Cukuplah Cukup daripada Turah-turah:
TAK ada orang Jawa yang bercita-cita jadi orang kaya. Mereka
hanya ingin cukup, bukan sugih mblegedhu atau
mubra-mubru. Tak perlulah sampai turah-turah jika itu hanya jadi muspra, tapi
cukuplah cukup untuk apa saja. Cukup sandhang, cukup pangan, juga papan dan
segala kebutuhan lainnya. Mau apa-apa cukup.
Pernyataan macam itu bolehlah dianggap sebagai guyonan
belaka atau sama juga boong. Namun dari situ sebenarnya juga terbersit sebuah
sikap yang khas pada tataran idealisme Jawa, yakni sikap untuk samadya
sekaligus tidak menjadikan hal-hal yang bersifat materi sebagai puncak
cita-cita. Sebab, pengejaran terhadap yang material itu hanya berhenti pada
tataran agal, sesuatu yang bertolak belakang dengan kehalusan budi atau budi
luhur.
Tergolong samadya, karena cukup itu berada di tengah-tengah.
Cukup itu tidak turah-turah, tetapi juga tidak kecingkrangan. Tidak berlebihan,
tetapi juga tidak kekurangan.
Berlebihan atau terlalu, yang sering direpresentasikan
dengan kata sifat berkonfiks ka-an dengan
segenap variannya, akan selalu dianggap kurang baik. Lebih baik wareg (kenyang)
saja ketimbang kewaregen (kekenyangan). Lebih baik maju saja daripada kemajon
(terlalu maju). Begitu pula contoh lain seperti kesugihen (terlalu kaya),
kakehan (kebanyakan), kemanisen (terlalu manis), dan kesithiken (terlalu
sedikit). Bahkan dalam konteks guyon-parikenan sering dikatakan bahwa lebih
baik ayu saja daripadakayunen
karena atos atau kalaupun elek jangan keleken karena kecut.
Dalam ungkapan lain, pilihan pada yang samadya itu juga
menunjukkan sikap khas orang Jawa, yakni merelatifkan terhadap segala hal
sebagaimana tercermin dalam ungkapanngono ya
ngono ning aja ngono. Wareg ya wareg, ning ya aja nganti kewaregen (Kenyang ya
kenyang tapi jangan sampai kekenyangan).
Dengan relativisme macam begitu, dalam memandang maupun
bersikap terhadap segala hal, tidak perlu berada pada ujung yang ekstrem.
Terhadap hal yang dianggap baik sekalipun, orang tidak perlu sepenuhnya
menerima atau mengikuti dengan semutlaknya. Demikian pula sebaliknya terhadap
hal yang dianggap buruk atau tercela. Karena itu, tidaklah mengherankan jika
terhadap inuman, yang jelas-jelas tergolong sebagai salah satu sarana ma lima
(khususnya minum), masih ada toleransi. Masih dianggap baik-baik saja jika
hanya sampai pada sekian sloki. Itu tercermin dari candrane wong nginum.
Didum Wong Berah;
Lantas, bagiamana dengan yang turah-turah? Benarkah kondisi
ini terjadi semata-mata karena hasrat yang terlalu berlebihan sehingga
tergolong pula sebagai yang kurang baik?
Memang sebagaimana diamanatkan oleh berbagai serat piwulang,
termasuk Serat Wedhatama karya Mangkunagara IV, sebaiknya orang itu berani
untuk ngengurangi, bukan nambah-nambah, berlebihan atau turah-turah. Sudanen
hawa lan nepsu, pinesu tapa brata, tanapi ing siyang ratri, amemangun karyenak
tyasing sasama.
Dalam konteks itu, turah-turah lebih-lebih pada mereka yang
semestinya menegakkan laku bisa dianggap sebagai sebuah balas dendam setelah
sekian saat ngengurangi. Dan, setiap balas dendam adalah sebuah bukti kegagalan
untuk ngendhaleni dhiri, amemekak hardaning kanepson, dan cegah-cegah dalam
berbagai hal.
Meski demikian, turah-turah bukannya tanpa sebab, bukan
tanpa alasan, sehingga tak mendapatkan tempat untuk beraktualisasi. Dalam
dimensi sosial, turah-turah juga bukannya tidak fungsional.
Terhadap diri sendiri, turah-turah memang bukan sebuah sikap
yang tepat. Sebab jika untuk diri sendiri, timbang turah didum marang liyan saja. Namun sebaliknya, untuk orang lain, justru sebaiknya
dikepara turah.
Lebih baik lebih, sebab jika tidak, akan dicap pelit. Sarwa
pretungan. Karena itu, dalam sebuah perhelatan yang melibatkan banyak orang,
tidak boleh sampai ada yang kurang. Jangan sampai ada yang tidak kebagian,
jangan sampai ada yang jatahnya kurang dari sebuah kepatutan yang lazim
dijalankan. Sebab, salah satu aib yang tak tertanggungkan adalah jika punya
hajat tapi suguhan yang diberikan ternyata kurang. Ia akan menjadi bahan pocapan
bagi siapa pun yang mengetahuinya, bahkan yang tidak langsung mengetahuinya.
Sebab di sini justru berlaku undhaking pawarta sudaning kiriman. Jadi, lebih
baik turah daripada kurang, sehingga dikepara turah-turah saja. Toh kalaupun
turah, masih bisa diberikan kepada yang lain, kepada tangga teparo, sebab ini
juga menjadi salah satu sarana untuk menjaga jalinan hidup bertetangga. Konon,
mangkok lebih menjaga ketimbang pagar tembok.
Karena itu, tidak mengherankan jika kemudian ada pemandangan
yang sangat kontras di desa-desa. Pada saat Lebaran tiba atau pada saat bersih
desa, penganan apa pun senantiasa tersedia di setiap rumah. Tidak sekadar ada,
tetapi juga sampai turah-turah. Sampai-sampai hingga basi pun tak termakan.
Akhirnya yang berupa nasi kemudian dipanaskan hingga
kemudian menjadi nasi aking. Dan ketika musim paceklik tiba, ketika situasi
penuh kecingkrangan itu datang, nasi aking pun menjadi barang komplementer yang
siap menggantikan keberadaan nasi.
Tentu tak begitu saja bisa dipersalahkan pilihan sikap macam
itu. Namun agar tidak terlalu terjebak pada titik yang ekstrem, tepatlah
kiranya untuk menjadikan ungkapan Ki Ageng Suryamentaram sebagai pegangan.
Yakni untuk selalu nggondheli nem sa: sabutuhe, saperlune, sacukupe,
sakepenake, samesthine, dan sabenere. Tidak hanya salah satu dari nem sa itu,
tetapi keseluruhannya sebagai satu kesatuan sehingga dengannya orang tidak akan
perlu ngangsa atau ngaya. Lebih dari itu juga akan tatag sehingga tidak mudah
kepencut.
Lebih-lebih dengan merasa cukup, bukannya harus turah-turah,
ia tidak akan nandhing sarira yang artinya membandingkan dirinya dengan orang
lain dan mendapatkan dirinya lebih unggul. Juga tak perlu ngukur sarira, yakni
mengukur orang lain dengan dirinya sendiri sebagai tolok ukur.
Dengan cukup, orang akan mampu tepa sarira, yaitu mau dan
mampu merasakan perasaan orang lain. Lebih-lebih jika mawas diri dengan mencoba
memahami keadaan dirinya dengan sejujur-jujurnya atau malah mulat sarira, yakni
menemukan identitas yang terdalam sebagai pribadi. ... He he he . . . Edan
Tenan. Salam Rahayu kanti Teguh Slamet Berkah Selalu Lurr...
Semoga
Bermanfa’at. Amiin
Ttd: Wong Edan Bagu
Pengembara Tanah Pasundan
Post a Comment