Mati Salah Pati:
BEBERAPA bulan belakangan, obrolan di Pos Ronda di RT saya
jadi tambah gayeng. Terutama ketika warga membicarakan hukuman mati Amrozi Cs,
dan kasus Ferry Idham, jagal Jombang yang begitu dingin membantai
korban-korbannya. Suatu malam ketika giliran ronda dan baru saja melangkahkan
kaki masuk Pos Kamling, saya mendengar suara Mbah Wira yang bariton itu menyatakan
pendapatnya dengan ketus. Kalau saya bertetangga dengan mereka, dan setelah
mereka dihukum mati mayatnya dibawa pulang, saya tak akan melayat!
Lho, kok begitu, Mbah?
tanya Kang Dul, tukang bakso yang dlosoran di sudut sambil ngisi daftar hadir
anggota ronda malam itu.
Tidak layat itu artinya tidak bela sungkawa, Dul. Karena
mereka telah ngalami mati salah pati. Tapi, sebagai sesama umat manusia saya
tetap mendoakan semoga arwahnya mendapat jalan yang lapang, dan diterima oleh
Gusti yang Akarya Jagad.
Adapun alasan tidak bela sungkawa, Mbah Wira yang mantan
pejuang empat lima namun badannya masih sehat dan ethes itu, menjelaskan
pendapatnya yang diambil dari filosofi Jawa.
Pertama, kematian sejati atau sering disebut mati saka
kersaning Allah. Mati seperti ini ada juga yang menyebut mati yang baik.
Artinya, yang menjadi penyebab kematiannya murni karena kehendak Allah SWT.
Contohnya, orang yang sudah tua kemudian sakit sehingga ia menemui ajalnya
dengan tenang. Umat Islam di Jawa meyakini, orang yang meninggal dengan baik
antara lain ketika yang bersangkutan selesai melakukan salat subuh. Dengan
meninggal pagi, berarti tidak akan merepotkan sanak keluarga untuk mempersiapkan
upacara pemakamannya. Coba, kalau meninggalnya malam? Jenazah terpaksa harus
diinapkan, ditungggui. Padahal malam waktunya untuk tidur, keluarga dan
tetangga harus bangun mengurus jenazah dan uborampe yang diperlukan. Dengan
kata lain, kematiannya tersebut langsung tak langsung akan membuat repot
keluarga dan tetangga dekatnya.
Adapun yang disebut mati terhormat, contohnya para pahlawan
yang gugur sebagai kusuma bangsa memerdekakan Indonesia dari cengkeraman
penjajah. Terhadap pahlawan yang berjasa besar seperti ini, ketika kematiannya,
orang Jawa pasti akan bergumam: dudu sanak dudu kadang yen mati melu kelangan. Mengapa demikian, sebab ia telah mendarmabaktikan hidupnya
demi kepentingan orang lain. Maka tidak mengherankan, jika mereka yang tidak kenal
dan hanya tahu namanya saja bisa menitikkan air mata. Kemudian setelah
meninggal makamnya ramai diziarahi, namanya dielu-elukan, fatwa nasihatnya
dilestarikan dan diwariskan hingga anak cucu. Artinya, meskipun telah tiada, kematian-nya
tidak membuat masyarakat terpisah (jauh) dengannya.
Lain halnya dengan kematian terkutuk, atau kematian karena
dilaknat. Orang sama sekali tidak akan menaruh hormat kepadanya termasuk cara
matinya. Menurut Mbah Wira, dulu pada masa agresi Belanda dia bersama
pasukannya pernah mengadang mata-mata yang baru saja keluar dari rumah opsir
Belanda. Mata-mata itu langsung ditembak oleh pasukan dan mayatnya dibiarkan
tergeletak di jalan, tanpa ada yang berusaha mengurusnya. Beberapa saat
kemudian, muncul dua ekor anjing mendekat dan menjilat-jilat darahnya. Setelah
itu, Mbah Wira tidak tahu apa yang terjadi karena dia dengan pasukannya segera
meninggalkan tempat itu.Mati seperti itu hanya akan
menjadi gedibal...,ujarnya menambahkan.Seharusnya
dia dapat mati lebih baik dan terhormat jika perbuatannya tidak begitu jauh
meninggalkan norma kemanusiaan, serta merugikan masyarakat.
Di Jawa memang ada unen-unen yang berbunyi: ngundhuh wohing
pakarti. Ada juga yang berbunyi: yen sira nate
gawe cilakaning liyan, aja ngedhap yen mengko uga bakal ginawe cilaka saka
liyan. Berdasarkan pandangan orang Jawa,
pendapat Mbah Wira bukannya gegabah dan tanpa landasan sama sekali. Orang Jawa
mengukur kematian seseorang dari perbuatan dan amal ibadah yang bersangkutan,
yang langsung tak langsung berpengaruh terhadap cara dan waktu kematiannya.
Artinya, jika amal ibadahnya baik, waktu dan cara matinya pun besar kemungkinan
juga baik. Sebaliknya, jika perbuatannya buruk, kematiannya juga mungkin akan
berlangsung secara buruk (mati salah pati, mati terkutuk,
mati dilaknat, dan lain-lain).
Kasus hukuman mati bagi Amrozi Cs, dan juga nanti
(seandainya) Ferry Idham juga dijatuhi hukuman sama atas perbuatan yang di luar
batas peri kemanusiaan itu, mungkin hanya sebagian kecil dari jutaan kasus
kematian di dunia seperti disebut Mbah Wira: mati salah pati, dikarenakan ulah
manusia maupun diri sendiri. Sebagai hamba Allah, kita harus sadar bahwa
kematian memang tidak dapat ditolak. Tetapi, alangkah indahnya jika kematian
kita nanti bukan karena keputusan (vonis) duniawi yang dibuat oleh manusia
sebagai tebusan atau hukuman atas tindak
perbuatan yang benar-benar bertentangan dengan rasa kemanusiaan yang hakiki... .
... He he he . . . Edan Tenan. Salam Rahayu kanti Teguh Slamet Berkah Selalu
Lurr...
Semoga Bermanfa’at. Amiin
Ttd: Wong Edan Bagu
Pengembara Tanah Pasundan
Post a Comment