Mburu Antenge Pikir:
JIKA sekali waktu njajah desa milang kori ke pelosok melihat
dari dekat kehidupan wong cilik, banyak hal yang akan membuat kita trenyuh.
Meskipun tanah Jawa sudah menangi rejaning jaman, ternyata banyak nasib mereka
yang belum berubah. Hidupnya tetap sederhana. Puluhan tahun jadi tani-utun,
buruh nggarap sawah orang lain di desanya. Rumahnya pun masih rumah kayu warisan
orang tua. Hanya, hidupnya kelihatan santai, damai, dan bahagia. Tidak
kemrungsung. Pagi sebelum ke sawah ngurusi perkutut klangenan-nya lebih dulu.
Menambah ketan hitam, mengganti air minumnya, kemudian menggantungkan
sangkarnya di teritis. Sudah itu menikmati teh nasgithel di beranda.
Nyamikannya ubi rebus. Sambil mengisap rokok tingwe, sesekali metheti, atau
nyingsoti, dan puas ketika burung kesayangannya manggung bersahut-sahutan: aur
keteg koong koong kong. Jika sudah demikian, ia jadi tampak sangat bahagia,
tampak mulia, serasa beban hidup lenyap seketika. Maka, ketika ke sawah manggul
pacul pun dia melangkah dengan gagah sambil rengeng-rengeng Mijil, Sinom, atau
Dandanggula.
Karena itulah, hingga kini kebiasaan memelihara perkutut
terhitung masih mbalung sungsum bagi orang Jawa yang nggegegi Jawane. Seperti
halnya memelihara ayam aduan, mancing, udud klembak menyan, nglaras uyon-uyon
atau campursari sambil menikmati teh nasgithel, masang wayang kulit idolanya di
ruang tamu, dan lain-lain. Meskipun ada juga kegemaran yang kadang menjurus ke
hal-hal negatif, seperti judi, dan adu jago, namun klangenan sendiri sering
dijadikan obat, atau tamba atibagi orang Jawa dalam mencari dan menemukan
kenteraman hidup. Atau dengan kata lain, klangenan bukan untuk bersenang-senang
saja, melainkan cara untuk memperoleh: padhange pikir, resiking ati, dan
warasing jiwa-raga. Contohnya seperti kebiasaan memelihara perkutut itu.
Bagi orang Jawa (di Jawa) bunyi perkutut yang khas bukan
saja terdengar indah, merdu, namun juga menenteramkan, memberikan suasana
nyaman pada lingkungan. Bahkan tidak jarang mereka menganggap perkutut burung
sakral, sehingga menembak burung ini pun dianggap tabu, dan memelihara perkutut
dianggap laku olah batin bagi yang bersangkutan. Itulah sebabnya pengakuan
nilai perkutut di Jawa kadang bukan hanya berpedoman pada kemerduan suara,
keindahan wujud, dan kejinakannya melulu, akan tetapi sudah menggunakan
pertimbangan spiritual (rohani). Soalnya, banyak yang percaya jika perkutut
dapat memberikan sinyal-isyarat lewat berbagai macam cara atas sejumlah
peristiwa kosmis yang sulit dijangkau atau dideteksi akal-budi manusia. Dengan
demikian, perkutut seolah dianggap sekumpulan mata facet dari kutub-kutub
magnet yang mampu menangkap gejala alam dan memancarkan kembali ke dalam bentuk
sederhana dan mudah dipahami secara inderawi oleh pemiliknya.
Maka tidak mengherankan jika sampai hari ini klangenan
memelihara perkutut belum terkalahkan oleh tren memelihara burung berkicau,
seperti: jalak, cucak rawa, hwabie, poksay, murai, kenari, dan lain-lain.
Sebab, jika kicau jalak atau cucak hanya merdu dan memberikan suasana alamiah,
anggung-nya perkutut lebih dari itu. Mitosnya tidak jauh berbeda dari suara
gagak yang sering jadi tanda akan datangnya kematian atau marabahaya. Mirip
suara prenjak yang jadi pertanda datangnya tamu serta rezeki. Setara dengan
suara burung malam, seperti kulik dan tu, yang suka dikaitkan dengan hantu dan
pencuri.
Memelihara perkutut sudah cukup tua, membuat burung ini
seakan telah menyatu dengan kehidupan orang Jawa. Buktinya, primbon mengenai
perkutut sudah ada sejak berbabad-abad lalu. Seperti Katuranggan Oceh-Ocehan
dari Kasunanan Giri (1478-1670) yang ditulis begitu njlimet. Katurangganing
Kapal lan Peksi yang ditemukan di Kasunanan Bonang (Tuban) ketika ekspedisi
Speelman (VOC) menyerang basis-basis Trunajaya di Jatim. Karuman Wasiteng Wali
yang ditemukan di Padepokan Kanigoro, Gunung Pasir, antara
Probolinggo-Pasuruhan, berangka 1512, di mana DG Hollander menelitinya pada
tahun 1896.
Ternyata banyak klangenan di Jawa bukannya main-main, dan
keliru jika kebiasaan tersebut hanya dinilai dari pandangan wadhag belaka.
Contohnya, memelihara perkutut dan menghayati suaranya bukan hanya luru seneng,
tetapi sesungguhnya mburu antenge pikir lan urip. Memberi aba-apa perkutut juga
merupakan salah satu cara berkomunikasi dengan hewan dan alam semesta. Seluruh
gerak kehidupan perkutut dalam sangkarnya pun dapat dijadikan kaca benggala. Sapa
kang menehi kabecikan marang liyan, bakal winales becik dening liyan. Maka,
lebih terpuji lagi jika masih suka nguri-uri kebiasaan, pada waktu-waktu
tertentu melepas kembali perkutut peliharaanya ke alam bebas, pulang ke
habitatnya. Artinya, klangenan memelihara perkutut juga menjadi pelajaran
berharga bagi kita: Sapa seneng ngrungokake tangise liyan, ora pantes nangisi barang
darbeke kang ilang. ... He he he . . . Edan Tenan. Salam Rahayu kanti Teguh
Slamet Berkah Selalu Lurr...
Semoga Bermanfa’at. Amiin
Ttd: Wong Edan Bagu
Pengembara Tanah Pasundan
Post a Comment