Menebar Kasih Sayang:
Menebar Kasih Sayang:
Oleh: Wong Edan Bagu.
Putera Rama Tanah Pasundan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabada :
إِنَّمَا
يَرْحَمُ اللهُ مِنْ عِبَادِهِ
الرُّحَمَاءَ
Sesungguhnya Allah hanya menyayangi hamba-hambaNya yang
penyayang (HR At-Thobrooni dalam al-Mu’jam al-Kabiir, dan dihasankan oleh
Syaikh Albani dalam shahih Al-Jaami’ no 2377)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda
الرَّاحِمُوْنَ
يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَانُ، اِرْحَمُوا مَنْ فِي الأَرْضِ
يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ
“Para pengasih dan penyayang
dikasihi dan di sayang oleh Ar-Rahmaan (Allah yang maha pengasih lagi maha
penyayang-pen), rahmatilah yang ada di bumi niscaya kalian akan dirahmati oleh
Dzat yagn ada di langit” (HR Abu Dawud no 4941 dan At-Thirmidzi no 1924 dan
dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam as-Shahihah no 925)
Kata dalam مَنْ
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah isim maushuul, yang dalam
kadiah ilmu ushuul fiqh memberikan faedah keumuman. Oleh karenanya
Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam tidak hanya memerintahkan kita untuk
merahmati orang yang sholeh saja… bahkan Nabi memerintahkan kita untuk
merahmati seluruh manusia… dan bukan hanya manusia.. bahkan hewan-hewanpun
termasuk di dalamnya.
Al-Munaawi rahimahullah berkata,
بِصِيْغَةِ
الْعُمُوْمِ يَشْمَلُ جَمِيْعَ أَصْنَافِ الخَلاَئِقِ فَيُرْحَمُ البَرّ وَالفَاجِرُ وَالنَّاطِقُ
والْمُبْهَمُ وَالْوَحْشُ وَالطَّيْرُ
“Sabda Nabi ((rahmatilah yang ada
di bumi)) dengan konteks keumuman, mencakup seluruh jenis makhluk, maka
mencakup rahmat kepada orang baik, orang fajir, orang yang berbicara, orang
yang bisu, hewan dan burung” (Faidhul Qodiir 1/605)
Perhatikanlah para pembaca yang budiman… kita
diperintahkan oleh Allah bukan hanya untuk merahmati manusia… bahkan kita
diperintahkan untuk merahmati hewan…!!!
قال
رجلٌ : يا رسول الله!
إني لأذبح الشاة فأرحمُها،
قال: ” والشَّاة إِنْ رَحِمْتَهَا، رَحِمَكَ
اللهُ” مَرَّتَيْنِ
“Seseorang berkata : “Wahai
Rasulullah, aku menyembelih seekor kambing lantas aku merahmatinya”, Rasulullah
berkata, “Bahkan seekor kambing jika engkau merahmatinya maka Allah akan
merahmati engkau”, Rasulullah mengucapkannya dua kali (HR Al-Bukhari di Al-Adab
Al-Mufrod dan dishahihkan oleh Syaikh Albani di as-Shahihah no 26)
Orang yang menyembelih seekor kambing tanpa ada rasa
rahmat dengan mengasah parangnya di hadapan kambing tersebut misalnya, atau
menyembelihnya dengan parang yang tidak tajam sehingga menyakiti kambing
tersebut misalnya… tentu tidak sama dengan seseorang yang menyembelih kambing
namun dengan rasa rahmat kepada sang kambing, sehingga ia berusaha menyembelih
kambing tersebut dengan sebaik-baiknya. Orang yang merahmati kambing maka Allah
akan merahmati orang tersebut, bahkan Rasulullah menegaskan hal ini sebanyak
dua kali.
Bahkan dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda;
مَنْ
رَحِمَ وَلَوْ ذَبِيْحَةً، رَحِمَهُ
اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa yang merahmati
meskipun seekor sembelihan maka Allah akan merahmatinya pada hari kiamat” (HR
Al-Bukhari di Al-Adab Al-Mufrod dan dihasankan oleh Syaikh Albani)
Seseorang yang merahamati seekor sembelihan bukan hanya
dirahmati oleh Allah di dunia, bahkan dirahmati oleh Allah pada hari kiamat
kelak, hari dimana setiap kita membutuhkan kasih sayang Allah.
Bahkan jika seseorang merahmati seekor anjing…
renungkanlah hadits ini.
بَيْنَمَا
كَلْبٌ يُطِيفُ بِرَكِيَّةٍ كَادَ
يَقْتُلُهُ الْعَطَشُ إِذْ رَأَتْهُ بَغِيٌّ
مِنْ بَغَايَا بَنِي إِسْرَائِيلَ فَنَزَعَتْ
مُوقَهَا فَسَقَتْهُ فَغُفِرَ لَهَا بِهِ
“Tatkala ada seekor anjing yang
hampir mati karena kehausan berputar-putar mengelilingi sebuah sumur yang
berisi air, tiba-tiba anjing tersebut dilihat oleh seorang wanita pezina dari
kaum bani Israil, maka wanita tersebut melepaskan khufnya (sepatunya untuk
turun ke sumur dan mengisi air ke sepatu tersebut-pen) lalu memberi minum
kepada si anjing tersebut. Maka Allah pun mengampuni wanita tersebut karena
amalannya itu” (HR Al-Bukhari no 3467 dan Muslim no 2245)
Jika merahamati seekor hewan maka mendatangkan rahmat
Allah dan kasih sayang Allah maka bagaimana lagi jika kita merahmati sesama
manusia ???
Merahmati seorang fajir.
Perintah Allah untuk menebarkan kasih sayang berlaku umum
bahkan mencakup seorang pelaku kemaksiatan –sebagaimana perkataan Al-Munaawi di
atas-. Bukankah kita kasihan tatkala melihat seseroang yang terjerumus dalam
kemaksiatan… kasihan kehidupannya yang pernuh dengan kegelapan di dunia,
terlebih-lebih lagi jika akhirnya masuk ke dalam neraka jahannam. Bagaimana
hati ini tidak tergerak untuk kasihan dan merahmatinya…??
Bagaimana hati ini tidak tergerak untuk berdakwah
kepadanya…??
Bukankah sebagian kita dahulu juga seperti itu..??
bukankah sering kita menanti-nanti ada yang mendakwahi kita tatkala itu..??
sungguh hati ini sangat bersedih jika ternyata orang-orang sholeh malah
menjauhi mereka para pelaku kemaksiatan… hanya bisa mencemooh tanpa berusaha mendakwahi
mereka…!!!
Saya jadi teringat dengan tentang pengakuan seorang
remaja yang saya dengar di Idzaa’atul Qur’aan Al-Kariim (Radio dakwah Arab
Saudi). Remaja tersebut bercerita bahwa ia dahulunya adalah seorang pecandu
morfin selama bertahun-tahun, dan ibunya selalu melarangnya untuk mengkonsumsi
morfin, akan tetapi teguran sang ibu tidak pernah ia hiraukan. Hingga
bertahun-tahun berlalu sang ibu tidak bosan-bosannya menasehati dengan penuh
kelembutan dan kasih sayang adapun ia juga tidak bosan-bosannya tidak
menghiraukan teguran sang ibu. Hingga akhirnya pada suatu hari di hari jum’at
setelah ashar (yang merupakan waktu mustajab untuk berdoa sebagaimana pendapat
sebagian ulama) maka sang ibu pun berdoa : “Yaa Allah sadarkanlah putraku atau
cabutlah nyawanya agar ia berhenti dari kemaksiatannya“. Ternyata Allah
mengabulkan doa sang ibu dan menyadarkannya dari kemaksiatan ini, hingga
akhirnya iapun meninggalkan heroin. Demikian tutur sang pemuda.
Yang menjadi perhatian saya adalah di akhir tuturannya sang
pemuda berkata, “Saya sering lewat di depan mesjid tatkala adzan
dikumandangkan… dan saya tidak sholat, akan tetapi tidak seorang pun dari
jama’ah masjid yang menegurku…!!!, bertahun-tahun lamanya.. tidak seorang pun
dari mereka yang menegurku..!!”
Oleh karenanya para pembaca yang budiman kita juga
semestinya berusaha untuk menebarkan rahmat dan kasih sayang meskipun kepada
pelaku kemaksiatan dengan mendekatinya dan mendakwahinya semampu kita dengan
cara yang selembut-lembutnya.
Merahmati pelaku bid’ah.
Para pembaca yang budiman, termasuk pelaku kemaksiatan
adalah pelaku bid’ah. Ketahuilah kebanyakan para pelaku bid’ah di zaman kita
–terutama di tanah air kita- adalah orang-orang yang bodoh dan tidak paham
dengan sunnah dan al-haq. Bahkan banyak diantara mereka yang sama sekali tidak
mengenal dakwah sunnah, mereka mewarisi bid’ah yang mereka lakukan secara turun
temurun.
Saya tidak berbicara tentang gembong-gembong bid’ah yang
mengikuti hawa nafsu mereka sehingga nekad menolak atau mempelintir dalil-dalil
demi melarisakan bid’ah mereka. Akan tetapi saya berbicara tentang mayoritas
saudara-saudara kita yang terjerumus ke dalam bid’ah karena kejahilan dan
ketidak tahuan mereka. Bukankah banyak diantara kita –bahkan sebagian besar
kita- tidak mengenal sunnah sejak kecil?, akan tetapi mayoritas kita dahulu
tenggelam di atas bid’ah sebagaimana kebanyakan masyarakat yang terjerumus
dalam praktek-praktek bida’h. Bukankah kita mendapatkan hidayah dengan adanya
seseorang salafy yang kemudian mendekat kepada kita sehingga kemudian
menjelaskan sunnah kepada kita…??.
Oleh karenanya marilah kita merahmati para pelaku bid’ah
dengan menyebarkan dakwah sunnah kepada mereka.
Syaikh Utsaimin berkata tentang para pelaku bid’ah:
وَهؤلاء
الْمُخَرِّفُوْنَ مَسَاكِيْنُ، إِنْ نَظَرْنَا إِلَيْهِمْ
بِعَيْنِ الْقَدْرِ؛ فَنَرَقَّ لَهُمْ، وَنَسْأَلُ اللهَ
لَهُمُ السَّلاَمَةَ، وَإِنْ نَظَرْنَا إِلَيْهِمْ
بِعَيْنِ الشَّرْعِ؛ فَإِنَّنَا يَجِبُ أَنْ نُنَابِذَهُمْ
بِالْحُجَّةِ حَتىَّ يَعُوْدُوا إِلَى
الصِّرَاطِ الْمُسْتَقِيْمِ
“Para pelaku khurofat tersebut
kasihan mereka, jika kita memandang mereka dengan pandangan taqdir (bahwasanya
semua terjadi dengan taqdir Allah-pen) maka kita kasihan mereka, dan kita
memohon kepada Allah keselamatan bagi mereka. Jika kita memandang mereka dengan
pandangan syari’at mak wajib bagi kita melawan mereka dengan hujjah agara
mereka kembali kepada jalan yang lurus” (Al-Qoul Al-Mufiid 1/65)
Bukankah Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
لاَ
يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ
مَا يُحِبُّ لِنَفْسِِهِ
“Tidaklah beriman salah seorang
dari kalian hingga ia menyukai bagi saudaranya apa yang dia sukai untuk
dirinya”
Bukankah kita senang jika kita berada di atas ketaatan
kepada Allah…??, maka hendaknya kita juga senang jika saudara kita juga
demikian dan meninggalkan kemaksiatan yang dilakukannya. Bukankah seorang
muslim yang terjerumus dalam kemaksiatan atau bid’ah juga masih merupakan
saudara kita sesama muslim???
Praktek Ibnu Taimiyyah dalam merahmati pelaku bid’ah
Seseorang yang ikhlash adalah seseorang yang bersikap
sesuai dengan kehendak Allah, bukan bergerak dengan kehendak hawa nafsunya.
Inilah orang yang berjiwa besar. Tidak sebagaimana praktek sebagian orang yang
berjiwa kecil, sehingga jika mudah marah karena mengikuti hawa nafsunya. Bahkan
terkadang menghembuskan kemarahannya tersebut di balik topeng membela agama..
wallahul musta’aan.
Lihatlah bagaimana praktek Ibnu Taimiyyah terhadap
musuh-musuhnya para pelaku bid’ah.. sungguh pelajaran yang sangat luar biasa.
Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah telah berjihad
dan membantah berbagai macam model bid’ah. Oleh karenanya kita dapati mayoritas
kitab-kitab beliau adalah bantahan terhadap bid’ah-bid’ah terutama
bid’ah-bid’ah yang berkaitan dengan aqidah. Sehingga banyak ahlul bid’ah yang
memusuhi beliau… bahkan mereka berfatwa akan kafirnya Syaikul Islam Ibnu
Taimiyyah. Bahkan mereka berfatwa kepada Raja untuk membunuh Ibnu Taimiyyah.
Akan tetapi… apakah Ibnu Taimiyyah pernah berfikir untuk membalas dendam jika ia
mendapatkan kesempatan..??? perhatikanlah tiga kisah berikut ini:
Kisah pertama :
Tentang Ibnu Taimiyyah dan sulthon Ibn Qolawuun.
Ibnu Katsiir rahimahullah dalam kitabnya Al-Bidaayah wa
An-Nihaayah bercerita tentang kisah Ibnu Taimiyyah.
Sulthon An-Nashir Ibn Qolawuun memiliki para petinggi
dari kalangan para ulama bid’ah yang memusuhi Ibnu Taimiyyah, dan mereka
berfatwa kepada sang Sulthoon agar membunuh Ibnu Taimiyyah. Akan tetapi sang
sulthoon hanya memenjarakan Ibnu Taimiyyah dan tidak membunuhnya. Maka pada
suatu saat datanglah Al-Jaasyinkir kemudian menggulingkan dan merebut kekuasaan
sang Sulthoon. Akhirnya para petinggi tersebut berkhianat dan membelot
meninggalkan sang sulthoon dan membai’at Al-Jaasyinkiir.
Tentu hal ini membuat murka sang sulthoon. Maka sang
sulthoon akhirnya berusaha merebut kembali kekuasaannya dan akhirnya ia
berhasil. Ternyata para petinggi tersebut kembali kepada sang sulthoon, yang
hal ini membuat sang sulthoon marah dan mengetahui bahwasanya mereka adalah
para penjilat. Akhirnya sang suthoonpun mengeluarkan Ibnu Taimiyyah dari
penjara dan menyambut Ibnu Taimiyyah dengan pernuh penghormatan di hadapan para
petinggi tersebut yang pernah berfatwa untuk membunuh Ibnu Taimiyyah. Lantas
sang sulthoon mengeluarkan secarik kertas dari kantongnya yang ternyata isi
kertas tersebut adalah fatwa para petinggi tersebut untuk membunuh Ibnu
Taimiyyah.
Tentunya sang sulthoon sudah menyimpan dendam yang sangat
besar, dan berharap agar Ibnu Taimiyyah berfatwa sebaliknya untuk membunuh para
petinggi tersebut.
Ibnu Taimiyyah berkata, “Akupun faham maksud sang
Sulthoon, dan aku tahu bahwasanya ia menyimpan dendam dan kemarahan yang sangat
dalam terhadap para ptinggi tersebut, karena mereka telah membelot darinya dan
membai’an Al-Jasyinkir…, maka akupun mulai memuji para ulama, yaitu para
petinggi tersebut, dan menyebutkan jasa mereka, dan seandainya mereka pergi
maka sang sulthoon tidak akan mendapatkan petinggi-petinggi yang seperti
mereka”. Sang sulthoon berkata, “Mereka (para ulama dan petinggi) tersebut
telah menyakitimu dan berulang-ulang ingin agar engkau dibunuh”. Ibnu Taimiyyah
berkata, “Barangsiapa yang menyakitiku maka aku telah memafkannya, dan
barangsiapa yang menyakiti Allah dan RasulNya maka Allah akan membalasnya, aku
tidak akan membela diriku sendiri”. Akhirnya hilanglah kemarahan sang sulthoon.
(Lihat kisah ini Al-Bidaayha wa An-Nihaayah 18/93-95 (tahqiq At-Turki) dan juga
Al-’Uquud Ad-Durriyyah hal 221)
Kisah kedua :
Tatkala musuh beliau meninggal dunia.
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Aku tidak pernah
melihat seorangpun yang lebih mengumpulkan sifat-sifat tersebut dari pada
Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah (yaitu memafkan dan berbuat ihsan kepada orang lain).
Sebagian sahabat senior Ibnu Taimiyyah berkata,
وَدِدْتُ
أَنِّي لأَصْحَابِي مِثْلُهُ لأَعْدِائِهِ وَخُصُوْمِهِ
“Aku sangat berharap sikapku
kepada sahabat-sahabatku sebagaimana sikap Ibnu Taimiyyah kepada musuh-musuh
beliau”
Aku tidak pernah melihatnya mendoakan kejelekan kepada
seorangpun dari musuh-musuhnya, bahkan beliau mendoakan mereka. Suatu hari aku
mendatangi beliau member kabar gembira tentang meninggalnya musuh besarnya dan
yang paling keras menentang dan menyakiti Ibnu Taimiyyah, maka beliaupun
membentak aku dan mengingkari sikapku dan mengucapkan inaa lillahi wa inaa
ilaihi rooji’uun. Lalu beliapun segera pergi menuju rumah keluarga musuhnya
yang meninggal tersebut menyatkan turut berduka cita dan menghibur mereka dan
berkata : “Sesungguhnya aku menggantikan posisinya bagi kalian. Karenanya jika
kalian membutuhkan sesuatu dan bantuan maka aku akan membantu kalian” atau
semisal perkataan ini, maka merekapun gembira dan mendoakan Ibnu Taimiyyah dan
mereka menganggap ini perkara yang besar dari Ibnu Taimiyyah” (Lihat perkataan
Ibnul Qoyyim ini di kitab beliau Madaarij As-Saalikiin 3/139-140)
Lihatlah bagaimana lapangnya hati Ibnu Taimiyyah, musuh
besarnya yang sangat menentang dan paling menyakiti beliau tatkala meninggal
maka Ibnu Taimiyyah segera menghibur keluarganya yang ditinggalkan. Bahkan Ibnu
Taimiyyah membentak Ibnul Qoyyim yang bergembira dengan kematian musuhnya
tersebut.
Kisah ketiga :
Ibnu Taimiyyah dan Al-Bakri.
Abul Hasan Nuurudiin Al-Bakri adalah salah seorang tokoh sufi
yang membolehkan beristighotsah kepada Nabi setelah wafatnya Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, yang pemikirannya telah dibantah oleh Ibnu Taimiyyah dalam
kitabnya “Al-Istighootsah fi Ar-Rod ‘alaa Al-Bakriy”. Al-Bakri telah menyatakan
bahwa Ibnu Taimiyyah adalah seorang zindiiq bahkan terkadang ia mengkafirkan
Ibnu Taimiyyah. Bahkan ia bersama pengikutnya telah mengeroyok untuk memukul
Ibnu Taimiyyah.
Tatkala
orang-orang semakin banyak berkumpul melihat pengkeroyokan tersebut maka
Al-Bakry pun kabur karena ketakutan. Akhirnya datanglah banyak orang dan juga
tentara kepada Ibnu Taimiyyah meminta izin kepada beliau untuk menghukumi
Al-Bakri akibat perbuatannya. Akan tetapi Ibnu Taimiyyah berkata, “Aku tidak
mau membela diriku”. Akan tetapi mereka tetap ngotot agar menghukumi perbuatan
Al-Bakri. Akhirnya Ibnu Taimiyyah berkata, “Kalau bukan hak menghukuminya
merupakan hak saya, atau merupakan hak kalian atau merupakan hak Allah. Jika
hak tersebut adalah hak saya maka Al-Bakriy telah saya maafkan, dan jika hak
menghukum adalah hak kalian maka jika kalian tidak mendengar nsehatku maka
jangan meminta fatwa kepadaku, dan silahkan kalian melakukan apa yang kalian
kehendaki. Dan jika hak adalah milik Allah maka Allah akan mengambil hakNya
sesuai kehendakNya dan kapan saja Ia kehendaki”.
Maka tatkala kerajaan mencari-cari Al-Bakry untuk dihukum
maka Al-Bakriy pun lari dan bersembunyi di rumah Ibnu Taimiyyah –tatkala beliau
bermukim di Mesir- hingga akhirnya Ibnu Taimiyyah member syafaat agar Raja
mengampuni Al-Bakriy, dan akhirnya iapun dimaafkan”
Para pembaca yang budiman… sungguh akhlaq yang sangat
mulia dari Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah. Tatkala tiba kesempatan baginya untuk
membalas dendam justru ia malah memaafkan musuh-musuhnya dari kalangan Ahlul
Bid’ah. Hal ini bahkan telah dipersaksikan dan diakui oleh musuh-musuhnya.
Diantaranya ada yang berkata,
مَا
رَأَيْنَا مِثْلَ ابْنِ تَيْمِيَّةَ،
حرَّضنَا عَلَيْهِ فَلَمْ نَقْدِرْ عَلَيْهِ،
وقَدِرَ عَلَينَا فَصَفَحَ عَنَّا، وَحَاجَجَ عَنَّا
“Kami tidak pernah melihat
seorangpun seperti Ibnu Taimiyyah, kami berusaha untuk mengganggunya namun kami
tidak mampu untuk menjatuhkannya, dan tatkala ia mampu untuk menjatuhkan kami
maka iapun memaafkan kami bahkan membela kami” (Ini merupakan perkataan Ibnu
Makhluuf, silahkan lihat Al-Bidaayah wa An-Nihaayah 18/95 tahqiq At-Turki)
Itulah Ibnu Taimiyyah yang berjiwa besar, mengambil
tindakan bukan dengan hawa nafsunya, akan tetapi dengan dalil Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Hal ini tidak mungkin bisa dilakukan kecuali oleh seseorang yang
telah mengumpulkan keyakinan yang tinggi akan janji Allah dan kesabaran. Karena
dengan dua sikap inilah (yakin dan sabar) maka seseorang akan meraih
kepemimpinan dalam agama, sebagaimana yang telah diraih oleh Ibnu Taimiyyah. Beliu
berkata dalam kalimat emasnya;
بِالصَّبْرِ
وَالْيَقِيْنِ تُنَالُ الإِمَامَةُ فِي
الدِّيْنِ
“Dengan kesabaran dan keyakinan
maka akan diraih kepimimpinan dalam agama” (Al-Mustadrok ‘alaa Majmuu’
Al-Fataawaa 1/145)
Allah telah berfirman
وَجَعَلْنَا
مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا
بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin
yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar dan adalah
mereka meyakini ayat-ayat kami (As-Sajdah ayat 24)
Para pembaca yang budiman… sungguh merupakan perkara yang
sangat menyedihkan tatkala kita melihat diri kita atau sebagian kita yang
sangat jauh dari akhlak orang yang kita kagumi ini yaitu Syaikul Islam Ibnu
Taimiyyah, yang seluruh hidupnya ia korbankan demi menegakkan aqidah dan manhaj
salaf. Sungguh hati ini merasa sedih dan tersayat tatkala melihat sebagian kita
mencela dan menghabisi sebagian yang lain diantara ahlus sunnah… lihatlah sikap
Ibnu Taimiyyah terhadap Ahlul bid’ah yang memusuhi beliau… bahkan mengkafirkan
beliau… bahkan mengroyok beliau…, ini sikap beliau terhadap Ahlul Bid’ah,
bagaimana lagi sikap terhadap sesame ahlus sunnah. Ya Allah Engkau Maha Tahu
bahwasanya kami para dai jauh dari sikap dan akhlaq tersebut, maka ampunilah
kami Yaa Gofuur Yaa Rohiim.
Apa yang saya tuliskan ini bukan berarti saya mengingkari
praktek hajr terhadap pelaku maksiat ataupun kepada ahlul bid’ah… semuanya
tetap berlaku dengan menimbang antara maslahat dan mudhorot. bukan-merupakan-ghoyah-tujuan-akan-tetapi-merupakan-wasilah.
Muga Bermanfa’at.
Salam Rahayu kanti Teguh Selamat Berkah Selalu
Ttd:
Wong Edan Bagu
Putera Rama Tanah Pasundan
http://putraramasejati.wordpress.com
http://wongedanbagu.blogspot.com
Post a Comment