Guru Pendidikan Karakter:
Guru Pendidikan Karakter:
Oleh: Wong Edan Bagu.
(PRTP)
Jakarta Senin tgl 01-09-2014
“Anda tidak bisa
mengajarkan apa yang Anda mau, Anda tidak bisa mengajarkan apa yang Anda tahu.
Anda hanya bisa mengajarkan siapa Anda” – Soekarno
Sebelum saya lebih jauh mengkaji tentang topic yang akan
dibahas kali ini, maka saya akan berbagi tentangbelajar. Ya, proses belajar
bagaimana otak menyerap informasi. Inilah yang seringkali diabaikan, kita
sebagai orangtua atau guru maunya seringkali “memaksa” anak mengerti tentang
sesuatu hal dan “jalankan” seperti computer, kasi perintah dan tekan “ENTER”. Nah,
kalo di manusia bukan ENTER tapi “ENTAR” upsss…
Dari penelitian diberbagai belahan dunia yang terus
berkembang, hasil riset tentang tehnik penyerapan informasi ke otak dibagi
menjadi 5 tahap :
• Membaca dengan prosentase penyerapan informasi 10%
• Mendengar dengan prosentase penyerapan informasi 20%
• Mendengar dan Melihat dengan prosentase penyerapan
informasi 50%
• Mengatakan dengan prosentase penyerapan informasi 70%
• Mengatakan dan melakukan dengan prosentase penyerapan
informasi 90%
Dari informasi diatas mudah bagi kita untuk mengetahui
cara yang paling efektif untuk mendidik karakter anak bukan? Kalo mau hasil
maksimal, dengan penyerapan diatas 50 % maka metode mendidiknya harus
disesuaikan dengan cara otak menyerap informasi.
Tentunya cara itu adalah kombinasi antara Melihat,
Mendengar, Mengatakan dan Melakukan. Saya akan membagi 2 tahap penjelasan,
yaitu:
1. Melihat dan Mendengar
Adalah proses belajar yang ada contoh dan ada
pengajarnya. Jika disekolah tentunya guru yang akan bersuara, jika dirumah maka
orangtua. Sebagai guru tentunya harus memberikan contoh dan modelkarakter yang
dikehendaki anak didiknya bagaimana serta mengajarkan “how to achieve”. Jadi
pada dasarnya semua guru disekolah bisa menjadi guru pendidikan karakter, jika
berkomitmen untuk menjadi contoh dan mau menjelaskan bagaimana agar siswa dapat
memiliki karakter seperti gurunya. Sama halnya orangtua yang ada dirumah, siswa
hanya 30% berada disekolah, 10-15 % lingkungan sosialnya dan sisanya dirumah.
Maka porsi terbesar adalah orangtua yang menjadi guru pendidikan karakter bagi
anaknya.
Seorang anak dari bayi, dia tidak mengenal bahasa. Saat
dia kecil dia belajar dengan melihat contoh, diabelajar jalan, membuka pintu,
menyalakan tv, semuanya melihat. Dan proses belajar seperti ini masih berlanjut
pada kehidupan kita orang dewasa. Jadi jangan anggap sepele dalam sikap dan
perilaku kita untuk memberikan contoh yang baik untum pendidikan karakter anak.
2. Mengatakan dan Melakukan
Ini terkait dengan peraturan dan system yang berlaku lingkungan
belajar pendidikan karakter (sekolah dan rumah). Bagaimana peraturan disekolah
dan dirumah selaras dengan tujuan pendidikan karakter. Baiklah saya akan
memberi contoh, di Indonesia, di Surabaya khususnya saya masih bisa
memberhentikan angkutan umum (metromini) sembarangan. Dimana saya ada di jalan
raya, saya lihat ada angkutan umum saya tinggal angkat tangan saja maka
amgkutan umum itu akan berhenti. Hal ini bisa berlaku di Surabaya, tapi tidak
di Singapura. Jika saya pindah ke Singapura maka saya tidak bisa seenaknya saja
memberhentikan angkutan umum, ada tempat khusus dimana angkutan umum tersebut
mau berhenti. Maka perilaku saya akan berubah mengikuti aturan yang berlaku,
saya akan ke halte jika mau naik kendaraan umum.
Jadi dalam pendidikan karakter juga diperlukan seting
macam ini juga, seting lingkungan untuk mendukung perilaku Melakukan yang
akhirnya akan terbiasa. Seperti ada pepatah bisa karena biasa, sama seperti
halnya aturan baru dalam berlalu lintas. Belakangan ini banyak aturan baru sehingga
jalan yang biasanya bisa 2 arah hanya satu arah untuk keefektifan pengguna
jalan dan menghindari kemacetan, jika kita langgar maka tilang. Pertama terasa
berat, setelah 1 bulan sudah biasa, tidak ada beban lagi. Manusia adalah mahluk
yang mudah beradaptasi, terasa berat jika itu dijalankan terus menerus, maka
lama-lama terbiasa. Dalam melakukan pola ini jangan lupa memberikan konsekuensi
jika melanggar, tentunya konsekuensi yang mendidik dan tidak merusak harga diri
anak. Contoh: jika melanggar maka mainan kesukaan anak akan disita 2 hari.
Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara
sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya.
Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong
masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala
macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
Namun bagi sebagian keluarga, barangkali proses
pendidikan karakter yang sistematis di atas sangat sulit, terutama bagi
sebagian orang tua yang terjebak pada rutinitas yang padat. Karena itu,
seyogyanyapendidikan karakter juga perlu diberikan saat anak-anak masuk dalam
lingkungan sekolah, terutama sejak play group dan taman kanak-kanak. Di sinilah
peran guru, yang dalam filosofi Jawa disebut digugu lan ditiru, dipertaruhkan.
Karena guru adalah ujung tombak di kelas, yang berhadapan langsung dengan
peserta didik.
Muga Bermanfa’at.
Salam Rahayu kanti Teguh Selamat Berkah Selalu
Ttd:
Wong Edan Bagu
Putera Rama Tanah Pasundan
http://putraramasejati.wordpress.com
http://wongedanbagu.blogspot.com
Post a Comment