Mekanisme Adiling Alam Pengadilane Gusti Ora Sare:

JANGAN pernah berharap datangnya ratu adil. Ratu adil itu tak pernah ada, sekalipun dalam kesadaran masyarakat Jawa masa lalu, raja disebut-sebut sebagai kang ngasta bawat pusaraning adil, bang-bang aluming praja. Justru kekuasaan mutlak, sebagaimana yang dimiliki para raja, senantiasa mengundang ketidakadilan demi tegaknya kuasa. Jangan pula berharap ada hukum adil, sebab jika cuma manusia yang menjalankan, ia akan mudah dibelokkan. Hanya pada Kang Mahadil dan mekanisme hukum keadilan alamlah harapan itu pantas ada dan memang semestinya dijaga.

Dalam pandangan pesimistik, barangkali memburu keadilan tak ubahnya menegakkan benang basah. Sebuah upaya yang sia-sia. Namun tidak bagi kalangan optimistik. Keadilan tetap saja harus diburu, diupayakan, dan ditemukan. Sebab, dalam kesadaran religius -Jawa, misalnya- Tuhan senantiasa disebut sebagai Kang Mahaadil. Dari Kang Mahaadil itulah keadilan tetap bakal terpancarkan.

Simaklah salah satu episode termasyhur wiracarita India yang semenjak berabad-abad lalu telah men-Jawa: Baratayuda. Baratayuda tidak dianggap sekadar perang perebutan kekuasaan atas wilayah Astina. Bukan, melainkan lebih dari itu merupakan ajang bagi hukum keadilan menjalankan mekanismenya.

Dalam pertempuran antara kubu Pandawa dan Kurawa itulah sesungguhnya berlaku ''sapa nandur ngundhuh'' (siapa menanam akan menuai). Nandur pari ngundhuh wareg, nandur rawe ngundhuh gatel (menanam padai akan menuai kenyang, menanam rawe akan menui rasa gatal). Bagi para tokoh yang terlibat di dalamnya, perbuatan masa silam akan mendapatkan penebusan, bakal terbayarkan, di tengah medan laga. Tak ada yang bisa lari dari janji, punagi, prasapa, ataupun ipat-ipat yang pernah terucap. Semua akan tunduk pada hukum keadilan ''sapa nandur ngundhuh'' tadi.

Karena itu, di medan Kurusetra, ''sapa cidra wahyune sirna''. Kesaktian bukanlah segala-galanya. Kepandaian tidaklah cukup untuk mengatasi semuanya. Sebab, lagi-lagi, hukum keadilanlah yang bicara.

Utopia Keadilan;
Namun dalam realitas faktual, sungguh mengusung hukum keadilan ala Baratayuda bukan hal yang mudah, bahkan terkadang jadi utopia belaka. Tentu masih tetap segar dalam ingatan khalayak, bagaimana benda-benda yang semestinya bisa menjadi barang bukti, termasuk darah, atas pembunuhan seorang wartawan sebuah media di Yogyakarta harus dilarung ke Segara Kidul.

Sungguh itu bukan adegan dalam lakon ketoprak, melainkan fakta yang pernah terungkap dalam persidangan di sebuah lembaga peradilan.

Itukah sebuah refleksi atas kemampatan jalan keadilan yang semestinya bisa diretas atau sebuah keculasan di balik upaya berkelit dari jerat peradilan? Entahlah, namun yang pasti, jalan keadilan yang mestinya selalu lurus-lempang, tak jarang berkelok bahkan kelewat jauh menyimpang.

Lembaga-lembaga yang diklaim sebagai institusi pengadil justru kerap kali berbuat tidak adil lantaran kelewat berselingkuh dengan kekuasaan dan kepentingan. Pengadilan itu tidak hanya berhenti pada wilayah kriminalitas an sich, melainkan merambah pada area kognitif dan tataran keyakinan.

Pola pengadilan yang dijalankan oleh para wali terhadap Siti Jenar, lengkap dengan aneka muslihat yang melingkupi, adalah sebentuk pendayagunaan institusi pengadilan sebagai kedok untuk berbuat tidak adil dan pelanggengan kekuasaan sendiri.

Tak jarang pula institusi keadilan hanya berhenti pada dataran keadilan legal-formal, bukan keadilan secara substansial. Padahal, yang disebut terakhirlah yang senantiasa didamba para kawula, sebagaimana tokoh Saridin dalam kisah Syeh Jangkung tatkala diadili di pendapa Kadipaten Pati karena dakwaan membunuh kakak iparnya.

Mokong, nyamin, nggemblung, atau merkengkong pun lantas dipilih sebagai sebentuk mekanisme pertahanan diri tatkala keadilan legal-formal cuma menusuk rasa keadilan.

Karena itulah, orang lantas berpasrah, sementara pengharapan akan datangnya keadilan belum benar-benar padam. Tindak laku pepe, sebagaimana yang lazim dilakukan oleh para kawula yang merasa rasa keadilannya tertusuk, adalah sebentuk protes atas ketidakadilan yang dibungkus dalam formula kepasrahan. Sebuah protes yang tidak mengagresi, melainkan strategi untuk membetot perhatian sekaligus mengingatkan siapa saja -terutama penguasa- untuk melirik kembali pada prinsip-prinsip keadilan.

Jika upaya-upaya semacam itu pun mengalami kenbuntuan, orang lantas bersandar pada ungkapan semacam ''Trimaa sing nglakoni rak ora trima sing momong'' (kalaupun yang mengalami bisa menerima, pastilah Yang Momong (Tuhan) tidak akan tinggal diam). Sebab, Gusti ora sare!

Gusti Allah Kang Mahaadil, dalam perspektif religiusitas Jawa, pastilah akan selalu menjalankan mekanisme keadilan alam ciptaannya. Karena itu, kehadiran bencana alam senantiasa mengingatkan manusia akan datang saatnya kebenaran, akan tiba saatnya keadilan, yakni becik ketitik, ala ketara (yang baik akan kelihatan kemuliaannya, yang jahat akan tampak kenistaannya).

Sebab, pada saat seperti itu, manusia bakal seperti gabah den interi (gabah di atas tampah yang digoyang-goyangkan), juga akan dirambang biar ada yang kemambang. Akan tampak mana yang wos dan mana yang las, mana yang bernas dan mana yang gombong.

Sekalipun demikian, pada saat seperti itu, tak kurang-kurang yang justru memanfaatkan situasi penuh huru-hara untuk sekadar rebut biada, berebut mencari kehormatan.

Mereka lupa bahwa hukum dunia ini adalah keadilan. Menurut hukum keadilan itu, donya iku onya (dunia itu berubah). Justru nek ora onya, donya iki ora adil (jika tidak berubah, dunia ini tidak adil).

Ya, memang ada siang, ada malam. Kadang di atas, kadang di bawah. Cakra manggilingan, senantiasa berubah seiring dengan perubahan waktu. Namun di situlah sesungguhnya hukum keadilan tengah menjalankan mekanismenya, termasuk terhadap kekuasaan yang dianggap mutlak sekalipun. Justru di situlah keadilan berbiak dan terus mendapatkan ruang gerak. . ... He he he . . . Edan Tenan. Salam Rahayu kanti Teguh Slamet Berkah Selalu Lurr... 

Semoga Bermanfa’at. Amiin
Ttd: Wong Edan Bagu

Pengembara Tanah Pasundan