Luwih ora Luweh:

BAGI orang Jawa, kepemilikan harta kekayaan, atau bandha donya, selalu dianggap mung saderma nggadhuh peparinge Gusti Kang Akarya Jagad. Semuanya hanya anugerah. Persis seperti pandangan batin mereka yang mempercayai bahwa: siji pesthi, loro jodho, telu tibaning wahyu, papat kodrat, lima bandha, merupakan hak prerogatif Allah terhadap umatnya. Maka tidak mengherankan jika dalam memandang materi keduniawian, orang Jawa sering tidak bisa lepas dari nilai-nilai di atas. Ada nasihat yang sangat populer di Jawa, yaitu wong mati iku ora nggawa bandha. Ada juga unen-unen lain yang berbunyi: bandha donya bisa lunga, pangkat bisa oncat, bojo ayu bisa mlayu. Jadi, apalah artinya harta, pangkat, istri cantik, karena semuanya bisa saja lenyap sewaktu-waktu lantaran kehidupan di dunia itu fana, sementara, atau tidak langgeng.

Pandangan hidup seperti itulah yang melatarbelakangi mengapa para leluhur menciptakan peribahasa yang memuat aneka warna norma yang kental mewarnai kehidupan orang Jawa. Contohnya, bagi orang kaya selalu diperingatkan bahwa kekayaan itu jangan dimiliki sendiri, tetapi harus juga lumeber (meluap), digunakan membantu orang lain yang hidupnya kecingkrangan. Artinya, mereka yang sudah berkecukupan, rezekinya berlebih, atau turah-turah, sekali kali jangan melupakan tetangga kiri-kanan.

Kepada mereka, para leluhur menasihatkan agar: dadiya wong kang nandur wiji keli. Yaitu, ibarat orang menanam biji yang hanyut terbawa arus. Biji itu tumbuh atau tidak, kapan tumbuhnya, di mana tumbuhnya nanti, jangan terlampau dipikirkan. Maknanya, setiap orang kaya harus mau dan berani beramal untuk jangka panjang. Apabila hanya menggunakan hartanya untuk bersenang-senang, membahagiakan diri sendiri, manfaatnya tidak bertambah, di samping harta tersebut suatu saat akan habis. Setinggi apa pun gunung kekayaan yang dimiliki, kalau setiap hari dicangkul terus akhirnya gunung tersebut pasti akan rata dengan tanah. Tetapi, kalau kelebihan hartanya itu diamalkan nilainya justru akan bertambah dan berubah menjadi kebaikan.

Untuk perbuatan amal seperti itu, ada peribahasa yang menyatakan: sugih ora marakake malih, dana driyah dadi rowang ngadhep Gusti Allah. Maknanya, kekayaan tidak membuat perubahan yang hakiki pada nilai seseorang. Berbeda jika kekayaan yang berlebih itu diberikan (disedekahkan) kepada orang lain. Kebaikan tersebut akan mengubah dan menjadi nilai tambah nanti di depan Allah YME. Ada lagi peribahasa lain yang mirip, yaitu: gabah digegem buthuken, disebar lemah ngebaki sawah. Maknanya, harta kalau disimpan atau digenggam sendiri tentu akan rusak (busuk), dan akhirnya malah dibuang karena tidak bermanfaat lagi. Namun, sebagaimana segenggam biji gabah, kalau disebar ke tanah (ditanam dan dirawat dengan baik), biji tersebut akan tumbuh dan bertunas sehingga memenuhi sawah. Dan setelah berbuah, jelas hasilnya akan berlipat kali lebih tinggi dari jumlah biji gabah yang mula-mula ditanam.

Karena itulah, mereka yang menggunakan hartanya untuk memuaskan hawa nafsu semata, ajaran kejawen sama sekali tidak membenarkan. Kadonyan kang ala iku tegese mung ngangsa-angsa golek bandha donya, ora mikirake kiwa tengene, ora mikirake batine wong liya. Maknanya, kesenangan dunia yang dinilai tidak baik itu adalah hidup mengejar harta benda saja, tidak peduli terhadap masyarakat, tidak peduli terhadap perasaan mereka. Alasannya, hidup di dunia tidak sendirian, dan juga banyak hal yang tidak dapat dikerjakan tanpa bantuan orang lain.

Ada kisah menarik, bagaimana seseorang yang memiliki empat buah rumah yang sedianya diperuntukkan buat anak-anaknya, namun karena anak-anak mereka bekerja di luar Jawa, keempat rumah tersebut kosong bertahun-tahun. Maka, daripada kosong, tidak ada yang menempati dan membersihkan, ia menyewakan rumah tersebut kepada orang yang membutuhkan. Bayarnya bulanan, dan ia tidak mau kalau rumah itu dikontrak seperti umumnya (dikontrak tahunan dan uang kontrak dibayar di muka). Alasannya, dirinya punya kelebihan rumah, dan si penyewa butuh tempat tinggal karena tidak punya rumah. Menurut dia, dalam kondisi seperti itu sangat tidak pantas kalau dirinya yang memiliki empat buah rumah (kaya) mengontrakkan rumahnya (mengambil keuntungan) dari orang yang belum punya rumah (miskin).

Di sini tampak, bahwa harta kekayaan dapat digunakan menolong, meringankan beban kesulitan orang lain. Harta itupun pada hakikatnya bukan milik pribadi, karena semuanya adalah rezeki titipan dari Allah. Jadi, menurut pandangan orang Jawa alangkah indahnya jika kelebihan harta seseorang ditanam untuk menyejahterakan orang banyak. Persis seperti nasihat para sesepuh: Nulung sapepadhaning titah aja mikir wadhuk, kanthong, lan wayah. Awan bengi yen turah isining kendhi lumunturna marang sesami. Demikianlah, menolong sesama itu tidak perlu menggunakan banyak pertimbangan. Sekali waktu, di lereng gunung Merbabu, saya sempat mendengar orang bilang: sapa luwih ora kena muni luweh. Sungguh, indah sekali patembayatan hidup di Jawa itu. ... He he he . . . Edan Tenan. Salam Rahayu kanti Teguh Slamet Berkah Selalu Lurr... 

Semoga Bermanfa’at. Amiin
Ttd: Wong Edan Bagu

Pengembara Tanah Pasundan