istana Matswapati.
Damarwulan, Arok, juga Pandawa, memang memiliki kesanggupan
untuk ber-lara lapa sekaligus kemampuan menahan diri untuk bersabar menanti
saat yang tepat buat bertindak. Namun di balik itu, tetap saja faktor ndilalah
dan beja sangat menentukan untu bisa melakukan mobilitas secara vertikal menuju
puncak kuwasa.
Ndilalah sinjang Dedes tersingkap lantaran diterpa angin,
sehingga Arok bisa melihat benda elok bersinar yang konon katanya di sanalah
sakti kekuasaan itu bersemayam. Ndilalah pula Ratu Kencanawungu mimpi sekaligus
mendapatkan wangsit bahwa seorang pemuda dari desa bernama Damarsasangkalah
yang bisa menyingkirkan musuh bebuyutan Majapahit, Adipati Menakjingga. Begitu
pula yang terjadi pada Pandawa. Sekalipun dialap pati di Bale Sigala-gala oleh
Kurawa, ndilalah ada garangan putih yang menyelamatkan mereka dari pembakaran
hidup-hidup.
Maka, ketika faktor dikuya-kuya itu bisa bertemu dengan
faktor ndilalah dan beja, di situlah sebenarnya wahyu kuwasa berada. Bukankah
alam perpolitikan kita secara riil, lima tahun yang silam, juga telah
meninggalkan pesan semacam itu. Terlepas apakah faktor dikuya-kuya itu sesuatu
yang benar adanya atau sekadar citra yang terbentuk.
Kini, dunia politik kita sedang didera oleh berbagai
persoalan berkait dengan pencitraan, tebar pesona, dan pamer prestasi. Hanya,
dalam alam pikir Jawa, sering muncul faktor penentu yang disebut ndilalah dan
beja tadi.
Akankah dua faktor itu untuk waktu yang terlalu lama lagi
akan menjadi penentu? Akankah makin banyak yang menanti tumuruning wahyu
ndilalah demi meraih puncak kuwasa? Atau, harus mendramatisasi sekecil apa pun
asalkan bisa menjadi pemantik kemunculan citra dikuya-kuya atau dizalimi.
Yang pasti, lebih banyak kisah dan sejarah yang mencatat,
sekalipun banyak yang berburu puncak kuwasa, tetap saja yang meraihnya, selain
kesinungan ndilalah dan beja adalah yang tak jauh-jauh dari puncak kuwasa. Ya,
ndilalah dan beja itu ternyata tak jauh-jauh juga tempatnya. Kalapun meleset
atau terpeleset, tak ke mana-mana pula meleset-nya. . ... He he he . . . Edan
Tenan. Salam Rahayu kanti Teguh Slamet Berkah Selalu Lurr...
Semoga
Bermanfa’at. Amiin
Ttd: Wong Edan Bagu
Pengembara Tanah Pasundan
Post a Comment