Bencana Pemanjaan Raga:

SEJAK terjadi tsunami Aceh2 tahun yang lalu negeri ini terus dirundung bencana. Belum sembuh dari bencana Aceh menyusul bencana lain secara berurutan, baik berupa tanah longsor, banjir, awan panas Gunung Merapi, gempa Jateng/DIY dan tsunami Pangandaran. Bahkan pada hari-hari terakhir masih ada gempa bumi tercatat di Tegal, Jateng.

Khusus gempa tektonik yang sering disusul dengan munculnya tsunami sampai saat ini belum bisa diramalkan secara ilmiah. Para ilmuwan belum menemukan peralatan khusus untuk itu. Andaikata kedatangan gempa sudah bisa diramal maka korban bencana Jateng/DIY kemarin tidak akan mencapai angka 6.000 orang. Apalagi gempa Jateng/DIY kemarin itu "hanya" berkekuatan 5,9 dalam Skala Richter.

Meskipun gempa bumi tidak atau belum bisa diramal secara ilmiah namun alam dipercaya selalu memberi aba-aba bila ada sesuatu yang luar biasa akan terjadi. Ada catatan menyebutkan ketika akan ada gempa besar di Jepang beberapa tahun lalu, tampak ada awan yang bentuknya tidak lazim. Orang Bantul konon juga melihat awan seperti itu sebelum gempa datang menghacurkan rumah-rumah mereka. Tsunami Pangandaran didahului dengan aba-aba alam berupa ikan laut yang ramai-ramai menepi ke pantai serta kelelawar yang berhamburan siang hari dari gua-gua di pantai.

Ironisnya kini boleh dibilang tidak ada orang yang tanggap terhadap sasmita alam seperti itu. Bahkan kalau sekiranya ada maka siapa mau percaya? Salah-salah orang yang masih bisa mengapresiasi aba-aba alam itu akan dicap kuno dan pengkhayal (percaya takhayul). Buktinya, Mbah Marijan yang ngotot tak mau meninggalkan rumahnya di dekat puncak Merapi karena belum melihat cacing-cacing keluar dari tanah, dianggap menentang bahaya.

Kepercayaan akan ada aba-aba sebelum terjadi bencana berakar pada pemahaman manunggaling jagat agung lan jagat alit. Dalam pemahaman ini jagat agung atau alam semesta hadir dan memelihara jagat alit atau manusia. Sebaliknya jagat alit punya "kewajiban" untuk selalu menjaga keselarasan dengan sang pemelihara yakni jagat agung. Dalam kesadaran ini yang menjadi kata kunci adalah keselarasan. Dan dalam keselarasan yang tinggi semua aba-aba atau sasmita alam yang sekecil apa pun akan bisa dirasakan.

Misalnya bila ada kupu dhayoh (kupu tamu) masuk ke rumah maka siap-siaplah akan ada tamu datang. Kupu ini jelas termasuk kupu malam (yang sebenarnya; bukan PSK). Tapi mengapa kupu itu datang siang hari? Kalau tidak berada-ada masakah tempua bersarang rendah; kalau tidak ada maksud tertentu masakan ada kupu malam keluar siang hari. Atau kalau ada bayi terus gelisah dalam tidur pada malam hari, atau terus merengek-rengek; nenek saya akan bilang, Ngati-ati lagi ana wong elek. Berhati-hatilah ada pencuri datang. Dulu, bila anak gembala melihat semut keluar berhamburan dari tanah sambil membawa telur-telurnya, segeralah giring ternak pulang. Hujan besar akan datang meskipun hari tidak tampak mendung.

Sasmita-sasmita alam sebenarnya tidak akan pernah berhenti karena kasih sayang jagat agung memang abadi. Ironisnya manusia sekarang makin tumpul atau tak peduli. Penumpulan itu mungkin disebabkan oleh keangkuhan empirisme; apa-apa yang tidak bisa dibuktikan secara ilmiah adalah omong kosong. Atau pemahaman agama yang kemaruk dan tergesa-gesa; sesuatu yang tidak dijelaskan dalam ajaran resmi adalah bidah, takhayul, bahkan syirik. Sementara orang Jawa punya pandangan lain. Daya tanggap terhadap aba-aba alam menumpul karena orang sudah begitu merasuk pada kesadaran wadhag. Dengarkan seorang kakek ketika dia sedang menina bobokan cucunya dalam kinanthi.

Kinanthi bukaning atur
Ing sasmita amrih lantip
Aja pijer mangan nendro
Sudanen dhahar lan guling
Pesunen sarira nira
Kaprawiran den kaesthi

Demikian, menurut keyakinan orang Jawa (dulu) ada persyaratan tertentu agar orang mampu mengapresiasi aba-aba atau sasmita alam. Pertama, jangan terlalu sering makan dan tidur. Jelasnya harus mengurangi makan minum dan ngorok di ranjang. Kedua, suka mesu raga atau prihatin. Ketiga hiduplah dengan semangat perwira.

Mungkin inilah jawabnya mengapa jiwa kita sekarang tidak peka terhadap sasmita yang diberikan oleh sang jagat agung. Kewadhagan atau kebendaan telah melingkupi seluruh kehidupan. Dalam kondisi ini boleh dibilang semua orang berlomba habis-habisan memanjakan raga. Kaya, megah, mewah dan cantik menjadi tujuan hidup yang utama. Padahal pemanjaan terhadap raga berarti pemiskinan hati dan jiwa; artinya, penumpulan rasa dan kelantipan.

Pemanjaan terhadap raga juga membuat kita mengabaikan kaprawiran atau sikap perwira. Padahal sikap ini menjadi salah satu syarat agar hubungan jagat agung dan jagat alit tetap serasi atau selaras.

Dalam kehidupan masyarakat kita sekarang, bahkan perwira resmi dari kalangan TNI maupun Polri banyak yang sudah tak peduli lagi dengan keperwiraan. Mereka tidak malu-malu ikut membabat hutan, menumpuk bedil secara gelap, terlibat penjualan narkoba dsb. Apalagi orang sipil yang secara kepangkatan tidak akan pernah mendapat sebutan resmi sebagai perwira. Mereka tidak merasa malu ketika mengorupsi uang negara, hak masyarakat bahkan makan beras jatah orang miskin.

Tapi masalahnya kapan atau bagaimanakah kecenderungan yang amat menggejala ini bisa berubah? Sulit. Itulah jawabnya. Jadi soal kepekaan terhadap aba-aba alam yang dulu kita miliki memang sudah hilang dan tidak akan kembali lagi. Sekarang kita kita hanya bisa menunggu hasil kerja para ilmuwan yang diharapkan bisa segera menciptakan alat peringatan dini akan datangnya gempa atau bencana lain. Kalau mereka sudah berhasil bangsa ini mungkin hanya bisa membelinya, semahal apa pun dan menambah hutang sebesar apa pun. . ... He he he . . . Edan Tenan. Salam Rahayu kanti Teguh Slamet Berkah Selalu Lurr... 

Semoga Bermanfa’at. Amiin
Ttd: Wong Edan Bagu

Pengembara Tanah Pasundan