Cikal Apupus Limar:

HIDUP sederhana selalu menjadi salah satu prinsip penting dalam kehidupan masyarakat Jawa. Itu merupakan bagian dari tatanan paugeraning ngaurip dalam budaya masyarakat agraris, yang harus menjalani dan mengisi hidup dengan cara eling, prasaja lan sakmadia. Ini tidak dapat dilepaskan dari hubungan manusia dengan lingkungan hidup, baik yang berupa persawahan, ladang, semak maupun hutan. Intinya ada ”rasa alam” yang dibudidayakan dan dimanfaatkan. Dasar pertanian masyarakat Jawa ialah budidaya beras dengan irigasi yang dilengkapi pelbagai ladang palawija kering dan pemeliharaan pohon-pohon dan semak-semak hiasan.

Identifikasi penduduk desa dengan sebidang tanah, tidak terbatas pada sebidang tanah yang diolah anggota masyarakat. Secara etnografis, dikenal pola hak milik tanah yang bersifat individual maupun kolektif (termasuk lahan tanah milik desa dan bengkok), yang memungkinkan pemilikan tanah desa berdasarkan persaratan teritorial mengenai pelbagai macam sistem mata pencaharian. Dinamika kehidupan sosial ekonomi petani ditunjukkan melalui panen, termasuk hasil pekarangan, kerajinan dan perdagangan di pasar lokal. Karena itu desa dengan kelompok padhukuhan, secara epigrafis merupakan unit ekonomis dan politis terkecil yang dapat dilihat di dataran-dataran rendah Nusa Jawa.

Dalam kehidupan demikian suatu rumah tangga (somah) harus menjalin hubungan baik dengan tetangga, keluarga-keluarga se-dhukuh dan lain desa. Hubungan dinyatakan dalam cara bergotong royong menurut sopan santun dan kewajiban tertentu, dalam bentuk sambat sinambat, tetulung, layat, jagong, slametan dan lain-lain. Kekerabatan memiliki asas kegunaan dalam pergaulan sosial. Di samping rasa hangat dan keakraban, juga dapat memberikan semacam identitas, yang dapat meninggikan kedudukan sosial dan gengsi, serta pelbagai hal yang berkaitan dengan hak-hak pewarisan.

Karena itu klasifikasi simbolik orang Jawa tentang hidup, menekankan corak kesembangan manusiawi yang melahirkan nilai-nilai keselarasan, kesadaran sosial dan moral yang berpusat pada rasa-pangrasa. Kesadaran yang dikaitkan rasa eling, prasaja lan sakmadia, menurut Serat Wulangreh juga merupakan sarana untuk melatih hati agar lantip ing sasmita, mengingat orang yang hidup berlebihan cenderung mengurangi kaprayitnaning batin.

Tradisi sosial yang paternalistik demikian, menurut Prasasti Canggal (732) merupakan sumber corak hubungan kekuasaan Jawa kuno. Setiap desa yang dipimpin oleh seorang rama, memegang tanggung jawab akan keamanan dan kesejahteraan penduduk. Secara politik mereka bergabung dengan desa sekelilingnya berdasar sistem mancapat-mancalima, yang dipimpin seorang raka. Pola itu yang membangun konsep dasar tentang raja-raja Jawa, dengan asas keratuan untuk menjadi pelindung kehidupan dunia dengan prinsip keadilan. Hormat dan tunduk pada orang tua dan keluarga yang lebih tua, merupakan unsur yang kuat dalam dalam hubungan antara anggota keluarga raja-raja Jawa. Manusia Jawa tunduk pada masyarakat, dan sebaliknya masyarakat tunduk kepada kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi dan halus, baik secara sosial maupun kosmologi. Sejak dahulu, itu disimbolisasikan denganraja gunung, yang dianggap pusat otoritas spiritual nenek moyang dan merupakan pusat kehidupan alam semesta.

Pola organisasi politik di Jawa mempunyai kecenderungan menjauhkan diri dari pusat (tendensi sentrifugal), dengan sifat memecah dan desentralistik yang diperkuat susunan ekonomi swasembada. Pola tersebut mendorong pangeran dianggap absah karena masih keturunan salah satu keluarga yang dahulu berkuasa, untuk berinisiatif membangun kekuasaan. Itu, jika ia memiliki jumlah pengikut memadai dan dukungan kelompok desa-desa yang setia, dan juga memang memiliki alasan politik kuat.

Itu modal untuk membentuk kekuatan politik teritorial dan suprastruktur Negara yang baru. Dalam sejarah, tokoh pembangun dinasti seperti ini sering disebutrajakula. Hal yang cukup menarik, mereka itu biasanya memembentuk kekuasaan secara deklaratif dengan seremonial lokal di tempat-tempat yang jauh dari pusat kekuasaan.

Di antara yang menonjol dialami oleh Dyan Wijaya. Setelah mendapatkan dukungan dari penguasa wilayah timur (Madura dan ujung timur Nusa Jawa), meski di bawah kontrol Jayakatwang, ia membangun pengaruh politiknya dari wilayah Hutan Tarik yang sedang mulai dibangun untuk pemukiman baru. Oleh para pengikutnya yang setia, ia ditasbihkan sebagai raja baru di negeri baru yang dinamakan Majapahit, di atas kumpulan dedaunan dan ranting-ranting basah yang telah diurug tanah, sedang di hadapannya yang jauhnya kurang dari 10 meter, masih dipenuhi tumpukan sampah yang menggunung.

Seremonial demikian bukan sekadar bentuk dari pembentukan patronase politik yang baru, juga sebagai corak laku hamemayu hayuning bawana yang diibaratkan cikal apupus limar. Tanaman kelapa muda yang berpucuk daun kelor, sebagai simbolik seorang rajakula yang memperoleh berkah lebih besar dari yang diharapkan. ... He he he . . . Edan Tenan. Salam Rahayu kanti Teguh Slamet Berkah Selalu Lurr... 

Semoga Bermanfa’at. Amiin
Ttd: Wong Edan Bagu

Pengembara Tanah Pasundan